July 13, 2025

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Masih Relevankah Mengirim PMI ke Luar Negeri untuk Atasi Pengangguran ?

3 min read

JAKARTA – Di tengah situasi meningkatnya angka pengangguran di dalam negeri, apakah menjadi pekerja migran adalah solusi?

Dalam acara peresmian Migrant Center di Universitas Diponegoro (Undip), Semarang, Jawa Tengah pada Kamis (26/6/2025), Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI)/Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Abdul Kadir Karding melontarkan pernyataan yang menyarankan warga negara Indonesia (WNI) agar bekerja ke luar negeri.

“Di Jawa Tengah, ada 1 juta (pengangguran) yang belum terserap, Anda (mahasiswa) calon (tenaga kerja) yang tidak terserap, maka segera berpikir ke luar negeri,” kata Karding dalam acara itu.

Pernyataan itu menuai polemik. Beberapa hari kemudian, dia mengklarifikasi pernyataannya.

“Seingat saya, saya bicara bahwa saya kampanye agar anak-anak, termasuk mahasiswa, bisa berkesempatan bekerja di luar negeri. Namun, dipersepsikan dan ditulis seolah-olah saya menelantarkan orang Indonesia ke luar negeri karena tidak ada lapangan kerja di dalam negeri. Padahal, tugas saya memang untuk melindungi dan menempatkan pekerja migran, bukan mengurus lapangan kerja dalam negeri,” kata Karding, dikutip dari Antara.

Karding menekankan, dirinya tidak memaksa masyarakat untuk bekerja di luar negeri. Namun, peluang tersebut merupakan alternatif yang logis di tengah tingginya kebutuhan akan lowongan kerja nasional. Meski demikian, pernyataan Karding telanjur menjadi sorotan.

Menurut pakar ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Tadjuddin Noer Effendi, dorongan yang menyarankan WNI bekerja ke luar negeri muncul sebagai respons atas kondisi industri dalam negeri yang lesu.

“Kalau melihat (data) Purchasing Managers Index Indonesia bulan Juni 2025 yang berada di angka 46,9 itu, menandakan sektor manufaktur kita mengalami kontraksi,” ujar Tadjuddin dinukil dari Alinea, Kamis (3/7/025).

“Artinya, sektor tersebut belum bisa menyerap tenaga kerja.”

Lalu, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), angka pengangguran melonjak hingga 83.000 orang. Situasi ini, kata dia, mendorong pemerintah untuk mencari alternatif. Termasuk menyarankan tenaga kerja Indonesia mengisi peluang kerja di luar negeri, seperti Australia, Jepang, Korea, hingga Eropa. Tadjuddin menilai, langkah ini cukup rasional.

“Daripada bertahan di dalam negeri tanpa pekerjaan, lebih baik dikirim ke luar negeri agar mereka bisa menghasilkan devisa,” kata Tadjuddin.

Walau begitu, dia juga menekankan pentingnya akses informasi yang jelas dan transparan bagi masyarakat yang ingin bekerja ke luar negeri. “Banyak masyarakat yang tidak tahun prosedur,” ucap Tadjuddin.

“P2MI (Pelindungan Pekerja Migran Indonesia) harus lebih aktif membuka desk layanan informasi, termasuk mengedukasi soal paspor, visa, dan jalur legal agar tidak jatuh ke tangan calo.”

Lebih lanjut, Tadjuddin mengatakan, peluang bekerja ke luar negeri harus dimanfaatkan secara bijak. “Kalau dilakukan dengan sistem perlindungan yang baik, saya kira bisa menjai jalan keluar sementara, sambil memperbaiki kondisi pasar kerja dalam negeri,” tutur Tadjuddin.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo menilai, pendekatan pemerintah yang menjadikan pekerja migran sebagai “komoditas devisa” adalah bentuk kemunduran.

“Itu adalah pernyataan yang ngawur terhadap kebijakan perlindungan (pekerja) migran,” kata Wahyu, Rabu (2/7/2025).

“Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran, yang menegaskan bahwa fokus kita bukan lagi mengirim sebanyak-banyaknya, tapi melindungi secara maksimal.”

Wahyu menambahkan, perspektif bahwa pengiriman tenaga kerja Indonesia adalah solusi mengatasi pengangguran dan alat mencari devisa harus ditinggalkan. Sebab, kata dia, negara punya kewajiban konstitusional untuk melindungi warganya, termasuk ketika mereka bekerja di luar negeri.

“Jangan ubah mereka jadi komoditas ekspor,” ujar Wahyu.

Wahyu juga mengingatkan, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang perlindungan pekerja migran lewat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2012.

“Artinya, negara tidak hanya berkewajiban memberikan akses pekerjaan, tetapi juga jaminan perlindungan hukum, sosial, dan ekonomi bagi (pekerja) migran,” kata Wahyu. []

Advertisement
Advertisement

Leave a Reply