Membidik Peluang Kemasan Ramah Lingkungan
JAKARTA – Tanpa disadari, setiap kemasan bekas makanan dan minuman seperti stirofoam, plastik, dan sebagainya telah menghasilkan sampah bekas pakai yang menumpuk di berbagai belahan dunia.
Berdasarkan catatan Greenpeace, dalam Kegiatan Audit Merek selama tahun 2016 hingga tahun 2019, sampah perusahaan kebutuhan sehari-hari (fast moving consumer good/FMCG) menjadi sampah terbanyak pada kategori sampah bermerek.
Dalam temuannya, sebagian besar merek penyumbang sampah, berada dalam industri makanan dan minuman yang merupakan kategori industri yang terus berkembang setiap tahunnya.
Selain sampah bermerek, kegiatan audit juga menyoroti temuan sampah non-bermerek seperti sedotan, stirofoam, maupun kantong plastik.
Pada audit merek 2019, sedotan ternyata menjadi sampah non-merek terbanyak dengan porsi 16% dari total sampah merek dan non-merek. Berikutnya, ditemukan sampah kantong plastik sebanyak 11% dari total sampah merek dan non-merek.
Tidak hanya itu, sampah-sampah tersebut pun juga menimbulkan masalah ekonomi. Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (Organization for Economic Co- operation and Development/OECD) pada 2018 memperkirakan, kerugian ekonomi akibat pencemaran plastik di laut mencapai US$14 miliar per tahun.
Temuan-temuan tersebut pun diperparah saat pandemi covid-19. Pada Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), salah satu produsen kemasan plastik mengungkapkan, ada kenaikan permintaan kemasan, baik primer maupun sekunder packaging sekitar 3% hingga 5% dibanding dengan pembatasan mobilitas sebelumnya.
Hal yang sama terungkap pada riset yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengenai Dampak Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan konsep bekerja dari rumah atau work from home (WFH).
Riset menyebutkan, sampah plastik di kawasan Jabodetabek pada April hingga Mei 2020 meningkat sejalan dengan bertumbuhnya lelaku belanja online yang sebelumnya 1-5 kali dalam sebulan, menjadi 1-10 kali per bulan.
Apalagi, dalam layanan pesan antar, 96% kemasan makanan maupun minuman, dibungkus dengan plastik tebal dengan bubble wrap, selotip, dan kemasan lainnya yang hampir semuanya berbahan dasar plastik.
Bisa dibilang, kewajiban tetap berada di rumah selama pandemi di satu sisi mampu menekan peningkatan kasus covid-19, namun punya efek lain, yakni meningkatkan sampah plastik dari belanja online.
Tangkap Peluang
Usaha-usaha mengurangi sampah plastik memang sudah dilakukan sejumlah pihak, baik pemerintah maupun lembaga atau organisasi masyarakat. Namun, itu saja belum cukup. Diperlukan banyak lagi gerakan yang lebih masif untuk mengurangi sampah plastik.
Seperti yang dilakukan Rengkuh Banyu Mahandaru bersama dua orang kawannya, yang berusaha menjawab permasalahan yang ada. Banyaknya sampah plastik kemasan makanan dan minuman yang ada dan masih minimnya alternatif pengganti, jadi alasan mereka berkreasi.
Modal awal pun dikumpulkan. Setidaknya Rp100 juta berhasil dikumpulkan dari hasil patungan Rengkuh bersama kawannya. Pada 2018, mereka resmi mendirikan Plepah.
Plepah dibangun menjadi salah satu inisiatif pemberdayaan masyarakat di area konservasi, melalui pengolahan produk hasil hutan non-kayu, berupa limbah pertanian pohon pinang sebagai penggerak ekonomi alternatif untuk masyarakat.
“Sebetulnya kami prihatin terhadap isu lingkungan. Maraknya regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah mengenai pelarangan produk sekali pakai yang tidak ramah lingkungan seperti plastik, stirofoam, dan lain-lain, tidak diikuti dengan adanya inovasi untuk produk alternatif atau substitusinya,” tuturnya.
Memang benar, pemerintah sendiri sejatinya telah berkomitmen melarang penggunaan plastik sekali pakai secara nasional sesuai Permen LHK 75/2019. World Resources Institute (WRI) Indonesia bahkan menyarankan, terdapat tiga hal yang bisa dilakukan untuk mencapai target pengurangan sampah sekali, pakai hingga awal 2030.
Pertama, mendorong transformasi produsen untuk menciptakan sistem pengumpul dan pendauran produk kemasan plastik, sambil mengurangi jenis plastik sekali pakai. Kedua, membangun regulasi yang mendukung efisiensi pemakaian dan pemanfaatan kembali plastik. Ketiga, mendorong inovasi pengurangan plastik sekali pakai oleh berbagai pihak.
Dari situ, Rengkuh bersama kawannya terinspirasi dan mencoba memanfaatkan komoditas yang ada di Indonesia melalui para petani. Komunikasi pun dilakukan. Nyatanya, banyak sekali potensi yang bisa dikelola untuk menjadi bahan alternatif kemasan sekali pakai.
Pada awalnya, komunikasi sempat dilakukan dengan para petani dari berbagai komoditas. Mulai dari komoditas sawit hingga karet yang berada di daerah Sumatera Selatan dan Provinsi Jambi.
Referensi dari luar negeri juga dicari. Salah satunya dari India. Rengkuh mengatakan, di India sudah ada pihak yang mulai menggunakan berbagai macam material alternatif sebagai kemasan makanan yang ramah lingkungan.
“Kemudian ditarik ke konteks Indonesia, komoditas itu sebenarnya sudah ada, bahkan mungkin pada saat ini belum ada nilainya. Maka kami coba optimalkan nilainya dengan perubahan bentuk dari bahan baku menjadi sebuah produk yang saat ini muncul di pasaran yaitu produk Plepah,” tuturnya.
Selama dua tahun, riset untuk material dan pengembangan produk dilakukan. Tahun pertama, riset difokuskan untuk pengolahan material. Pada tahun kedua, riset berfokus pada proses produksi material menjadi sebuah produk.
Teknologi Sederhana
Asal tahu saja, riset yang dilakukan Rengkuh dan kawannya tidak main-main. Untuk proses riset, mereka bekerja sama dengan beberapa pihak. Sebut saja dengan Lembaga Pengembangan Inovasi Kewirausahaan Institut Teknologi Bandung (LPIK ITB) dan Pusat Pengembangan Biomaterial LIPI.
Riset yang dilakukan berfokus pada riset material dan produk. Kemudian, untuk pengelolaan pemberdayaan masyarakat, Plepah sampai bekerja sama dengan Biological Society of London dan Departemen for International Development United Kingdom pada 2018 hingga 2019.
Meski banyak dukungan, bukan berarti proses riset tanpa rintangan. Beberapa hambatan ditemui.
“Misal kita berbicara bisnis gitu, kadang proses riset itu dimundurkan atau dianggap nanti saja kalau produknya sudah jadi. Sementara pendekatan yang kami lakukan adalah research based, di mana kita harus mengetahui karakter socioeconomic di satu titik masyarakat, karakter materialnya, implementasinya, dan sebagainya,” imbuhnya.
Setelah berbagai macam riset dilakukan, material pelepah pinang diputuskan menjadi bahan baku produk. Rengkuh menjelaskan, teknologi pengolahan pelepah pinang mudah diterapkan secara sederhana. Pelepah pinang juga dapat diaplikasikan ke daerah-daerah rural.
Selain itu, pelepah pinang dipilih juga karena material ini yang paling mudah untuk bisa diterima masyarakat. Bicara mengenai fungsi dan dampak terhadap lingkungan, produk yang menggunakan pelepah pinang dapat hancur secara alami dalam 60 hari di tanah maupun di lautan.
Keunggulan lain pelepah pinang adalah bahan yang aman karena tidak mengontaminasi makanan.
“Dan fungsi lain mungkin untuk kebutuhan industri makanan kemasan ini juga bisa menahan panas hingga 200 derajat celcius dan dingin -3 derajat celcius. Dan ini water resistance juga,” ujarnya.
Dalam pengolahannya, Plepah menggunakan skema mikro manufacturing. Skema ini dipilih agar teknologi yang digunakan bisa diadaptasi oleh masyarakat pedesaan di area-area terpencil dan ramah lingkungan.
Ya, Tim Plepah sengaja menggunakan sumber listrik dari panel surya, turbin air, dan tenaga hemat daya lainnya untuk mengoperasikan mesin-mesin pengolahan.
Terganjal Pandemi
Setelah mengetahui produk apa yang ingin dibuat dan bagaimana pengelolaannya, mesin pengolahan bahan kemudian dibuat. Pada saat yang sama, Rengkuh dan kawannya mengondisikan kelompok masyarakat dan petani.
“Dan akhirnya di 2020 kita launch produk kita ke pasar. Tapi pada saat itu 2020, beberapa bulan kemudian, kita kan terkena pandemi, jadi di pasar pun kita belum bisa signifikan. Tapi setidaknya untuk di konteks masyarakat dan pengelolaan kelompok kita sudah dikuatkan sistemnya,” ucapnya.
Kendalanya saat ini, produk food packaging Plepah masih harus dibanderol dengan harga retail yang lumayan tinggi, yakni Rp5.000 per pcs. Harga ini terbilang jauh lebih mahal dibandingkan wadah makanan berbahan stirofoam yang hanya berkisar Rp300 per pcs.
Penjualan produk Plepah juga belum bisa mencapai titik tertingginya dikarenakan pandemi covid-19 yang hampir bersamaan muncul dengan launching produk Plepah. Meski demikian, Rengkuh masih yakin, permintaan akan kemasan makanan berbahan baku ramah lingkungan punya potensi besar.
“Ini demand yang cukup menarik, nih. Karena di 2020 tuh, sebelum kita terkena pandemi kontrak dan permintaan yang masuk ke kami itu sudah mencapai 100 ribu kurang lebih lah per bulannya,” ungkapnya.
Menurut catatan Plepah, potensi permintaan akan kemasan makanan berbahan baku ramah lingkungan saat ini mencapai 1,8 juta pcs per tahunnya. Sementara, Plepah baru bisa memproduksi produk sebanyak 120 ribu pcs per tahunnya.
Potensi permintaan tersebut, kata Rengkuh, masih lebih kecil, setidaknya, jika dibandingkan dengan hasil riset yang telah dilakukannya. Ia mengungkapkan, penelitian Plepah menemukan rata-rata penggunaan kemasan di daerah Jabodetabek per harinya mencapai 20 hingga 25 juta pcs per harinya.
“Jadi bayangin saja sampahnya itu,” ujarnya.
Karena potensinya yang besar inilah, Rengkuh berani mengambil langkah untuk menambah kapasitas produksi dengan menggaet investor untuk memanfaatkan peluang yang ada.
Sejauh ini, penjualan produk yang dilakukan Plepah pun dilakukan dengan metode business to business (B2B) dengan industri yang berdekatan dengan market Plepah, seperti restoran, jasa makanan, hingga catering.
Rengkuh mengaku sedang berkomunikasi dengan salah satu induk merek kosmetik besar untuk mencoba potensi pengembangan kemasan kosmetik yang ramah lingkungan.
“Kita coba lakukan risetnya itu,” ujarnya.
Rengkuh juga mengatakan, telah menjalin kerja sama dengan pemerintah melalui beberapa kementerian. Seperti Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, hingga Kementerian Pariwisata Ekonomi Kreatif/Badan Ekonomi Kreatif.
Ke depannya, Rengkuh berharap, di Indonesia, kemasan bekas makanan tidak hanya memberikan dampak negatif terhadap lingkungan. Patut diingat, saat ini Indonesia menjadi kontributor sampah kelautan nomor 2 terbesar setelah China.
Ia pun berharap, inisiatif yang dilakukan Plepah, bisa mendorong pelaku usaha lainnya untuk bisa berinovasi memberikan sebuah solusi, khususnya untuk masalah lingkungan. Ia yakin, masih banyak potensi yang belum digali dengan baik.
“Di sisi lain juga potensi ekonominya sangat besar. Kami berharap, ketika kita melakukan bisnis, bukan hanya berbicara mengenai profit, tapi juga lebih banyak berbicara mengenai dampak terhadap lingkungan dan sosial. Agar cita-cita untuk kita sama-sama berdaya dan mengembangkan Indonesia lebih maju itu bisa tercapai,” pungkasnya. []
Penulis: Rheza Alfian