KontraS : Dalam Setahun, 13 Tahanan Tewas Ditangan Aparat
JAKARTA – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat setidaknya ada 13 orang warga negara yang tewas akibat disiksa aparat kepolisian selama setahun terakhir.
Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti mengatakan, data tersebut diperoleh pihaknya dari hasil pemantauan yang dihimpun melalui kanal media informasi, advokasi, serta jaringan-jaringan KontraS di daerah selama periode Juni 2021-Mei 2022.
Selama periode tersebut, Fatia mengatakan, terdapat 31 kasus penyiksaan yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Sementara itu, terdapat 13 kasus penyiksaan yang dilakukan oleh aparat TNI–Angkatan Darat, Laut, dan Udara–dan enam kasus penyiksaan oleh aparat sipil.
“Kasus tersebut terjadi pada tingkatan Polres sebanyak 22 kasus, disusul Polsek enam kasus dan Polda tiga kasus. Tingginya kasus penyiksaan dan kekerasan di Polres menunjukkan pengawasan yang sangat buruk dilakukan oleh Polda terhadap satuan tingkatan di bawahnya,” ujarnya dikutip dari laporan KontraS, dikutip Selasa (28/06/2022)
Dari puluhan kasus tersebut, KontraS mencatat setidaknya ada 85 korban yang mengalami luka-luka dan 13 orang meninggal dunia akibat penyiksaan itu. Dalam laporannya, KontraS mengatakan, penyiksaan tersebut paling banyak dilakukan dengan tangan kosong.
Disusul oleh senjata api, benda tumpul, alat setrum/listrik, selang, tali, rokok, linggis, senjata tajam, benda keras, hingga air panas. Sedangkan jika dilihat berdasarkan lokasi penyiksaannya, Fatia mengatakan, 18 kasus penyiksaan dilakukan di dalam sel tahanan. Sementara 13 kasus lainnya berada di ruang publik.
Berdasarkan motifnya, mayoritas tindakan penyiksaan tersebut dilakukan petugas kepolisian dalam rangka mendapatkan pengakuan ataupun sebagai bentuk hukuman.
“Artinya, ruang detensi yang dimiliki Kepolisian masih sangat rawan terjadinya tindakan penyiksaan. Usulan dihapuskannya ruang tahanan Kepolisian menjadi sangat relevan jika melihat peristiwa yang terus berulang,” jelasnya.
Lebih lanjut, KontraS juga mengkritik sikap Polri yang tidak langsung menindak tegas anggotanya yang diduga melakukan tindak kekerasan dan penyiksaan tersebut.
Fatia menuturkan, setidaknya ada 14 peristiwa penyiksaan yang dilakukan anggota kepolisian tanpa diikuti mekanisme penindakan yang tegas. Padahal, penyiksaan termasuk pelanggaran disiplin, kode etik, hingga pidana.
“Sementara hanya enam peristiwa yang ditindaklanjuti dengan pencopotan dan mekanisme peradilan pidana. Nihilnya proses penindakan ini jelas mencerminkan institusi yang masih jauh dari akuntabilitas publik,” tuturnya.
Berdasarkan temuan ini, KontraS lantas mempertanyakan slogan “Presisi” Polri yang dicanangkan oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Sebab, dalam beberapa kesempatan Listyo kerap menggembar-gemborkan fungsi pengawasan dalam tubuh Polri. Namun nyatanya pengawasan itu justru longgar sehingga penyiksaan berujung maut bahkan dapat terjadi di berbagai level.
Oleh sebab itu, Fatia mengatakan, pihaknya mendesak para institusi terkait, termasuk kepolisian untuk dapat melakukan mengevaluasi diri secara menyeluruh, bahkan melibatkan pengawasan eksternal dari lembaga independen.
“Institusi terkait seperti Polri, TNI dan Lembaga Pemasyarakatan juga harus memastikan anggotanya yang terlibat kasus penyiksaan harus diadili sesuai dengan hukum yang berlaku dan mekanisme hukum yang transparan serta dapat diakses oleh publik,” jelasnya.
Selain itu, dalam ranah regulasi, lembaga yang memiliki otoritas yakni DPR dan pemerintah harus menghadirkan peraturan perundang-undangan yang produktif dalam mencegah dan mengantisipasi praktik-praktik penyiksaan.
“DPR dan Pemerintah juga harus segera mempersiapkan revisi ketentuan KUHAP yang selama ini masih membuka ruang penyiksaan bagi aparat penegak hukum dalam kerangka sistem peradilan pidana,” pungkasnya.[]