December 23, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Mengais Hidayah di Ujung Khilaf

4 min read

Aku sudah tekun mengaji sejak masih kanak-kanak. Juga, selalu diminta membantu Nyai Juwariyah menerima setoran hapalan surat pendek adik-adik di TPA, Taman Baca AlQur’an Miftahul Ulum. Aku punya keinginan, setelah lulus SMP masuk pondok pesantren di luar kota Malang. Namun, nasib berbalut takdir membawaku ke Negeri Hong Kong.

Di sini, aku bekerja dan mencoba lebih dekat lagi dengan Sang Maha Esa. Tidak menyalahkan-Nya atas segala kisah yang terjadi. Aku yakin, semua ada hikmah dan jawaban di kemudian hari. Bukankah Allah swt selalu mengabulkan setiap doa hamba-Nya? Meski tidak hari ini, mungkin bisa lusa dan hari sesudahnya.

***

Musim panas Negeri Andy Lau di tahun 2011, membuatku hilang arah. Hilang kendali. Keinginan menambah penghasilan di luar gaji membuahkan keberanianku untuk bertindak. Dari yang masih di jalur-Nya, di garis abu-abu, hingga mengintip jalan kelam. Saat di jalur-Nya, aku melakukannya dengan ringan. Saat mulai tergoda ke garis abu-abu, hatiku dilanda bimbang dan ragu. ”Aku shalat dan puasa, apakah pantas melakukan ini?” hatiku mengingatkan.

Garis ini mengajak pelakunya melawan arus. Melindas norma-norma dan meremehkan nasihat. Terbukti, para pengajakku mulai satu demi satu meninggalkan perintah agama, mencoba menenggak miras dan menghisap rokok. Allah swt masih menanamkan hidayah di dada, hingga aku masih belum terpengaruh dengan pergaulan abu-abu ini.

Lalu, saat bos pemberi pekerjaan tambahan (menjual kain dan bersih-bersih rumah) itu mulai mengincar tubuhku, aku menjadi salah tingkah dan goyah. Mulai tergoda dengan rayuan gombal. Ya, aku akan mendapat hasil lebih kalau selalu melakukan perintahnya. Selagi wajar (bergandengan tangan, cium tangan dan pipi) aku masih mau. Lagian, di Indonesia sana gaya pacaran muda-mudi kan emang begitu.

”Aku hanya ingin menyentuh bagian atas saja, Ran. Kamu akan mendapat imbalan tiga kali lipat gajimu di tokoku. Mau?” Tawaran yang menggiurkan. Hanya disentuh, tidak mungkin hamil kan?

”Saya tidak bisa, Tuan. Saya masih perawan. Saya hanya ingin disentuh suami yang sah dan halal,” jawabku. Malaikat hati masih menjaga ternyata. Namun, saat tangan kekar itu mulai menjamah bagian sensitif yang diinginkannya, hatiku bergolak. ”Ingin menikmati sentuhannya walau sesaat.” Batin penuh setan mendukung. Melihatku menatapnya tanpa bicara, ia melanjutkan serangannya. Mengecup bibir dengan memperkuat pelukan, seolah tidak mengizinkanku kabur dan melepaskan diri.

Saat ia sudah menguasai tubuhku dan memastikan mangsanya tidak akan bergerak, tangannya dengan gesit melepas satu per satu baju yang kukenakan. Aku menikmatinya dengan perasaan campur aduk. Antara ingin melakukan dengan imbalan segepok dolar dan tidak melakukan demi harga diri dan harkat keluarga. Pikiran yang serasa semenit itu memudahkan tangan-tangannya meraba dan meremas.

”Saakiit, Tuan,” jeritku. Dia makin beringas. Meremas tanpa ampun dan menggigit ujungnya. Tanganku mencoba mendorong tubuh kekar itu, namun sia-sia. Ia sudah dengan cekatan menarik celanaku. Jari panjangnya sudah menyentuh daerah itu dan mencoba memasukkannya. ”Ya Rahman… Ampuni aku…,” gumamku.

”Tuan bilang hanya bagian atas? Aku tidak ingin hamil dan hilang kegadisanku,” kataku tiba-tiba. Ia hanya tersenyum tanpa menghentikan gerakan.

”Ya, aku tadi bilang begitu. Namun, tubuhmu menggodaku melakukan hal lain,” sanggahnya. Ia terlihat menikmati, mencoba merekatkan tubuhku dengan tubuhnya. Tidak, tidak, aku tidak boleh melakukannya. Langit-langit kamar Tuan Ramesh tiba-tiba terhias wajah ayah, ibu, dan adik-adik. Roman harap dan asa menyatu pada senyum mereka. ”Heii… aku ke Hong Kong untuk mereka, memberi mereka dengan hasil keringat. Bukan dari hasil menjual harga diri.” Jiwaku bangkit.

Allah, Allah, Allah…” Aku berteriak. Tuan Ramesh terkejut dan terjungkal ke lantai. Kesempatan itu kugunakan mengemasi baju dan mengenakannya. Segera pergi dan tidak ingin kembali lagi ke tempat terkutuk itu.

”Heii…Ran, kamu belum ambil uangnya.” Teriakannya terdengar samar. Aku makin mempercepat langkah, menuju MTR Sham Sui Po.

”Terima kasih sudah menolongku, Ya Rabb… Ampuni hamba-Mu yang kurang bersyukur ini. Insyaallah mulai hari ini aku akan kembali mencari rizki yang Engkau ridhai dan belajar dengan hamba-hamba-Mu yang salih-saliha,” tekadku mantap. Seperti tekad awalku ke Hong Kong untuk membantu ekonomi keluarga, begitu pun tekadku mengubah jalan abu-abu gelap menuju jalan penuh cahaya. Selagi dilakukan dengan bersinambung dan bersyukur, insyaallah berhasil. Bismillah, istiqomah.

 ***

Musim dingin datang lagi. Kehadirannya tak menyurutkan niat untuk selalu berdekatan dengan Sang Pencipta. Semenjak kejadian kelam itu, aku mencoba berbenah, memperbaiki diri dari hari ke hari. Liburan yang biasanya kupakai mencari tambahan penghasilan, kuhapus dalam agenda. Sebagai gantinya, aku mulai aktif belajar menulis, mengisahkan kembali kehidupan yang penuh cobaan dan hikmah. Melukis hidayah Allah di setiap sudut hati.

Alhamdulillah, dengan menulis dan melanjutkan sekolah, hatiku menemui kedamaian. Menjadikan masa lalu sebagai kerangka menuju masa depan. Menjadikan kisah-kisah sedih menjadi kisah sarat hikmah. Dari sini aku semakin yakin, mencintai Allah lebih indah dan bermanfaat, karena Dia selalu dekat pada hamba-Nya yang mendekat. Dia pula Sang Pemberi yang tidak menagih imbalan. Selalu mendampingi saat hati mulai tersesat.

Biarlah manusia mengenalku sebagai mantan pekerja malam atau apalah, asalkan aku tetap hamba-Nya yang dianugerahi hidayah di ujung khilaf. Ampunan-Nya lebih berarti dari mereka yang memandang hina. Hanya Allah yang tahu kejadian malam itu. Aku tetap Rani yang menjaga hati nurani dan harga diri. Biarlah mereka yang pernah menawariku surga dunia itu mengucilkan dan membenciku, asalkan Allah tidak.

Terima kasih ayah, ibu, dan adik-adikku. Tanpa doa kalian mungkin aku masih di kubang dosa. Semoga kita segera berkumpul, meretas masa depan dengan selaksa takwa. Aamiin. (Dituturkan Rani kepada Anna Ilham dari Apakabar Plus)

Editor    : Nanang Junaedi

Advertisement
Advertisement