December 22, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Mengingatkan Pentingnya Peran Ayah Di Rumah

8 min read

JAKARTA – “Aku adalah satu dari ribuan anak di Indonesia yang tumbuh tanpa sosok ayah. Ayahku pergi meninggalkan ibuku, kakakku, dan aku yang waktu itu masih bayi merah demi perempuan lain. Setelah ibuku meninggal, dan bapakku sakit-sakitan, bangkrut dan ditinggal keluarganya, sekarang bapakku tinggal di rumah ibuku. Kami masih belajar berdamai dengan beliau, bagaimanapun juga beliau bapak kami tapi aku masih beranggapan, kami menerima beliau kembali karena tanggung jawab moral,” curhat seorang wanita dalam komentar unggahan Instagram @vjdaniel beberapa waktu lalu.

Postingan mantan host Indonesian Idol ini mengulas fakta bahwa Indonesia menjadi negara di peringkat ketiga sebagai fatherless country atau negeri tanpa ayah. Kondisi ini diungkapkan Khofifah Indar Parawansa saat menjabat sebagai menteri sosial, 2017 silam.

Istilah fatherless atau father hunger sendiri diartikan sebagai bentuk ‘kelaparan’ terhadap sosok ayah yang seharusnya hadir baik secara fisik maupun psikologis untuk mendampingi anaknya. Adapun Psikolog dari Amerika Edward Elmer Smith mengungkapkan, fatherless country merupakan kondisi di mana masyarakat suatu negara tidak merasakan keberadaan dan keterlibatan figur ayah dalam kehidupan sehari-sehari anak.

Psikolog A. Kasandra Putranto menilai predikat Indonesia sebagai fatherless country ketiga menandakan ada kekhawatiran tentang peran ayah yang terbatas atau kurang signifikan dalam keluarga di Indonesia. “Indikator yang dapat menggambarkan Indonesia sebagai fatherless country adalah tingginya tingkat pemisahan keluarga, perceraian, dan keterbatasan waktu yang dihabiskan oleh ayah bersama anak-anak mereka,” katanya, Jumat (09/05/2023).

Menurutnya, ada faktor-faktor sosial dan ekonomi seperti pekerjaan yang memakan waktu, migrasi kerja, atau permasalahan ekonomi yang berkontribusi pada kurangnya peran ayah dalam pengasuhan anak. Namun, dia menegaskan situasi keluarga dapat bervariasi di seluruh negara dan tidak dapat digeneralisasi secara menyeluruh.

“Ada banyak keluarga di Indonesia yang tetap menjalankan peran ayah dengan baik dan terlibat secara aktif dalam pengasuhan anak-anak mereka,” tambahnya.

Kasandra enggan menyalahkan pola patrilineal di tanah air sebagai biang kerok terjadinya fatherless country. Dia menilai ketiadaan ayah dalam keluarga dapat disebabkan oleh berbagai faktor, tidak terbatas pada pola garis keturunan tertentu. Artinya, pola patrilineal tidak secara otomatis menghasilkan tingkat kehadiran ayah yang rendah.

“Perkembangan zaman dapat mempengaruhi pola pengasuhan dan peran ayah dalam keluarga. Perubahan sosial, kesadaran akan pentingnya keterlibatan ayah, dan pergeseran nilai-nilai dapat memicu perubahan dalam pola pengasuhan,” ungkap psikolog klinis dan forensik ini.

Dewasa ini, perkembangan zaman ditambah dengan adanya media sosial juga semakin mendorong peran ayah yang besar dalam keluarga. Pentingnya keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak pun semakin diakui. Ayah diminta tak hanya bertugas untuk mencari nafkah tapi juga merawat keluarga. Mulai dari turut mengasuh anak hingga terlibat dalam pekerjaan domestik rumah tangga.

Menurut dia, perubahan pola pikir ini tidak terjadi secara seragam dan bergantung pada faktor-faktor budaya, sosial, dan ekonomi dalam masyarakat. “Dengan kesadaran dan upaya yang tepat, pergeseran pola pengasuhan dan peran ayah dalam keluarga bisa terjadi seiring perkembangan zaman,” ujarnya.

 

Mengasuh bersama

Sementara itu pandangan berbeda diungkapkan Psikolog Universitas Gadjah Mada Diana Setiyawati. Ia menilai budaya patriarki masih melekat pada masyarakat Indonesia. Di mana budaya ini menempatkan perempuan bertanggung jawab untuk urusan domestik dan mengurus anak sementara laki-laki bertanggung jawab pada urusan publik.

Padahal, tambahnya, pengasuhan anak membutuhkan keterlibatan orang tua yaitu ayah dan ibu secara berimbang. “Artinya, pengasuhan anak tidak hanya menjadi tanggung jawab ibu saja, tetapi juga dilakukan oleh ayah. Namun, yang banyak terjadi ayah tidak terlibat dalam pengasuhan. Ini jadi fenomena yang cukup lazim, salah satunya karena pengaruh budaya,” terangnya.

Kepala Center for Public Mental Health (CPMH) Fakultas Psikologi UGM ini menyebutkan selain faktor budaya, anak bisa mengalami fatherless karena orang tua yang terlalu sibuk termasuk dalam urusan bekerja. “Faktor orang tua yang fly in fly out, terlalu sibuk, misal berapa hari sekali baru bisa pulang menjadikan secara teknis lebih sulit terlibat dalam pengasuhan. Sementara saat sudah pulang tidak ada komitmen untuk  mengganti hari-hari yang hilang,”paparnya.

Selain itu, orang tua atau ayah juga tidak mengerti bagaimana mengasuh anak yang baik. “Fatherless karena tidak tahu cara mengasuh anak, tidak ada model yang bisa ditiru dan tidak ada ilmunya,” ucapnya.

Padahal, ayah memiliki peran yang cukup penting dalam tumbuh kembang anak. Keterlibatan ayah dalam aktivitas bersama anak dapat menjadi kegiatan yang menstimulasi perkembangan kognitif.  “Ada perbedaan gaya bicara antara ayah dan ibu, seperti ayah yang cenderung lebih mengarahkan, lebih singkat. Bentuk komunikasi yang lebih kompleks dengan orang tua menuntut kemampuan  bahasa yang lebih tinggi sehingga bisa menstimulasi perkembangan kognitif anak,” bebernya.

Keterlibatan ayah dalam pengasuhan juga akan mendorong perkembangan fungsi eksekutif lebih optimal. Misalnya, kemampuan anak untuk merencanakan, pengendalian diri, pemecahan masalah, dan atensi.  “Relasi positif antara ayah dan anak akan membantu anak mengembangkan emosi yang matang. Tak hanya itu, ayah yang memberikan dukungan emosi atau terlibat pengasuhan bisa mengurangi beban yang dimiliki ibu sehingga turut mempengaruhi kualitas hubungan antara ibu dan anak,” tambahnya.

Sebaliknya, lanjut dia, perkembangan emosi yang terhambat menyebabkan anak memiliki emosi yang tidak matang sehingga tidak mampu meregulasi emosi baik mengekspresikan maupun mengendalikan emosi.

“Anak yang tidak mendapatkan pengasuhan dan kehangatan dari sosok ayah akan mudah mengalami kecemasan, kompetensi sosial lemah, dan self esteem rendah,” imbuhnya.

Tidak hanya itu, dari aspek moral, Diana menyebutkan ayah berperan penting dalam penanaman nilai individu karena sikap cenderung lebih tegas dan maskulin daripada ibu. Diana menyebutkan banyak penelitian yang menunjukkan hilangnya peran ayah menyebabkan anak tidak memiliki moral yang baik dan terlibat dalam kenakalan remaja.

Dus, ayah juga berperan penting dalam pembentukan identitas seksual anak. Keterlibatan ayah memberikan gambaran mengenai perbedaan gender, terutama pada anak laki-laki. Ayah bisa menjadi role model dalam menjalankan perannya sebagai laki-laki. Sikap hangat dan positif ayah terhadap anak terutama laki-laki dapat membentuk maskulinitas.

“Banyak anak yang menjadi korban kekerasan seksual merupakan anak yang kehilangan figur ayah,” tuturnya.

Diana kembali menegaskan bahwa ayah memiliki peran penting sama halnya dengan ibu dalam perkembangan anak baik kognitif, sosial, maupun emosional. Keterlibatan ayah dapat dilakukan dalam berbagai bentuk seperti melakukan kegiatan bersama, komunikasi dengan anak, saling berbagi hal yang disukai, mengasuh anak, memberikan pengarahan, selalu ada untuk anak dan lainnya.

Adapun Kasandra Putranto menilai adanya fenomena kenakalan remaja seperti Klitih di Yogyakarta, geng motor, seks bebas hingga perilaku yang mengarah ke bentuk kriminal juga tidak sepenuhnya menunjukkan kegagalan keluarga, khususnya ayah.

“Perilaku negatif remaja dipengaruhi oleh berbagai faktor kompleks seperti lingkungan sosial, pendidikan, kondisi ekonomi, pengaruh teman sebaya, dan faktor pribadi. Meskipun peran ayah dalam keluarga dapat mempengaruhi perkembangan anak, tidak benar untuk secara langsung menyalahkan keluarga atau ayah sebagai penyebab utama fenomena ini,” ungkapnya.

Bahkan menurutnya, mendidik remaja tidak hanya memerlukan peran ayah. Dia menyarankan adanya keterlibatan keluarga, pendidikan, komunitas, pemerintah, dan lembaga sosial untuk memberikan pemahaman, pendidikan, dukungan, dan kesempatan positif kepada remaja dalam membentuk perilaku yang sehat dan bertanggung jawab.

Kasandra juga mengakui kondisi ekonomi yang sulit serta tuntutan pekerjaan yang tinggi ditambah dengan perjalanan ke kantor yang memakan waktu membuat waktu ayah kian sempit. “Penting bagi ayah untuk mencari keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan keluarga. Ini melibatkan pengelolaan waktu yang efisien, kemungkinan fleksibilitas kerja, dan komunikasi yang baik dengan pasangan untuk membagi tanggung jawab dan peran dalam pengasuhan anak,” paparnya.

 

Dampak pada masa depan

Lantas bagaimana bila sosok ayah memiliki kontribusi yang minim dalam pengasuhan anak? Kasandra menjelaskan hal tersebut memiliki dampak yang signifikan pada perkembangan dan kesejahteraan anak. Pertama, gangguan perkembangan emosional. “Ketika ayah tidak hadir atau tidak terlibat secara aktif, anak mungkin mengalami kesulitan dalam mengatur emosi, memahami peran gender, atau membangun hubungan emosional yang sehat,” ungkapnya.

Kedua, ketiadaan ayah atau ketidakstabilan hubungan dengan ayah juga dapat menyebabkan ketidakjelasan dalam identitas anak. Lalu ketiga permasalahan perilaku di mana anak mungkin mengalami kesulitan dalam mengendalikan emosi, menunjukkan agresi yang berlebihan, atau mengekspresikan diri dengan cara yang tidak sehat.

“Mereka juga dapat memiliki tingkat kepatuhan yang rendah atau kesulitan dalam mengikuti aturan,” tambah dia.

Kemudian, ketiadaan ayah juga akan membuat anak memiliki gangguan hubungan sosial, prestasi akademik yang rendah, dan potensi risiko perilaku yang tinggi. “Beberapa penelitian telah mengaitkan minimnya peran ayah dengan peningkatan risiko perilaku negatif pada anak, seperti keterlibatan dalam kegiatan berisiko, penyalahgunaan zat, atau masalah perilaku lainnya. Ayah yang terlibat aktif dalam kehidupan anak dapat membantu mengurangi risiko perilaku negatif ini melalui pengawasan, pembentukan nilai-nilai yang kuat, dan komunikasi yang efektif,” sarannya.

Kasandra juga menekankan pentingnya kesadaran dan komunikasi terkait peran ayah dalam keluarga. Termasuk komunikasi terbuka antara suami dan istri tentang pembagian tugas dan tanggung jawab di rumah. Ayah juga perlu menambah ilmu melalui pendidikan terutama berupa keterampilan pengasuhan anak, salah satunya dengan menyediakan kelompok dukungan atau forum diskusi bagi ayah untuk berbagi pengalaman dan belajar dari orang lain.

 

“Membangun model peran ayah yang positif melalui figur ayah yang terlibat secara aktif dalam pengasuhan anak dan tugas rumah tangga. Hal ini dapat memberikan inspirasi dan contoh bagi ayah lain untuk mengambil peran yang lebih aktif dalam keluarga,” tutupnya.

Lebih lanjut, Kasandra juga menyebutkan perlu ada kolaborasi antara keluarga, masyarakat, dan pemerintah demi membangun generasi yang lebih baik di masa depan. Keluarga misalnya, harus membangun hubungan yang kuat dengan komunikasi yang terbuka dan dukungan emosional.

Keluarga juga harus mendorong nilai-nilai positif, etika, dan moral yang kuat kepada anak-anak. Lalu yang juga tak kalah penting adalah menghabiskan waktu berkualitas bersama anak-anak dan terlibat dalam kehidupan mereka, serta memberikan pendidikan yang baik dan mendorong kemandirian serta nilai-nilai positif.

Dari sisi pemerintah, Kasandra menyarankan agar ada peningkatan akses dan kualitas pendidikan yang mencakup aspek moral, karakter, dan keterampilan yang relevan. Juga, menciptakan program-program yang mengedepankan peran orang tua, keterlibatan ayah, dan hubungan keluarga yang sehat.

“Termasuk juga menyediakan peluang kerja yang layak dan program pelatihan untuk mempersiapkan generasi muda dalam memasuki dunia kerja dan menerapkan kebijakan yang mendukung perlindungan anak, kesejahteraan keluarga, dan upaya pencegahan kenakalan remaja,” bebernya.

Sementara itu, dari kacamata agama Islam, pentingnya peran ayah dalam pengasuhan juga kerap digaungkan oleh psikolog Elly Risman. Wanita asal Aceh ini dikenal aktif menyebarkan ilmu parenting melalui Yayasan Kita dan Buah Hati.

Dalam diskusi “Selamatkan Generasi Muslim Milenial”, Elly menyebut lahirnya seorang anak merupakan kontribusi laki-laku dan perempuan. “Bikin anak berdua masa yang ngasuh ibu doang, enggak bisa ibu berkorban habis-habisan dan ayah merasa paling capek sendirian,” tuturnya beberapa waktu lalu.

Dia menganalogikan proses pembuahan pada kehamilan terjadi karena ada satu dari jutaan sperma yang berhasil menembus sel telur karena paling aktif dan cepat bergerak. Dari sinilah, konsep bahwa yang paling aktif mengasuh anak seharusnya adalah ayah, bukan ibu.

“Jadikan pekerjaan nomor 2 bukan anak yang nomer 2. Rumuskan kebijakan utama, jadi ayah dulu baru jadi pencari nafkah karena anak butuh attachment,” tegasnya yang mendalami kelas parenting di Florida State University Talahase ini.

Dia menjelaskan semua anak-anak butuh kelengketan dengan orang tua pada usia nol sampai lima tahun. Lewat dari usia tersebut, kebutuhan bonding dengan orang tua bisa kedaluwarsa. Karena itu, penting bagi ayah untuk ‘menugaskan’ siapa sosok yang akan mengasuh anaknya ketika dia bekerja.

Sayangnya dewasa ini, ibu yang bekerja juga membuat pengasuhan anak berpindah dari satu asisten rumah tangga ke asisten lainya atau bahkan kakek dan neneknya. “Ibarat perangko dan amplop yang terus menerus dicopot, dia tidak akan lengket lagi,” ujarnya.

Elly pun secara khusus meminta agar para ayah ‘kembali’ ke rumah dan merumuskan tujuan pengasuhan dan evaluasi secara berkala. Dia juga meminta agar orang tua membangun iklim pengasuhan yang sehat dan menyenangkan misalnya dengan bercerita, berdendang, hingga bermain bersama. Termasuk juga merumuskan kebijakan mengatasi masalah dan menghadapi pengaruh kakek nenek serta keluarga besar.

“Dan yang penting juga kebijakan penggunaan gadget dan manajemen mengatasinya karena kita di tengah kegentingan luar biasa, yuk selamatkan mata jernih anak kita dari pornografi,” pesannya. []

Advertisement
Advertisement