Mengharap Pangan Yang Murah dan Berkah
ApakabarOnline.com – Isu pangan dan petani selalu seksi dimainkan di tahun politik. Penduduk kita yang sebagian besar petani merupakan kunci memenangkan pemilu, belum lagi kesejahteraan dan tingkat pendidikan yang minim gampang ‘digarap’ untuk tambang suara.
Di sisi lain, masih tingginya angka kemiskinan dan yang hampir miskin membuat masyarakat mudah tersulut soal kenaikan harga pangan. Secara kasatmata, terlihat jelas petani di Tanah Air merupakan kelompok yang paling tidak beruntung dalam pembagian kue ekonomi nasional.
Data BPS November lalu mencatat, 28,79% atau terbanyak penduduk kita bekerja di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan. Namun, sektor ini hanya memiliki produk domestik bruto (PDB) sekitar 10,88% dari PDB Indonesia berdasarkan data terakhir kuartal IV-2018, atau di peringkat keempat.
PDB pertanian kalah telak dibanding industri yang mencapai 19,82% atau hampir dua kalinya, meski penduduk yang mencari makan di industri porsinya hanya 14,72% atau separuhnya. PDB sektor perdagangan dan konstruksi juga lebih baik, masing-masing 13% dan 11,11%. Tak heran, konsentrasi kemiskinan di Indonesia ada komunitas petani.
Di sisi lain, kita sebagai konsumen di Indonesia juga tidak beruntung. Harga-harga pangan pokok di sini jauh lebih mahal ketimbang harga internasional, mulai dari beras, gula, hingga daging.
Tak heran, meski negeri ini agraris, impor pangan membanjir dan mafia pemburu rente bergelimpang keuntungan, puluhan triliun rupiah tiap tahun. Sebagai contoh, importir di Indonesia bisa meraup keuntungan hingga Rp 21,85 triliun dengan mengimpor sekitar 4,63 juta ton gula hanya dalam rentang 11 bulan, Januari-November 2018.
Pasalnya, harga gula di pasar internasional Cuma sekitar US$ 398,6 per ton, yang jika ditambah biaya transportasi dan lain-lain (US$ 150 per ton), untuk dipasarkan di Indonesia pun jatuhnya masih jauh lebih murah ketimbang produk lokal, yakni Rp 7.780 per kg.
Dengan harga eceran tertinggi (HET) di Tanah Air Rp 12.500 per kg yang juga sering dilanggar, potensi laba para importir ini Rp 4.720 per kg. Marginnya luar biasa tinggi, 60%! Tak heran, target swasembada gula selalu dimundurkan dan mundur. Jika saat pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mencanangkan swasembada gula pada 2014, kini pemerintahan Joko Widodo menargetkan swasembada tahun 2019, itu pun hanya untuk gula yang oleh Indonesia dinamakan gula konsumsi.
Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian memperkirakan, produksi gula nasional dari musim giling 2018 sebesar 2,17 juta ton. Padahal, Kementerian Perindustrian menghitung kebutuhan total gula nasional sekitar 5,7 juta ton setahun, yang terdiri atas gula konsumsi rumah tangga 2,9 juta ton dan gula untuk industri (yang di Indonesia dilabel nama gula rafinasi) 2,8 juta ton. Artinya, 58% kebutuhan gula kita dipenuhi dari impor.
Rapuhnya ketahanan pangan gula ini karena masalah on farm maupun off farm. Indonesia tertinggal dalam mengaplikasikan teknologi budidaya yang produktif, maupun teknologi industry yang modern dan efisien. Alhasil, petani, konsumen, maupun negara dirugikan semua. Yang untung ya hanya para mafia importir gula, yang kongkalikong dengan para pejabat pemerintahan maupun otoritas yang lain.
Kondisi gula yang luar biasa memprihatinkan ini merupakan cerminan kondisi pangan di Indonesia yang dibiarkan amburadul, tak produktif, tak efisien, dan terbelakang; yang tentu saja membuat petani miskin dan konsumen harus membayar mahal. Pembiaran ini merupakan kejahatan dan perampokan kesejahteraan rakyat sendiri, yang harus segera diakhiri.
Tak perlu jauh-jauh, kita tiru saja tetangga Thailand yang sukses menjadi eksportir berbagai pangan pokok. Di sektor gula misalnya, pabrik gula di Thailand sudah modern dengan kapasitas besar minimal 10 ribu tons of cane per day (TCD), sedangkan rata-rata kapasitas pabrik gula Indonesia yang peninggalan penjajahan Belanda seratusan tahun lalu itu hanya 2.000 TCD. Bagai bumi dan langit.
Tak heran, produksi gula negara kerajaan Gajah Putih itu mencapai sekitar 12 juta ton per tahun. Sedangkan Indonesia ‘jalan di tempat’ 2,2 juta ton. Oleh karena itu, pabrik gula yang dalam kekuasaan Kementerian BUMN harus segera dibangun modern agar efisien. Lalu, bagaimana dengan bahan baku?
Jika Thailand yang luas negaranya jauh lebih sempit dari Indonesia bisa mencukupi bahan baku tebunya, tentu seharusnya Indonesia jauh lebih bisa. Pemerintah kita harus betul-betul bekerja serius meningkatkan lahan penanaman maupun produktivitas pangan.
Pasalnya, dari sisi produktivitas tebu misalnya, di Indonesia hanya 75% dari produktivitas Thailand, demikian pula luasan areal tebu di sini hanya 40% dari mereka Dari sisi off farm, tingkat rendemen pabrik penggilingan gula di Indonesia juga hanya sekitar 7,50% pada 2017/2018, jauh lebih rendah ketimbang tetangga Filipina, Thailand, dan Australia yang sekitar 9,20-14,12%.
Dengan tingkat rendemen 7,5% di Indonesia, dari 100 ton tebu petani hanya menghasilkan 7,5 ton gula. Sementara itu, dengan rendemen 13%, petani Thailand bisa mendapatkan gula 13 ton atau 73% lebih tinggi dari petani kita.
Dari sinilah jelas terlihat, pemerintah Indonesia tak cukup hanya membantu para petani memperbaiki praktik-praktik budidaya tebu dengan teknologi terbaru. BUMN yang sudah mengeruk banyak keuntungan harus ditugaskan membangun pabrik-pabrik penggilingan gula modern.
Selain itu, harus membuat lahan-lahan baru besar-besaran beserta infrastrukturnya. Dengan menerapkan teknologi budidaya modern, perluasan lahan-lahan pertanian besar-besaran, dan pembangunan industri terkait yang efisien, maka produktivitas pangan kita akan naik dan ongkos produksi turun. Baru dengan cara inilah nasib kita semua berubah. Keuntungan petani naik, pasokan meningkat, dan masyarakat bisa membeli pangan lebih murah. Sektor pangan menjadi berkah. [Ivi]