December 23, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

MENARI, RATUSAN PEREMPUAN BERSATU MELAWAN SOLIDARITAS

2 min read

CENTRAL – Ratusan pekerja migran dari Indonesia, Filipina, Nepal, Thailand, serta warga Hong Kong, Minggu (17/2), memenuhi Pavement Between Court of Final Appeal and Statue Square, Cental, untuk menari bersama, mengkampanyekan One Billion Rising.

One Billion Rising (OBR) adalah aksi yang diinisiasi aktivis perempuan pada 2012. Setiap tanggal 14 Februari, OBR mengajak para perempuan turun ke jalan dan mengekspresikan persoalan yang mereka alami melalui tarian, sebagai wujud perlawanan terhadap kekerasan yang dialami. Kampanye OBR tahun ini secara internasional mengangkat tema ”Bersatu Melawan Solidaritas”. Kampanye OBR dilakukan di ratusan negara, termasuk Indonesia.

Mengutip koordinator International Migrant Alliance (IMA) Eni Lestari, isu yang diangkat OBR tahun ini masih sama, tapi secara internasional penekannya adalah bersatu melawan solidaritas. ”Tahun ini, kita sendiri masih mengangkat masalah perbudakan modern yang tidak hanya untuk migran, tapi juga untuk lokal. Dalam konteks bahwa perempuan itu secara hukum, secara sosial, secara budaya, masih banyak belenggu – tertulis maupun tidak tertulis – yang membatasi perempuan untuk mempunyai kesempatan yang sama,” ujarnya.

Eni menambahkan, untuk migran di Hong Kong, isu utamanya adalah menuntut masalah kekerasan melalui peraturan yang diterbitkan oleh Pemerintah Hong Kong maupun Pemerintah Indonesia. Di antaranya, tidak mau mengatur jam kerja, sehingga pekerja rumah tangga (PRT) harus bekerja panjang, banyak orang sakit, bahkan meninggal. Kemudian masalah keamanan kerja, mulai dari membersihkan jendela. Walaupun sudah masuk dalam kontrak kerja, tapi itu bukan undang-undang, sehingga bukan larangan hukum.

”Upah yang sesuai dengan standar hidup, hari ini juga kita pertanyakan. Kita menyebutnya sebagai upah yang harus bisa menjawab peningkatan hubungan hidup. Upah kita hari ini sangat di bawah standar, sehingga menjebak perempuan harus menutupinya dengan kerja part time atau yang lain,” lanjutnya.

Eni menambahkan, kewajiban live in di tengah masih adanya pilihan untuk punya negosiasi live out. Ini merupakan bentuk kekerasan yang terjadi karena PRT tersebut perempuan. ”Mengapa mereka sangat tidak peduli? Pertama, karena kita perempuan. Kedua, stigma PRT bahwa mereka harus seperti itu. Jadi mereka secara esensi masih belum menegakkan bahwa PRT, walaupun sudah dimasukkan dalam UU Perburuhan, tapi aspek-aspek lainnya sama sekali tidak diurus. Sementara, UU Perburuhan hanya mengatur upah dan hari libur. Masalah pekerja cuma 20 persen, 80 persen masalah istrahat, makan sehari-hari. Ini yang total mereka tidak mau tahu,” tegas Eni.

Kampanye yang digalang oleh Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI), Asian Migrant Coordinating Body (AMCB) dan International Migrant Alliance (IMA) tersebut turut dihadiri Direktur Global One Billion Rising, Monic Wilson. (hanna)

Advertisement
Advertisement