Menghindar dari Ghibah
ApakabarOnline.com – Surga adalah tempat yang Allah janjikan bagi mereka yang taat kepada-Nya dan beramal dengan amal shalih. Di dalamnya, terdapat banyak kenikmatan dan kemuliaan, sehingga barang siapa yang telah masuk ke dalamnya, ia akan mendapat gelar sebagai sebaik-baik makhluk. Sebaliknya, Allah juga telah menyiapkan tempat kembali bagi mereka yang kufur dan bermaksiat kepada-Nya, yaitu neraka. Di dalamnya penuh dengan penderitaan, siksaan, dan kehinaan. Dan barang siapa yang masuk ke dalamnya, maka ia akan menjadi seburuk-buruk makhluk. Allah berfirman,
إِنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ مِنْ أَهْلِ ٱلْكِتَٰبِ وَٱلْمُشْرِكِينَ فِى نَارِ جَهَنَّمَ خَٰلِدِينَ فِيهَآ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ هُمْ شَرُّ ٱلْبَرِيَّةِ إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ أُو۟لَٰٓئِكَ هُمْ خَيْرُ ٱلْبَرِيَّةِ
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk.” (Al-Bayyinah: 6-7)
Jalan yang manusia tempuh untuk menuju surga dipenuhi dengan rintangan dan cobaan, tidak semua manusia bisa dan mampu untuk melewatinya. Hal ini berbeda dengan neraka, jalan menuju kepadanya penuh dengan kenikmatan, sehingga justru banyak manusia yang terbuai dengan kenikmatan tersebut sehingga ia terjerumus di dalamnya.
Salah satu sahabat Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam bernama Muadz bin Jabbal pernah bertanya kepada beliau tentang amalan-amalan yang mendekatkan kepada surga dan menjauhkan dari neraka.
Dari Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata: aku berkata, “Wahai Rasulullah, beritahu aku amal yang bisa memasukkanku ke dalam surga dan menjauhkanku dari neraka.” Beliau bersabda, “Engkau telah bertanya tentang masalah yang besar. Namun, itu adalah perkara yang mudah bagi siapa yang dimudahkan oleh Allah: engkau menyembah Allah jangan menyekutukan-Nya dengan apapun, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa Ramadhan, dan haji ke Baitullah.”
Kemudian beliau bersabda, “Maukah kamu aku tunjukkan pintu-pintu kebajikan? Puasa adalah perisai, sedekah memadamkan dosa sebagaimana air memadamkan api, dan shalatnya seseorang di tengah malam.” Kemudian beliau membaca ayat, “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya …” hingga firman-Nya, “Sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. As-Sajdah: 16-17)
Kemudian beliau bersabda kembali, “Maukah kamu kuberitahu pokok segala urusan, tiangnya, dan puncak tertingginya?” Aku menjawab, “Mau, wahai Rasulullah.” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Pokok urusan adalah Islam, tiangnya adalah shalat, dan puncak tertingginya adalah jihad.”
Kemudian beliau melanjutkan, “Maukah kamu kuberitahu tentang kendali (penjaga) bagi semua amalan itu?” Saya menjawab, “Mau, wahai Rasulullah.” Beliau lalu memegang lidahnya dan bersabda, “Jagalah ini.” Saya berkata, “Wahai Nabi Allah, apakah kita akan disiksa karena ucapan-ucapan kita?” Beliau menjawab, “Celaka kamu. Bukankah banyak dari kalangan manusia yang tersungkur ke dalam api Neraka dengan mukanya terlebih dahulu –dalam riwayat lain: dengan lehernya terlebih dahulu– itu gara-gara buah ucapan lisannya?” (HR At-Tirmidzi no. 2616)
Dari hadits di atas dapat disimpulkan bahwa salah satu faktor yang bisa menjaga semua amalan tetap menghantarkan pelakunya menuju surga adalah dengan menjaga lisan dan perkataan. Hal ini lantaran lisan sering kali mengakibatkan amalan menjadi rusak. Lisan juga sering menjadi modal yang paling ringan digunakan manuisa untuk berbuat dosa-dosa besar. Mulai dari perkataan yang mengandung kesyirikan, berdusta, menuduh, adu domba dan lain sebagainya. Berkata Yunus bin Ubaid Rahimahullah,
خصلتان إذا صلحتا من العبد صلح ما سواهما : صلاته و لسانه
Artinya: “Dua hal dari seorang hamba yang apa bila dua hal tersebut menjadi baik, maka menjadi baiklah seluruhnya, yaitu shalatnya dan lisannya.” (Siyar ‘Alam Nubala’ 6/293)
Di antara dosa-dosa yang diakibatkan oleh lisan, terdapat satu dosa yang paling sering dilakukan, namun pelakunya merasa bahwa itu bukanlah bagian dari dosa. Amalan tersebut adalah mengghibah atau membicarakan keburukan orang lain. Padahal Allah telah memperingatkan tentang buruknya mengghibah dengan permisalan memakan daging saudaranya. Allah berfirman
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱجْتَنِبُوا۟ كَثِيرًا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ ٱلظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا۟ وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berburuk sangka (kecurigaan), karena sebagian dari buruk sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (Al-Hujarat: 12)
Mengghibah adalah membicarakan keburukan orang lain, walaupun keburukannya memang benar ada melekat pada orang tersebut. Namun jika keburukan tersebut tidak ada, maka orang tersebut akan jatuh pada perbuatan dusta, bahkan bisa jadi ia menuduh atau menfitnah. Keluar dari lubang buaya, masuk ke kendang singa adalah sebuah peribahasa yang tepat untuk menggambarkan betapa buruknya menggibah orang lain. Hal ini sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah,
عن أبي هريرة رضي الله عنه: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: أتدرون ما الغِيبة؟، قالوا: الله ورسوله أعلم، قال: ذكرك أخاك بما يكره ، قيل: أفرأيت إن كان في أخي ما أقول؟ قال: إن كان فيه ما تقول فقد اغتبته، وإن لم يكن فيه فقد بهَتَّه
Artinya: Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwasannya Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tahukah kalian apa itu ghibah (menggunjing)?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Kemudian beliau bersabda,“Ghibah adalah engkau membicarakan tentang saudaramu sesuatu yang dia benci.” Kemudian ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah bagaimana kalau yang kami katakana itu betul-betul ada pada dirinya?” Beliau menjawab, “Jika yang kalian katakan itu betul, berarti kalian telah berbuat ghibah. Dan jika apa yang kalian katakan tidak betul, berarti kalian telah memfitnah (mengucapkan suatu kedustaan).” (HR Muslim no.2589)
Kiat Menghindari Ghibah
Mengghibah adalah sebuah dosa yang paling mudah dilakukan oleh seseorang. Bisa jadi seseorang melakukannya secara langsung, bisa jadi ia melakukannya melalui media sosial. Bisa juga seseorang melakukannya dengan penuh kesadaran, atau bahkan seseorang tidak sadar bahwa ia sedang melakukan ghibah. Di bawah ini, terdapat langkah-langkah untuk bisa terhindar dari perbuatannya, yaitu sebagai berikut:
Pertama, seseorang dapat menghindari ghibah dengan meningkatkan ketaqwaan kepada Allah Ta’ala. Diriwayatkan bahwa Umar Ibnu Khattab bertanya kepada Ubay bin Ka’ab, “Wahai Ubay, apa makna takwa?” Ubay yang ditanya justru balik bertanya. “Wahai Umar, pernahkah engkau berjalan melewati jalan yang penuh duri?” Umar menjawab, “Tentu saja pernah.” “Apa yang engkau lakukan saat itu, wahai Umar?” lanjut Ubay bertanya. “Tentu saja aku akan berjalan hati-hati,” jawab Umar. Ubay lantas berkata, “Itulah hakikat takwa.” (Tafsir Ibnu Katsir 1/164)
Makna ketaqwaa adalah kehati-hatian. Dengan meningkatkan ketaqwaan, seseorang akan menjadi lebih berhati-hati, baik dalam perilakunya maupun ucapannya. Sehingga seseorang akan mudah untuk mengindari ghibah menggunjing.
Kedua, memperbanyak shalat sunnah. Shalat adalah benteng seseorang agar terhindar dari perbuatan keji dan munkar. Ketika seseorang memperbanyak shalatnya, maka Allah akan menjaganya dari perbuatan-perbuatan buruk. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ
Artinya: “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar.” (Al- ‘Ankabut: 45).
Ketiga, berteman dengan orang shalih. Pergaulan menjadi salah satu faktor terbentuknya karakter seseorang. Dengan bergaul dengan orang shalih, seseorang dapat terhindar dari perbuatan ghibah. Kalaupun tanpa sengaja ia menghibah orang lain dihadapan orang shalih, tentu orang shalih tersebut akan menasihatinya. Dan inilah yang diharapkan oleh Rasulullah melalui haditsnya,
مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالسَّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيرِ ، فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ ، وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً ، وَنَافِخُ الْكِيرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَة
Artinya: “Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi, atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu, dan kalaupun tidak engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.” (HR. Bukhari 5534 dan Muslim 2628)
Keempat, biasakan saling menasihati ketika melihat kemungkaran. Ketika seseorang telah terbiasa untuk saling menasihati, maka jalan yang digunakan syaitan untuk menjerumuskan manusia kedalam pintu ghibah akan semakin kecil. Allah Ta’ala berfirman,
وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ
Artinya: “Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman” (Adz-Dzaariyaat: 55).
Kelima, menanamkan pada diri sendiri bahwa keburukan orang lain yang dinampakkan oleh Allah kepada kita adalah salah satu bentuk ujian yang Allah berikan kepadanya. Hal itu tidak mengartikan bahwa kita lebih mulia darinya, lantaran Allah masih menutupi aib-aib kita. Berkata Syaikh Isa Al-Ma’sharawi, “Jika matamu memandang pelaku dosa, maka jangan pernah menganggap bahwa engkau lebih baik dari dirinya. Sunggu telah dinampakkan aibnya karena dia sedang diuji, sedangkan engkau sekarang sedang diberi rahmat oleh Allah. Doakanlah semoga Allah memberikan kepadanya hidayah, dan semoga Allah memberikan kepadamu keteguhan dalam kebaikan.”
Keenam, memikirkan secara matang dampak dari membicarakan keburukan orang lain. Dengan membicarakan keburukan orang lain, Allah Ta’ala akan menimpakan kepada kita keburukan yang sama. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ عَيَّرَ أَخَاهُ بِذَنْبٍ لَمْ يَمُتْ حَتَّى يَعْمَلَهُ
Artinya: “Barangsiapa yang menjelek-jelekkan saudaranya karena suatu dosa, maka ia tidak akan mati kecuali mengamalkan dosa tersebut.” (HR. Tirmidzi no. 2505)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
وَكُلُّ مَعْصِيَةٍ عُيِّرَتْ بِهَا أَخَاكَ فَهِيَ إِلَيْكَ يَحْتَمِلُ أَنْ يُرِيْدَ بِهِ أَنَّهَا صَائِرَةٌ إِلَيْكَ وَلاَ بُدَّ أَنْ تَعْمَلَهَا
“Setiap maksiat (perbuatan buruk) dari saudaramu yang kamu sebut-sebut, maka itu akan kembali padamu. Maksudnya adalah engkau bisa dipastikan melakukan perbuatan buruk tersebut.” (Madarijus Salikin, 1: 176)
Wallahu ‘alam bish showab. []