October 23, 2025

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Mengapa Orang Dewasa Juga Butuh Bermain ? Begini Penjelasan Psikologisnya

3 min read

JAKARTA – Kapan terakhir kali kamu benar-benar bermain? Bukan olahraga atau gim di ponsel, tapi bermain tanpa tujuan—sekadar bersenang-senang, berkhayal, atau bertingkah konyol. Aktivitas sederhana itu ternyata punya manfaat besar bagi kesehatan mental dan emosional, bahkan pada orang dewasa.

Sejumlah penelitian menunjukkan, bermain dapat menurunkan kecemasan dan depresi, mengurangi stres, memperkuat daya pikir, serta meningkatkan ketahanan emosional dan keterampilan sosial. Tak hanya untuk anak-anak, bermain juga banyak manfaat bagi orang dewasa.

Menurut Stuart Brown, pendiri National Institute for Play (NIFPlay), bermain adalah aktivitas yang “sukarela, didorong secara alami, dan menyenangkan.” Ia menekankan bahwa permainan muncul dari dorongan internal manusia untuk terlibat dalam kegiatan yang memberi kepuasan, pemenuhan, atau kebahagiaan batin.

“Dalam keadaan bermain, kita sering kehilangan rasa waktu,” kata Brown seperti dikutip dari situs resmi NIFPlay, Senin (20/10) lalu.

Aktivitas bermain bisa beragam—berkumpul bersama teman, membuat kerajinan tangan, bermain gim, berolahraga, atau menjelajahi ide-ide baru. Kondisi ini sering disebut sebagai flow state—keadaan tenggelam penuh dalam kegiatan yang dilakukan dengan rasa ingin tahu dan kesenangan.

Jauh dari kesan remeh, “keadaan bermain” semacam itu justru mendukung kesehatan mental, ketahanan emosional, dan bahkan mengungkap bakat serta kekuatan alami seseorang.

Bermain membantu orang dewasa menghadapi tekanan hidup dan memperbaiki suasana hati. Sejumlah riset menunjukkan bahwa aktivitas bermain dapat memicu pelepasan endorfin, menurunkan kadar hormon kortisol, serta menimbulkan efek relaksasi alami.

“Bermain menjadi kebutuhan mendasar untuk bertahan hidup. Ketika manusia tidak mendapatkannya, akan muncul konsekuensi sosial, emosional, kognitif, bahkan fisik,” jelas Brown.

Selain itu, bermain juga terbukti mampu mengurangi gejala kecemasan dan depresi. Aktivitas seperti menulis kreatif, bermain papan, atau olahraga ringan membantu menenangkan pikiran dan mengalihkan fokus dari pola pikir negatif.

Menurut Cas Holman—penulis buku Playful: How Play Shifts# Our Thinking, Inspires Connection, and Sparks Creativity—masyarakat sering kali menekan naluri alami untuk bermain seiring bertambahnya usia.

“Kita tidak benar-benar lupa cara bermain; kita hanya diajarkan untuk tidak melakukannya,” kata Holman seperti dikutip dari Psychology Today, Selasa (21/10).

Bagi Holman, permainan bukan sekadar hiburan masa kecil, melainkan fondasi hidupnya. Ia tumbuh di tengah keluarga yang kerap berpindah dan hidup pas-pasan. Di masa kecilnya di kawasan Sierra Nevada Foothills, Amerika Serikat, bermain di alam bebas menjadi pelarian dari tekanan hidup.

“Tanpa kehidupan bermain yang kaya itu, saya akan punya kesan yang berbeda tentang masa kecil saya,” ujarnya. “Bermain membantu saya melewati masa-masa sulit, menghadapi perubahan, dan hidup dengan ketidakpastian.”

Kini, sebagai desainer dan seniman, Holman menganggap proses kreatif sebagai bentuk permainan. Dalam proses menulis bukunya, ia menekankan bahwa ide-ide terbaik lahir dari percakapan yang bersifat playful atau penuh canda.

Holman menyebut, orang dewasa tetap punya “suara bermain” dalam diri—naluri untuk bersenang-senang dan bereksperimen—namun suara itu sering ditindas oleh “suara dewasa” yang menuntut keseriusan, efisiensi, dan produktivitas.

“Sejak remaja kita diajarkan untuk tidak bertingkah kekanak-kanakan, berhenti tertawa, dan fokus bekerja. Padahal semua itu justru lawan dari bermain,” katanya.

 

Pentingnya free play

Dalam bukunya, Holman menyoroti pentingnya free play—bentuk permainan bebas yang dilakukan karena dorongan intrinsik, bukan karena kompetisi atau hasil akhir. Contohnya: berjalan tanpa tujuan, membuat prakarya, atau sekadar berimajinasi.

Untuk menemukan kembali kebebasan bermain, Holman menyarankan tiga langkah sederhana. Pertama, berhenti menilai diri sendiri atau khawatir dilihat orang lain. Kedua, terbuka pada kemungkinan.

“Nikmati proses tanpa harus tahu hasil akhirnya. Ketiga, ubah makna sukses. Fokus pada pengalaman, bukan pencapaian—seperti menikmati perjalanan daripada mengejar target waktu,” jelas dia.

Holman menilai, budaya modern yang terobsesi pada efisiensi dan produktivitas membuat manusia kehilangan ruang untuk bermain. Sistem pendidikan juga mencerminkan hal ini—anak-anak diajarkan mencari jawaban benar, bukan bereksperimen atau bereksplorasi.

Padahal, menurutnya, bermain justru ada dalam proses. Melalui bermain, manusia belajar menghadapi ketidakpastian dengan rasa ingin tahu, bukan ketakutan. “Kalau kita ingin memahami diri sendiri dan terhubung dengan dunia, kita perlu menata ulang prioritas dan memberi ruang bagi bermain,” katanya. []

Advertisement
Advertisement

Leave a Reply