Mengenal Dromomania, Hasrat Untuk Selalu Berkelana

JAKARTA – Penulis buku Mind Estranged: My Journey from Schizophrenia and Homelessness to Recovery (2014) Bethany Yeiser, membagikan pengalaman hidupnya sebelum divonis skizofrenia pada 2007—di usia 25 tahun.
“Mungkin tanda pertama dari munculnya skizofrenia saya adalah keinginan luar biasa untuk terus bepergian,” kata Yeiser dalam Psychology Today.
Yeiser mulanya melakukan perjalanan ke China bersama dua temannya pada 2001-2002. Setelah tak lama kembali pulang ke Amerika Serikat, dia bepergian sendiri ke Nairobi, Kenya, Afrika dan tinggal di komunitas terpencil.
“Sekembalinya dari Afrika, saya mengalami kejutan budaya terbalik yang parah. Saya merasa bersalah memiliki kulkas, kamar asrama yang nyaman, dan lemari penuh pakaian. Saya merasa tidak pantas,” ujar Yeiser.
“Alih-alih beristirahat, saya justru langsung merencanakan perjalanan berikutnya untuk menemui misionaris Amerika di Thailand.”
Pada 2004, Yeiser menjadi tunawisma sepenuhnya, tak lagi punya sumber daya untuk terbang. Namun, dorongan itu tetap ada—berubah menjadi keinginan tak terkendali untuk berjalan kaki. Dia ingat berjalan mengelilingi kampus lama berulang kali, lalu mulai berjalan hingga ke pusat kota Los Angeles, melewati daerah kumuh dan jalan-jalan besar yang jarang dilalui pejalan kaki.
Obsesinya melakukan perjalanan ke beberapa negara, menghancurkan studinya di universitas. Dari mahasiswa berprestasi, dia berubah menjadi gagal lulus kuliah. Belakangan, dia menyadari perilakunya termasuk dromomania.
Kisah Dardas di Prancis
Pada 2000, Diagnostic Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) atau Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental memasukkan dromomania sebagai kondisi psikologis. American Psychological Association (APA) menyebut, dromomania adalah dorongan atau keinginan abnormal untuk bepergian yang melibatkan pengeluaran melebihi kemampuan dan mengorbankan pekerjaan, pasangan, atau keamanan demi pengalaman baru.
“Orang dengan dromomania tidak hanya merasa lebih hidup saat bepergian, tetapi juga mulai merencanakan perjalanan berikutnya segera setelah tiba di rumah,” tulis APA.
“Fantasi tentang perjalanan memenuhi banyak pikiran dan sebagian mimpi mereka. Kondisi ini sebelumnya disebut sebagai neurosis gelandangan.”
Mulanya, fenomena ini terjadi di Prancis dari pengalaman Jean-Albert Dadas pada abad ke-19. Saat berusia 12 tahun, menurut Atlas Obscura, saat magang di perusahaan gas, Dadas tiba-tiba menghilang.
Dia ditemukan beberapa waktu kemudian di kota lain, sedang membantu seorang penjual payung keliling. Ketika saudaranya menemukannya, Dadas tampak seperti baru terbangun dari tidur panjang—tak tahu di mana dia berada atau mengapa membawa payung milik orang lain.
Dadas sering pingsan, bangun di kota lain, bekerja serabutan untuk bertahan hidup. Saat usianya 8 tahun, Dadas jatuh dari pohon dan mengalami gegar otak. Cedera itu kemungkinan berperan dalam kebiasaannya untuk menghilang tanpa sadar.
Perjalanan yang paling dikenang hingga kini dari Dadas terjadi pada 1881. Saat itu, dia bergabung dengan militer Prancis di Mons. Dadas kabur dan berjalan kaki menyeberangi Eropa, dari Praha, Berlin, dan Moskow, hingga Konstantinopel.
Dalam perjalanan, dia sempat digigit anjing dan dirawat di rumah sakit, lalu dipenjara setelah dianggap nihilistik di masa tegang pasca-pembunuhan Tsar Rusia. Tiga bulan kemudian, dia dibebaskan dan dikirim pulang oleh kunsulat Prancis.
“Seperti biasa, ia kembali ke pekerjaannya di pabrik gas—seolah tak ada yang aneh,” tulis Atlas Obscura.
Tahun 1886, Dadas dirawat di Rumah Sakit Saint-Andre di Bordeaux. Dia lantas bertemu seorang psikiater bernama Philippe Auguste Tissie. Tissie kemudian mendiagnosis Dadas dengan dromomania, yakni dorongan tak terkendali untuk bepergian.
Di masa kini, saat teknologi informasi berkembang pesat, Instagram dan media sosial lainnya membuat dunia seakan lebih mudah dijangkau dari sebelumnya. Maka, hasrat untuk melarikan diri dari rutinitas menjadi sangat gamblang.
Obsesi bepergian yang muncul bukan lagi karena gangguan klinis, tetapi karena dorongan sosial dan digital yang luar biasa kuat. Apakah termasuk sebagai bentuk kegilaan perjalanan?
Menurut psikolog sosial Michael Brein, kecanduan perjalanan itu nyata, tetapi lebih sebagai bentuk perilaku pembelajaran.
“Bepergian membuka peluang baru, memberi aliran pengalaman yang menyenangkan, dan membangun rasa percaya diri. Tapi ketika proses itu keluar jalur, di situlah kecanduan bisa muncul,” kata Brein kepada Adventure.
Dari sini, perbedaan antara dromomania dan perjalanan biasa sangat jelas. “Apakah bepergian membuat hidup Anda semakin bermakna, atau justru membuatnya berantakan? Apakah Anda melakukannya untuk berkembang, atau untuk menghindar?” tulis Adventure.
Bepergian memang terasa seperti candu. Bagi sebagian orang, mereka rela mengorbankan cinta, stabilitas, bahkan kewarasan demi mengejar pengalaman baru atau sekadar demi unggahan di media sosial. Beberapa peneliti percaya adanya “gen wanderlust”, gen yang konon dimiliki sekitar 20% manusia dan membuat mereka lebih suka menjelajah jauh dari rumah.
“Saya rasa memang ada unsur kimianya,” ujar Brein kepada Adventure.
“Namun, tidak mungkin satu gen saja menjelaskan perilaku yang begitu kompleks. Keinginan untuk bepergian melibatkan banyak hal, seperti emosi, identitas, dan pencarian makna hidup.” []