Melindungi PMI Adalah Tanggung Jawab Bersama

JAKARTA – Pekerja migran Indonesia (PMI) memainkan peran krusial dalam perekonomian nasional. Kontribusi mereka tidak hanya terlihat dari jumlah remitansi yang signifikan, juga dalam pengentasan masyarakat miskin dan pengurangan pengangguran. Namun, di balik kontribusi tersebut, masih banyak PMI yang menghadapi berbagai permasalahan, terutama perlindungan mereka di luar negeri.
Peristiwa penembakan lima warga negara Indonesia (WNI) oleh Agensi Penguatkuasaan Maritim Malaysia (APMM) hanya puncak gunung es permasalahan PMI. Dalam peristiwa itu, dua WNI tewas, sedangkan tiga lainnya luka-luka. Kelima WNI ini merupakan calon PMI yang berangkat ke negeri jiran melalui jalur yang tak sesuai prosedur (nonprosedural atau unprocedure).
“Dari keterangan WNI yang selamat, kelima WNI itu tidak saling mengenal dan baru bertemu sebelum kapal berangkat,” kata Duta Besar Indonesia untuk Malaysia, Hermono dalam keterangannya, Senin (10/2/2025).
Presiden Prabowo Subianto turut prihatin dengan berita penembakan yang dialami 5 WNI itu. Presiden meminta Pemerintah Malaysia mengusut tuntas kasus tersebut. Meski demikian, Prabowo mengingatkan konsekuensi dari pemberangkatan PMI yang tak sesuai prosedur.
“Kalau menyelundup ke negara asing, risikonya negara asing akan bertindak. Jadi, rakyat kita jangan mau dibohongi oleh sindikat-sindikat yang berjanji ini itu,” kata Prabowo setelah memberikan arahan dalam rapat pimpinan TNI-Polri, Kamis (30/1/2025).
Iming-iming Gaji Besar
Dari hasil penelusuran, beberapa WNI yang pernah berangkat ke luar negeri untuk bekerja melalui jalur yang tak sesuai prosedur. Salah satunya ialah DM (46), wanita warga Depok, yang pernah bekerja di Malaysia pada 2023. DM mengaku tergiur tawaran gaji besar untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Ia sudah merasakan tak nyaman setelah menghadapi berbagai tantangan dalam jalur penyelundupan.
“Sebelum naik kapal, kami harus melewati hutan dan membayar uang keamanan sekitar Rp 100.000. Istilahnya biaya ke ‘preman hutan’,” kata DM yang ditemui beberapa waktu lalu.
Setelah melewati hutan, DM dan rombongan naik kapal menuju Malaysia di tengah malam. Namun, di perairan Malaysia, mereka harus menghadapi razia polisi. Untuk menghindari penangkapan, para pekerja dipaksa terjun ke laut.
“Barang-barang kami dibuang, termasuk hand phone. Kami juga dilempar ke laut,” kenang DM.
Ia akhirnya ditemukan tak sadarkan diri di pantai oleh seorang pekerja migran lainnya. Setelah tiba di Malaysia, DM dan rekan-rekannya dijual ke agen tenaga kerja. Ia bekerja pada sebuah keluarga yang kasar dan sering mendapat kekerasan verbal maupun fisik. Tak hanya itu, makanan yang diberikan pun sangat minim. Alih-alih mendapatkan gaji yang dijanjikan, selama bekerja selama setahun, DM hanya mendapatkan gaji selama 2 bulan.
Tak tahan dengan kondisi tersebut, DM akhirnya melarikan diri ke rumah perlindungan. Dia dikarantina selama 6 bulan sebelum dipulangkan ke Indonesia melalui bantuan KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia) dan Migrant Care.
“Kalau mau kerja di luar negeri, pastikan melalui jalur resmi. Jangan sampai bernasib seperti saya,” pintanya.
Nasib serupa dialami K, warga Kediri yang pernah menjadi PMI di Malaysia pada awal 2000. Ia diajak temannya untuk bekerja di Malaysia bersama tujuh orang lainnya dari berbagai daerah di Jawa Timur. Setelah mendapat paspor, rombongan K naik bus menuju Batam sebelum akhirnya menyeberang ke Malaysia dengan kapal kecil pada tengah malam hari.
“Sekitar pukul 02.00 dini hari WIB, kami diminta terjun ke laut karena ada polisi. Kedalaman lautnya lebih dari tiga meter. Saya beruntung bisa berenang dan selamat,” ungkap K. []