April 25, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Menengok Kehidupan Anak-Anak yang “Terpaksa” Menjadi Yatim atau Yatim Piatu Karena Pandemi

4 min read
Bupati Madiun Ahmad Dawami saat bersama anak anak korban pandemi

Bupati Madiun Ahmad Dawami saat bersama anak anak korban pandemi

MADIUN – Suasana duka dua bulan lalu, masih teringat jelas dalam benak Dwi Utomo (25). Kala itu, dia dan keluarganya mengantarkan sang ayah ke peristirahatan terakhir.

Tak banyak hal yang bisa dia lakukan, selain menatap peti putih diturunkan dari mobil jenazah lalu dimasukkan perlahan ke liang kubur. Prosesi pemakaman dengan protokol kesehatan, mengharuskannya tak bisa dekat liang lahat.

Sebelum lubang itu kembali ditutup tanah, Tomo-begitu dia disapa, melihat kakaknya mengadzani ayahnya untuk terakhir kalinya. Isak tangis ibu dan kedua adiknya turut menambah rasa sedih. Resmi sudah sang superhero keluarga pergi untuk selamanya.

“Saat kuburan almarhum mulai ditutup kembali, di situlah adik saya sepertinya baru mengerti dan merasa kalau ayahnya sudah tidak ada lagi,” kata Tomo.

Kumpulan memori tentang sang ayah seakan terputar kembali diingatan pria berdarah Jawa itu. Dia menyebut ayahnya sebagai sosok family man. Maka wajar kepergiannya karena terpapar covid-19, menjadi kepedihan yang amat mendalam.

Apalagi, adik bungsunya sangat dekat dengan sosok tersebut. “Kami saling bercerita tentang pendidikan hingga persoalan kehidupan. Deretan momen bersama almarhum itu memang masih membekas,” tuturnya.

Tak mau berlarut-larut dalam kesedihan, Tomo dan kakaknya mulai memikirkan kehidupan selanjutnya. Bukan untuk dia, tapi untuk ibu dan adik-adiknya. Mereka berdua bersepakat untuk mengambil alih tugas dan tanggungjawab almarhum.

Bagi mereka berdua, keluarga adalah harta yang paling berharga dan harus dijaga.

“Kami berdua sudah langsung ambil keputusan untuk menafkahi adik-adik dan ibu saya. Keputusan ini juga sudah dibicarakan kepada pihak keluarga,” terangnya.

Bagi Tomo, apa yang dihadapinya sekarang dan ke depan, bukan sebagai beban hidup, tapi bentuk tanggung jawab.

Meski harus menjadi tulang punggung keluarga pada masa mudanya ini. Kini, dia harus lebih serius membagi waktu untuk meneruskan kuliahnya sembari bekerja.

Peran sebagai ayah juga harus dia mainkan kepada dua adik. Apalagi si bontot sangat dekat dengan almarhum. Secara perlahan, dia mulai melakukan pendekatan emosional kepada adik-adiknya yang masih duduk di bangku SMP dan SD. Cukup jauh memang usai mereka terpaut.

“Jadi, setiap pulang kerja yang kutemui pertama kali adalah adik-adik. Setelah ngobrol dengan mereka, saya baru menemui ibu,” katanya.

Namun bagaimanapun dia sangat menyadari kalau sosok ayah tetap tidak bisa digantikan.

 

 

Antara Sekolah dan Bekerja

Lain Tomo, lain Rehhagel Athallah (17), atau yang biasa dipanggil Jeje. Siswa kelas 3 SMA ini memilih untuk hidup sendiri, sepeninggal ayahnya karena terpapar covid-19, bulan lalu. Kepergian almarhum harus mengubah jalan hidupnya saat ini.

Ayah-ibunya telah lama bercerai. Sementara kakaknya, ada di luar kota. Otomatis, Jeje yang dulu tinggal bersama sang ayah, kini harus lebih mandiri.

Sebenarnya, sang ibu sempat menawarkan kepada Jeje untuk tinggal bersama. Namun, dia  berkeputusan tetap hidup terpisah.

“Untuk sekarang keputusan itu yang dipilih, namun enggak tahu juga kalau kedepannya emang butuh tinggal dengan bunda,” tuturnya.

Untuk menyambung hidup, dia pun meneruskan kerja ayahnya, di salah satu jasa sedot WC yang tak jauh dengan tempat tinggalnya. Beruntungnya, si juragan mau menerimanya sebagai karyawan. Jadi, dia memilih jalan hidup dengan bersekolah sambil bekerja.

Kebanyakan hanya menunggu orderan dari pelanggan. Namun tak tak jarang juga orderan masuk saat dia sedang sekolah online. Pilihan yang berat bagi dia. Hingga akhirnya Jeje lebih memilih untuk menyelesaikan pekerjaannya.

Itulah perjuangan yang harus dilakukan Jeje mulai saat ini. Mencari uang untuk membayar sekolah, membeli makan hingga membayar uang kontrakan.

Bagi Jeje, inilah ujian kehidupan yang sesungguhnya. Pada saat pandemi yang serba tak menentu, dia juga harus kehilangan sang ayah, dan kini harus membanting tulang, setidaknya agar bisa tetap bersekolah. Dengan harapan dapat mewujudkan cita-citanya kelak.

 

Belajar Menjadi Pribadi Kuat

Kedua kisah tersebut adalah sempalan realita sosial yang terjadi akhir-akhir ini. Sebuah kondisi yang telah banyak merenggut nyawa, dan bisa terjadi kepada siapa saja. Meski tanpa pandemi pun, kehilangan orang-orang terdekat, orang-orang yang kita sayangi, pasti akan terjadi.

Dari sini ada pembelajaran yang bisa diambil, bahwa kesedihan menjadi tapak baru bagi setiap orang untuk melanjutkan kehidupan yang lebih baik. Seperti Tomo, yang pada akhirnya menjadi sosok yang lebih berarti, setidaknya bagi keluarganya.

Pun dengan yang dialami Jeje. Dengan segala keterbatasannya, ingin menjadi pribadi yang mandiri tanpa harus meninggalkan pendidikan. Tetap berjuang dengan apa yang bisa dia lakukan, tanpa harus berpangku tangan dengan orang lain.

Mengutip Valid News.com, Psikolog, Alva Paramitha mengatakan, pada dasarnya kehilangan orang tua, pasti akan memberikan kesedihan yang mendalam. Entah lama atau sebentar proses berduka itu, tetapi setiap orang memiliki waktu yang berbeda-beda. Dari kehilangan itu juga, setiap orang akan belajar tumbuh menjadi kuat dan ikhlas.

“Semua itu tergantung bagaimana kepribadian mereka terbentuk. Menjadi kuat itu adalah sebuah perjalanan dan proses mereka menghadapi tantangan dan rintangan dalam kehidupan,” paparnya.

Dosen Sosiologi UIN Sunan Kalijaga, Kanita Khoirun Nisa mengatakan, menjadi kewajiban pemerintah untuk segera mengambil langkah atas kondisi-kondisi tersebut. Setidaknya memberikan pendampingan psikolgis kepada anak-anak yang kehilangan orang tuanya karena pandemi.

“Kemudian untuk anak yang menginjak usia remaja, juga diberikan ketrampilan seperti kursus dan pelatihan menjahit, menganyam, komputer. Sehingga dengan mereka diperhatikan seperti ini, mereka tidak akan putus asa,” ujarnya.

Selain psikologis, ada dampak besar yang bisa terjadi oleh anak-anak dari kalangan keluarga rentan, yakni putus sekolah. Ini merupakan masalah besar yang memang harus segera diantisipasi oleh pemerintah serta seluruh pemangku kebijakan.  []

Advertisement
Advertisement