Mahalnya Biaya Pengobatan Pasien HIV/Aids

JAKARTA – Memulas wajah dengan bedak, perona mata dan pipi, hingga gincu mulai digemari Adira, bukan nama sebenarnya, sejak kurang lebih lima tahun lalu. Saat itu, Adira masih duduk di bangku SMP.
Tak hanya wajah sendiri yang jadi sasaran eksperimen tangannya dalam memainkan kosmetik, wajah teman-teman pun kerap jadi sasaran. Apalagi jika yayasan tempat ia tinggal menggelar acara, Adira bakal menjadikan ajang tersebut sebagai alasan yang sah untuk menjalankan hobinya mendandani orang.
Hobi bermain dengan berbagai produk make up pun bukan sekadar hobi musiman. Dara berumur 19 tahun ini sudah lama bermimpi jadi seorang make-up artist (MUA). Baginya, kesibukan tangan memulaskan make up bisa menepis kekhawatiran atau pikiran buruk soal penyakit yang diidapnya.
Ya, Adira mengidap HIV/AIDS sejak lahir; penyakit yang ia warisi dari almarhumah ibunya. Sang ibu terpapar dari ayahnya yang kini juga telah meninggal dunia. Almarhum ayah Adira yang seorang pecandu narkoba, mendapatkan penyakit itu dari jarum suntik.
“Anak kami semuanya seperti itu. Anak kami tidak ada yang mereka berbuat sendiri, terus kena, tidak ada. Jadi mereka itu korban,” tegas Pengelola Yayasan Vina Smart Era Ropina Tarigan saat berbincang di Jakarta, kemarin (11/12/2021).
Yayasan Vina Smart Era menampung orang dengan HIV/AIDS (ODHA) anak-anak. Seperti Adira, 99% ODHA yang diasuh merupakan anak yatim-piatu yang juga kehilangan orang tua akibat keganasan HIV/AIDS.
Didirikan pada 2008, Yayasan Vina Smart Era memang memiliki tujuan menolong ODHA anak. Pasalnya, beban yang harus ditanggung ODHA anak dianggap terlampau berat, baik dari sisi ekonomi, sosial, mental dan fisik.
Dari sisi kesehatan fisik, umumnya anak-anak ini masuk ke pengasuhan yayasan sudah dalam fase stadium IV atau AIDS, dan membutuhkan perawatan saksama. Dari sisi mental, diskriminasi dari masyarakat yang begitu kencang juga mesti ditelan bulat-bulat ODHA anak.
“Jadi tugas kami bertubi-tubi dulu. Kalau sekarang, sih, mereka sudah undetectable ya, setelah serangkaian tes. Sekarang relatif bisa dibilang 50% lebih baik daripada awal-awal dulu,” ujarnya.
Dari sisi ekonomi pun, masalah berat dihadapi ODHA anak. Diakui Ropina, biaya merawat ODHA anak cukup mahal. Tak tanggung-tanggung, hitungan kasar biaya perawatan bisa mencapai Rp100 juta/bulan untuk seluruh anak dalam naungan yayasan tersebut.
Angka ini mencakup biaya obat, makan-minum harian, kudapan ringan, suplemen, hingga bayaran sekolah swasta.
“Belum transportasi mereka ke RS untuk ambil ARV. Belum bayaran uang sekolah swasta, memang ada memang, tapi tidak semua anak dapat. Apalagi awal-awal sekolah seperti SMP ada uang raport, uang ujian semester, mid semester,” terangnya.
Ia juga mengeluhkan obat-obatan yang biayanya tidak ditanggung semua BPJS Kesehatan untuk infeksi oportunistik. Misalnya, ODHA anak sekaligus penderita epilepsi dan hernia yang tidak cocok menggunakan obat cakupan BPJS Kesehatan.
Jika dipaksakan minum, justru bisa berdampak buruk bagi kondisi tubuhnya, seperti timbul ruam-ruam, alergi dan seterusnya.
Kondisi ini juga berlaku bagi ODHA anak dengan kondisi ‘istimewa’ dalam memenuhi suplemen tambahannya seperti susu. Beberapa penderita, bahkan hanya cocok mengonsumsi susu dengan merek tertentu yang per 400 gramnya dibanderol Rp250 ribu.
“Nah, dia perlu dalam itu sekitar 12 kaleng/bulan, kebayang enggak tuh? Kalau enggak minum susu itu, dia diare berat. Itu untuk biaya-biaya per anak. Sedangkan, kami mendampingi, ini yang saya ceritakan tadi khusus yang ada di asrama kita,” ucapnya.
Biaya besar juga diceritakan Kepala Sekretariat Yayasan Aids (Yaids) Indonesia Arief R Abdullah. Ia menuturkan, pihaknya pernah menangani ODHA dengan perawatan pribadi di sebuah rumah sakit swasta. Dalam waktu dua pekan, biaya yang mesti dipanjar kepada rumah sakit bisa menyentuh hingga Rp8 juta.
Semuanya biaya itu sudah mencakup tes lab, obat, dan tindakan lainnya. Biaya perawatan memang tidak bisa dipukul rata sama. Sangat tergantung dengan tingkat keparahan pasien HIV-AIDS.
“Karena HIV adalah kasus yang unik. Jadi setiap ODHA memiliki gejala yang berbeda-beda, sesuai dengan penyakit pendampingnya,” terang Arief via pesan singkat.
Apalagi, lanjutnya, satuan harga berbagai tindakan perawatan dan seterusnya di setiap rumah sakit bervariasi. Karena itu, Yaids selalu mengupayakan agar si pasien dipindah ke rumah sakit khusus.
“Untuk itu, kami selalu mengarahkan (pasien ODHA) untuk dipindah ke rumah sakit rujukan khusus HIV,” serunya.
Beberapa rumah sakit, ia sebut, telah menyediakan akses pelayanan HIV-AIDS secara gratis, seperti RS Cipto Mangunkusumo, RS Santa Carolus, dan Klinik Matahari di RS Polri Sukanto.
Tanggungan BPJS
Besarnya biaya yang harus dihadapi ODHA membuat pemerintah turun tangan. Direktur Pencegahan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P2PML) Kemenkes Siti Nadia Tarmizi menjelaskan, secara umum obat anti-retro viral atau ARV di Indonesia untuk penderita HIV-AIDS disediakan gratis oleh pemerintah.
ODHA bisa memperoleh obat tersebut baik dari puskesmas maupun rumah sakit rujukan. Lantaran disediakan gratis, AVR tidak ditanggung lagi oleh BPJS Kesehatan. Meski begitu, Nadia menjelaskan, lembaga itu menanggung obat lain seperti obat infeksi opurtunistik yang tidak ada dalam program pemerintah, misalnya obat untuk infeksi menular seksual (IMS).
“Untuk obat gratis dan tentunya bisa melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), baik yang termasuk kategori Penerima Bantuan Iuran (PBI) maupun non-PBI,” terang Nadia.
Selanjutnya, Nadia menyebutkan pemerintah juga telah seoptimal mungkin memberikan berbagai upaya perawatan kepada pasien HIV-AIDS di Indonesia. Seperti, layanan tes untuk mendeteksi seseorang terinfeksi HIV, hingga segera memberikan pengobatan ARV ketika terinfeksi.
Ia mencontohkan, tes darah (CD-4) dilakukan untuk menentukan seberapa baik kondisi imun orang yang terdiagnosa infeksi HIV, begitu juga fungsi hati dan ginjal pada waktu pengobatan diberikan. Selain itu, juga pengobatan bagi setiap infeksi oportunistik yang ditemukan
“(Pasien.red) mendapatkan pemeriksaan viral load sebagai evaluasi pengobatan, serta perawatan lainnya sesuai indikasi medis atau saran klinis,” seru Nadia yang menyebut, pemerintah juga memiliki program pencegahan agar masyarakat tidak terinfeksi HIV.
Kepala Humas BPJS Kesehatan M Iqbal Anas Ma’ruf menegaskan, pihaknya memang tak lagi menanggung ARV karena sudah ditanggung negara. Namun, pihaknya memang tetap memberikan perlindungan terhadap masyarakat yang terserang penyakit bawaan dari HIV/AIDS.
“Misalnya obat TBC, sudah ada dalam program pemerintah, maka BPJS Kesehatan tidak boleh menanggungnya,” kata Iqbal.
Jadi, BPJS Kesehatan tidak menanggung biaya yang sudah ditanggung program pemerintah karena ini masuk uang negara. Artinya, dalam hal ini JKN dari Kartu Indonesia (KIS) yang dikelola BPJS Kesehatan hanya menanggung penyakit bawaan penderita HIV/AIDS.
Orang-orang yang terkena HIV/AIDS, lanjutnya, memang rentan terkena berbagai infeksi karena sistem kekebalan tubuhnya menurun drastis.
“Orang HIV/AIDS sering dijumpai mengalami diare kronik akibat adanya infeksi kuman pathogens. Ketika dirawat di rumah sakit, dia bisa mendapat jaminan,” ucapnya.
Ia menjelaskan, jika dirawat di rumah sakit akan dikenakan tarif Indonesia Case Base Groups (INA-CBG). Ini merupakan sistem pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan kepada fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan atau paket layanan yang didasarkan pada pengelompokkan diagnosis penyakit dan prosedur.
Pembiayaan pengobatan pasien HIV/AIDS di fasilitas kesehatan tingkat pertama termasuk paket kapitasi. Sementara fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut masuk dalam paket INA-CBG. Prosedur itu sesuai dengan Permenkes 28/2014 tentang Pedoman Pelaksanaan JKN, sedangkan obatnya menggunakan obat program.
Tantangan Berobat
Arief menilai, secara umum penanganan pasien HIV-AIDS sudah cukup andal, baik di kota-kota besar hingga daerah. Asalkan pasien mau mengikuti prosedur yang ada, pasien bisa berobat di rumah sakit, klinik atau pusat perawatan HIV lain yang tersedia.
Secara khusus di daerah, pasien atau calon pasien HIV bisa menuju puskesmas terdekat untuk mendapat rujukan. Jika membutuhkan penanganan khusus di rumah sakit di tingkat kabupaten/kota atau provinsi.
“Harus digarisbawahi, pemerintah sudah berusaha menjangkau seluas dan semudah-mudahnya dengan menyediakan tes HIV di puskesmas terdekat,” sebutnya.
Satu-satunya persepsi penanganan belum maksimal diakibatkan kurangnya informasi lebih dini terkait orang yang terinfeksi HIV. Masyarakat akan cenderung fokus terhadap dampak sosial di lingkungan, kala mengetahui indikasi paparan pada seseorang.
“Begitu mengetahui dirinya atau keluarganya (terpapar) akan ke situ fokusnya, dibanding mencari informasi pengobatan dan perawatan. Hal ini bikin terlambat,” tuturnya.
Tantangan lainnya berasal dari pandemi covid-19. Arief menyebutkan situasi anomali saat ini menimbulkan ketakutan tersendiri buat ODHA berkunjung ke pusat kesehatan.
“Karena, mereka memang paham betul kondisi tubuhnya jika tertular covid-19, maka semuanya akan (berdampak.red) sangat buruk,” terang Arief.
Karena itu, pada masa-masa pagebluk ini, Yaids sempat terus memonitor keperluan perawatan HIV lewat pemeriksaan virtual. Sementara, pengambilan obat bisa dilakukan oleh kurir atau wali keluarga.
“Memang menjadi sulit, namun itu jalan satu-satunya untuk mempertahankan imun tubuhnya,” kata Arief.
Kecemasan paparan covid-19 pada ODHA anak yang diasuhnya, juga dialami Ropina Tarigan. Khususnya soal pengambilan jatah ARV. Jika sebelumnya ODHA anak bisa mengambil ARV untuk kebutuhan tiga bulan sekaligus, pada masa pandemi ini dibatasi hanya untuk kebutuhan sebulan saja.
Karenanya, ia berharap pemerintah dapat menyediakan obat anti retro viral yang cukup banyak kepada pasien. Jika bisa, pemberiannya bisa diberikan untuk jangka waktu tiga bulan seperti sebelumnya, tidak seperti sekarang.
Selain itu, ia menilai, ketidakefektifan pelayanan di RS terhadap ODHA anak mesti terus diperbaiki. Menurutnya, layanan rumah sakit kepada ODHA anak masih belum cukup sejak sebelum pandemi. Karena itu, ia meminta pihak RS mencari cara, agar anak-anak tidak berlama-lama di sana.
“Kita tahu sendiri kemarin, kan kasus covid-19 membludak. Terkadang, anak-anak kita misal masuk UGD karena repot ngurusin covid-19, itu kan telantar juga, pasti ada dampaknya,” sebutnya.
Harapan Perbaikan
Ke depan, Arief berharap penanganan ODHA di Tanah Air bisa terus membaik bersama Yaids maupun beragam lembaga swadaya masyarakat lain. Tak hanya dari sisi penanganan kesehatan, tapi juga peningkatan edukasi dan informasi, agar masyarakat memiliki wawasan kesehatan yang baik mengenai HIV.
Pasalnya, dirinya tidak bisa memungkiri, stigma negatif di setiap lapisan masyarakat masih jadi tantangan untuk kelancaran pelayanan bagi pasien. Bahkan tak jarang, stigma tersebut juga muncul dari kalangan tenaga kesehatan.
“Sebagian lagi memang stigma nakes yang punya ketakutan terhadap akibat yang akan ditimbulkan virus tersebut,” pungkas Arief.
Namun, sekalipun ada banyak kekhawatiran, Nadia optimistis beragam program perawatan ODHA di dalam negeri yang telah diberikan, dapat menjadi solusi bagi masyarakat terpapar penyakit dari kalangan kurang mampu juga.
Dirinya juga menyebut beragam langkah sinergitas dengan BPJS Kesehatan akan terus ditempuh ke depan. Sehingga, Indonesia bisa mencapai ending HIV-AIDS di 2030, sejalan dengan komitmen semua negara di tingkat global.
“Terpenting akan saling bersinergi (dengan BPJS), karena untuk penanganan HIV akan dibiayai program. Tetapi penyakit lain, tentu ini bagian dari kuratif yang menjadi ranah BPJS Kesehatan,” ujar Nadia. []