Mengapa Seorang Istri Harus Mengutamakan Suami Dibanding Orangtuanya
JAKARTA – Saat memutuskan untuk berumah tangga, seorang wanita tentu memiliki kewajiban kepada suaminya, bahkan melebihi terhadap orang tuanya. Selama perintah dari suami tidak bertentangan dengan syariat Islam, maka harus dipatuhi.
Namun terkadang ada pertanyaan jika istri masih memiliki orang tua, siapakah di antara keduanya yang harus didahulukan, apakah suami atau orang tua?
Untuk menjawab pertanyaan ini, tidak perlu dalil yang kuat asalkan kedua pasangan saling pengertian. Buya Yahya menjelaskan dengan cukup rinci dan mudah dimengerti, bagaimana agar hubungan suami istri langgeng, meskipun ada orang tua yang harus dibantu.
Dilansir Sahijab.com dari akun Al Bahjah TV di Youtube, Buya Yahya menjelaskan kedudukkan antara suami dan orang tua. Menurutnya, seorang istri harus patuh akan perintah suaminya, selama tidak menyimpang dari ajaran agama Islam.
“Sebagai seorang istri, pertama dan utama adalah kepada suami. Kepatuhan pertama dan utama pada seorang suami, karena itu Imam dalam rumahmu kecuali dilarang atau diperintahkan sesuatu yang diharamkan, maka tidak boleh menuruti suami,” kata Buya.
Namun bukan berarti seorang suami harus mengekang istrinya untuk selalu berdiam diri di rumah dan mengikuti semua perintahnya. Apalagi jika istri memiliki orang tua yang juga harus diperhatikan.
“Tapi ingat, seorang suami yang baik akan selalu memberikan kebebasan kepada istri untuk melayani orang tuanya. Para suami katakan kepada istrimu, “Wahai istriku, kemanapun kau pergi, kau harus izin kepadaku, kecuali jika dipanggil oleh bapak ibumu,” lanjutnya.
Bahkan tidak hanya itu saja, dalam membantu keuangan orang tua pun, suami harus selalu memberikan dukungan. Terlepas dari itu, jika mereka memang sudah mampu dan diberikan kelebihan rezeki.
Sebagai seorang suami, jangan pernah menjadi suami ahli neraka yang melarang istrinya untuk berbakti kepada orang tua. Bahkan enggan membantu orang tua istrinya dari kesulitan.
Demikian pula bagi seorang istri, juga jangan melarang suami untuk membantu kedua orang tuanya. Seperti yang dituturkan oleh Buya, saat kedatangan seseorang yang meminta nasihatnya.
“Hati-hati. Masa ada suami membantu ibunya, malah dicemberutin. Naudzubillah,” Buya menjelaskan.
Dilansir dari Republika.co.id, dalam sebuah riwayat dari Anas bin Malik ra dikisahkan sebagian ahli hadis menyebut sanadnya, tatkala sahabat bepergian untuk berjihad, ia meminta istrinya agar tidak keluar rumah sampai ia pulang dari misi suci itu.
Di saat bersamaan, ayahanda istri sedang sakit. Lantaran telah berjanji taat pada perintah suami, istri tidak berani menjenguk ayahnya.
Merasa memiliki beban moral kepada orang tua, ia pun mengutus seseorang untuk menanyakan hal itu kepada Rasulullah. Beliau menjawab, “Taatilah suami kamu.” Sampai sang ayah menemui ajalnya dan dimakamkan, ia juga belum berani berkunjung. Untuk kali kedua, ia menanyakan perihal kondisinya itu kepada Nabi SAW.
Jawaban yang sama ia peroleh dari Rasulullah, “Taatilah suami kamu.” Selang berapa lama, Rasulullah mengutus utusan kepada sang istri tersebut agar memberitahukan, Allah telah mengampuni dosa ayahnya berkat ketaatannya pada suami.
Kisah yang dinukil oleh AT-Thabrani dan divonis lemah itu, setidaknya menggambarkan tentang bagaimana seorang istri bersikap. Manakah hak yang lebih didahulukan antara hak orang tua dan hak suami, tatkala perempuan sudah menikah. Bagi pasangan suami istri, dialektika kedua hak itu kerap memicu kebingungan dan dilema.
Syekh Kamil Muhammad ‘Uwaidah dalam buku Al Jami’ fi Fiqh An Nisaa’ mengatakan, seorang perempuan, sebagaimana laki-laki, mempunyai kewajiban sama berbakti terhadap orang tua. Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra menguatkan hal itu. Penghormatan terhadap ibu dan ayah sangat ditekankan oleh Rasulullah.
Mengomentari hadis itu, Imam Nawawi mengatakan, hadis yang disepakati kesahihannya itu memerintahkan agar senantiasa berbuat baik kepada kaum kerabat. Dan yang paling berhak mendapatkannya adalah ibu, lalu bapak. Kemudian disusul kerabat lainnya.
Namun menurut Syekh Yusuf Al-Qaradhawi dalam kumpulan fatwanya yang terangkum di Fatawa Mu’ashirah bahwa memang benar, taat kepada orang tua bagi seorang perempuan hukumnya wajib. Tetapi, kewajiban tersebut dibatasi selama yang bersangkutan belum menikah.
Bila sudah berkeluarga, seorang istri diharuskan lebih mengutamakan taat kepada suami. Selama ketaatan itu masih berada di koridor syariat dan tak melanggar perintah agama.
Oleh karena itu, imbuhnya, kedua orang tua tidak diperkenankan mengintervensi kehidupan rumah tangga putrinya. Termasuk memberikan perintah apa pun padanya. Bila hal itu terjadi, merupakan kesalahan besar. Pasca menikah, maka saat itu juga anaknya telah memasuki babak baru, bukan lagi di bawah tanggungan orang tua, melainkan menjadi tanggung jawab suami.
Allah SWT berfirman, “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita)”. (Al-Qur’an Surah An-Nisaa’ [4]: 34).
Meski demikian, kewajiban menaati suami bukan berarti harus memutus tali silaturahim dengan orang tua atau mendurhakai mereka. Seorang suami dituntut mampu menjaga hubungan baik antara istri dan keluarganya. Ikhtiar itu, dengan kemajuan teknologi saat ini, bisa diupayakan sangat mudah. Menyambung komunikasi dan hubungan istri dan keluarga bisa lewat telepon, misalnya.
Dia menambahkan, di antara hikmah di balik kemandirian sebuah rumah tangga ialah meneruskan estafet garis keturunan. Artinya, keluarga dibentuk sebagai satu kesatuan yang utuh tanpa ada intervensi pihak luar. Bila selalu ada campur tangan, laju keluarga itu akan tersendat.
Sekaligus menghubungkan dua keluarga besar dari ikatan pernikahan. Allah SWT berfirman, “Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Mahakuasa.” (Al-Qur’an Surah Al-Furqan [25]: 54).
Ia menyebutkan beberapa hadis lain yang menguatkan tentang pentingnya mendahulukan ketaatan istri kepada suami dibandingkan orang tua. Di antara hadis tersebut, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh al-Hakim dan ditashih oleh al-Bazzar.
Konon, Aisyah pernah bertanya kepada Rasulullah, hak siapakah yang harus diutamakan oleh istri? Rasulullah menjawab, “(hak) suaminya.” Lalu, Aisyah kembali bertanya, sedangkan bagi suami hak siapakah yang lebih utama? Beliau menjawab, “(hak) ibunya.”
“Setelah menikah, seorang wanita sudah dijelaskan di salah satu surah di dalam Al-Qur’an yang menyatakan bahwa laki-laki itu pemimpinnya wanita,” ujar Drs. Maswar kepala KUA Kecamatan Rarowatu, Kabupaten Bombana, Rabu (23/06/2021) malam.
Lebih lanjut, Drs. Maswar mengatakan, makanya seorang istri ketika akan ke rumah orang tuanya ia harus pamit atau permisi terlebih dahulu kepada suaminya. Jika tidak diizinkan, jangan pergi.
“Setelah orang tuanya mengatakan, saya nikahkan anak perempuan saya dengan engkau kemudian si suami menjawab saya terima nikahnya dengan mahar tersebut. Maka, seorang anak perempuan atau istri adalah milik suaminya. Maka, maka ia harus tunduk. Beda dengan seorang suami ketika ia dipanggil istrinya bersamaan dengan panggilan orang tuanya, maka yang pertama ia jawab adalah panggilan orang tuanya. Kemudian, jika seorang istri dipanggil bersamaan orang tuanya dan suaminya, maka yang harus ia dahulukan adalah panggilan suaminya. Namanya suami, ia adalah seorang pemimpin karena dia harus bertanggung jawab terhadap istrinya,” jelasnya. []