April 26, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Luwes dan Dinamisnya Ajaran dan yang Diajarkan Islam

4 min read

JAKARTA – Islam adalah agama terakhir yang diturunkan oleh Allah Swt. Statusnya sebagai agama penyempurna bagi agama-agama yang telah diturunkan sebelumnya. Sedangkan Kanjeng Nabi Muhammad adalah nabi terakhir yang diutus untuk misi itu. Karena agama ini adalah agama terakhir sampai hari akhir kelak, maka ajaran yang dikandungnya pun menjadi penuh makna dan dinamis atau terus bergerak.

Kedinamisan Islam tampak dalam proses pengambilan keputusan dan kebijakan yang diatur serta diterangkan dalam berbagai literatur kajian, terutama dalam bidang ilmu ‘ubudiyah (ilmu yang menyangkut tata cara ibadah), misalnya ilmu fikih.

Ilmu fikih memiliki banyak referensi imam atau mazhab sebagai rujukan yang bisa dipilih oleh umat Islam sesuai dengan kehendak, keyakinan, dan keadaan masing-masing. Hal ini bertujuan agar umat Islam tidak merasa tertekan dan terkungkung dalam satu pilihan saja sehingga, keikhlasan dan ketulusan dalam menjalankan ibadah akan lahir dengan adanya kebebasan tersebut.

Contoh sederhananya dapat kita ambil dari kasus batalnya wudhu. Dalam fikih mazhab Syafii disebutkan bahwa jika seorang pria menyentuh wanita yang bukan muhrimnya tanpa alas apapun, maka wudhunya batal.

Namun sebaliknya, bagi fikih mazhab Imam Maliki jika hanya bersentuhan kulit meskipun bukan muhrim, wudhunya tidak batal.

Perbedaan pandangan ini tidak luput dari faktor kondisi geografis dan sosiologis masyarakat pada waktu itu yakni, Imam Syafii merupakan seorang alim yang tinggal di desa. Di desa masa silam, kehidupan masih seragam, tidak seribet masyarakat kota. Sehingga gesekan antara pria dan wanita masih jarang ditemui.

Sedangkan Imam Maliki merupakan seorang alim yang mukim di kota dengan penduduk yang sudah heterogen dan padat. Gesekan kerap terjadi di kota. Maka ia berijtihad untuk menentukan hukum wudhu yang ‘bersahabat’ dengan masyarakat kota.

Selain itu, contoh kedinamisan ajaran Islam yakni seruan Kanjeng Nabi Muhammad untuk bersiwak atau membersihkan gigi sebelum menunaikan ibadah salat. Perintah ini merupakan amalan yang bernilai sunnah.

Namun seiring bergulirnya waktu, perintah ini tidak lagi mempertimbangkan dalilnya yang mana karena, umat Islam telah menunaikannya. Bahkan seluruh manusia, tidak hanya Islam, juga turut membersihkan gigi tanpa tahu-menahu dalilnya seperti apa.

Sebab manusia menyadari bahwa kebersihan, termasuk gigi, menjadi kebutuhan yang penting untuk menjaga kesehatan baik jasmani maupun rohani.

Siwakan di masa Kanjeng Nabi menggunakan kayu khusus untuk bersiwak. Tapi untuk saat ini, siwakan dapat menggunakan sikat gigi yang merupakan hasil kreatifitas manusia, yang menghasilkan produk alat dengan lebih efektif untuk membersihkan gigi.

Dua contoh kecil ini mencerminkan bahwa Islam bukanlah agama yang kaku dalam menghadapi perkembangan zaman. Islam tidak melarang umatnya untuk mengikuti perkembangan zaman, selama tidak memberikan keburukan baik pada dirinya sendiri maupun orang lain.

Selain itu, umat Islam tidak hanya memiliki kebebasan untuk memilih satu di antara empat imam dalam ilmu fikih: Imam Syafii, Imam Maliki, Imam Hanafi, dan Imam Hambali. Tetapi umat Islam juga memiliki ruang untuk berpindah mazhab dari satu imam ke imam yang lain (intiqol) dengan catatan, tidak dalam satu amalan.

Misalnya rukun wudhu mengikuti Imam Hambali tapi sebab batalnya wudhu mengikuti Imam Maliki. Ini tidak diperbolehkan dalam ilmu fikih. Ketidakbolehan ini bertujuan untuk menghindari kerancauan ajaran dan agar umat Islam tidak mengambil seenaknya saja.

Ini menjadi semacam ancer-ancer bagi kita bahwa, kelenturan dan kedinamisan Islam bukan berarti Islam tidak memiliki karakter khas yang melekat dalam dirinya. Karena bagaimanapun, adanya suatu anjuran untuk merenungkan kembali ayat-ayat al-Qur’an yang bertujuan agar tercipta keselarasan antara agama dengan kebutuhan masyarakat. Begitu karakter Islam yang sesuai visi sebagai agama yang rahmatan lil’alamin.

Perlu juga digarisi bawahi perbedaan yang lahir dalam Islam bukan bertujuan untuk mengkotak-kotakkan umat Islam. Perbedaan itu adalah kekuatan Islam agar senantiasa eksis dan mampu menjawab berbagai permasalahan umat Islam secara umum.

Karena diakui atau tidak, pemeluk agama Islam tidak hanya terdiri dari satu rumpun bangsa atau negara saja, melainkan dari berbagai suku, ras, bangsa, dan negara di seluruh penjuru dunia yang memiliki kebudayaan dan latar belakang yang berbeda-beda.

Perbedaan ini bukanlah problem yang harus diperdebatkan benar dan salah sampai mencerai-beraikan umat Islam. Toh Kanjeng Nabi Muhammad dalam salah satu riwayat pernah bersabda: “Perbedaan umat-umatku adalah rahmat.”

 

Kandungan Ajaran Islam

Setiap agama memiliki tujuan. Tujuan itu bersumber dari ajaran agama itu sendiri, termasuk Islam. Islam membentuk suatu pedoman agar senantiasa menjaga dan menjalin hubungan yang dapat dikategorikan menjadi tiga bentuk;

Hablun minallah. Hubungan ini adalah hubungan antara manusia dengan Allah Swt. Bisa juga disebut hubungan yang sifatnya vertikal antara Mahapencipta dengan makhluk-Nya.

Selanjutnya bentuk hubungan hablun minannas, yaitu hubungan antara manusia dengan manusia. Hubungan sesama manusia ini menjadi perhatian penting dalam ajaran Islam karena manusia merupakan kunci peradaban dunia. Manusia memiliki kebebasan untuk mendesain dunia ini seperti yang mereka inginkan.

Kendati demikian, Islam memberikan pandangan jauh ke depan agar manusia tidak sembarangan dalam mendesain dunia. Pendesainan ini tidak diperbolehkan sembrono dan sesuka-suka hatinya, karena dapat memicu kehidupan yang tidak harmonis dan tidak selaras.

Bentuk hubungan terakhir yakni antara manusia dengan alam. Pengertian alam di sini adalah pengertian secara umum. Maka dapat dipahami sebagai hubungan manusia dengan segala jenis makhluk yang diciptakan dan ditempatkan di muka bumi oleh Allah Swt.

Ketiga bentuk hubungan di atas merupakan tombak dalam ajaran Islam, selain juga berfungsi sebagai kontrol tindakan-tindakan manusia agar tetap mengarah pada laku yang positif. Sebab Allah Swt., menciptakan makhluk-Nya dalam keadaan berbeda-beda supaya ada upaya untuk saling mengenal, memahami, dan menghormati. Wallahu’alam. []

Penulis Anasshoffa’ul Jannah

Advertisement
Advertisement