December 22, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Mengkhawatirkan, Hutang Negara Saat ini Beban Berat (?) Untuk Presiden Selanjutnya

13 min read

JAKARTA – Hingga saat ini, utang pemerintah terus bertambah di tengah pandemi virus corona. Sampai dengan bulan April 2021, Kementerian Keuangan mencatat posisi utang Indonesia mencapai Rp6.527,29 triliun jumlahnya. Angka ini diperkirakan akan  terus bertambah hingga Presiden Joko Widodo mengkhiri masa pemerintahannya.

Utang tersebut jika ditambahkan dengan utang  badan usaha milik negara (BUMN) perbankan dan nonperbankan yang pasti akan ditanggung negara jika gagal bayar  maka jumlahnya bisa mencapai Rp2.143 triliun nilainya.

“Sehingga total utang publik sekarang mencapai Rp8.504 triliun. Saya memperkirakan di akhir periode, pemerintahan ini akan mewariskan lebih dari Rp10.000 triliun kepada presiden berikutnya,”  Demikian seperti dikatakan Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Didik J Rachbini yang dikutip law-justice.co (06/06/21).

Oleh karena itu ia meminta pemerintahan berikutnya agar mempersiapkan diri untuk membayar utang yang disebabkan periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo.

“Jokowi akan mewariskan utang terbesar dalam sejarah Indonesia kepada presiden berikutnya. Karena itu presiden berikutnya harus mempersiapkan diri untuk membayar utang akibat pemerintahan Jokowi,” katanya saat kuliah umum virtual yang diselenggarakan Politeknik STIA LAN Bandung, Rabu (14/10/2020).

Pernyataan dari Didik J. Rachbini tersebut memunculkan kekhawatiran soal kondisi perekonomian Indonesia ke depannya setelah pemerintahan saat ini mengakhiri masa jabatannya. Apakah kebiasaan mewariskan utang ini memang sudah menjadi tradisi bagi siapapun yang menjadi presiden Indonesia ?.

Benarkah utang pemerintah saat ini sangat mengkhawatirkan sehingga semua pihak harus bersikap waspada ?, Mengapa utang menjadi  salah satu andalan pendapatan untuk membiaya belanja negara ? Tidak adakah cara lain yang bisa dilakukan tanpa harus berhutang yang akan membebani generasi berikutnya ?

 

Tradisi Mewarikan Hutang

Negara Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya raya sumberdaya alamnya. Gemah ripah loh jinawi sehingga menjadi incaran bagi bangsa bangsa lain di dunia. Meskipun kaya raya tapi untuk membiayai roda pemerintahannya, Pemerintah Indonesia masih mengandalkan hutang sebagai salah satu sumber pendapatannya.

Presiden  yang memimpin Indonesia datang silih beganti tetapi semua mewariskan hutang di ujung masa pemerintahannya sehingga menjadi beban bagi pemerintah berikutnya. Jumlah utang itu makin membesar dari masa ke masa.

Ternyata warisan utang itu sudah berlangsung sejak lama ketika Indonesia baru merdeka dari Belanda. Negara kincir angin yang telah menjajah Indonesia 350 tahun lamanya itu juga mewariskan utang bagi pemerintah Indonesia yang baru merdeka.

Seperti diketahui, Belanda akhirnya mengakui kedaulatan RI tanggal 27 Desember 1949 melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) namanya. Namun, pengakuan kedaulatan tidak hanya memberikan kelegaan bagi bangsa Indonesia, tapi juga warisan utang pemerintah kolonial Hindia Belanda yang tidak sedikit jumlahnya.

Urusan utang-piutang sudah menjadi agenda pembahasan serius antara Indonesia dan Belanda beberapa pekan sebelum penyerahan kedaulatan ke Indonesia.

Belanda baru  bersedia mengakui kedaulatan RI dengan catatan, Indonesia harus menanggung utang dari zaman pemerintahan Hindia Belanda .Tercatat  penjajahan Belanda mewariskan utang  sebesar Rp 16 Triliun ke pemerintah Indonesia yang baru merdeka.

Presiden Soekarno sempat tak setuju dan membatalkan warisan utang yang menjadi beban bagi Indonesia. Utang dari pemerintah Hindia Belanda pun tak seluruhnya dibayarnya.

Tapi bukan berarti Soekarno anti terhadap utang dalam menjalankan pemerintahannya. Karena Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Bung Karno juga pernah berutang ke negara lain terutama ke negara-negara blok timur, Uni Soviet dan sekutunya.

Karena itu ketika Orde Lama tumbang, Soekarno juga mewariskan hutang pemerintah berikutnya yaitu orde baru (orba). Soekarno pun melanjutkan tradisi pengalihan utang ke pemerintahan setelahnya . Bung Karno mewarisi utang sekitar USD 2,3 miliar dollar Amerika (di luar utang Hindia Belanda USD 4 miliar).

Sehingga saat dilantik sebagai presiden, Soeharto sudah menanggung beban utang dari Soekarno yang ditumbangkannya . Tapi, bukannya melunasi utang sebelumnya, Soeharto yang berkuasa selama lebih dari 32 tahun justru semakin rajin melakukan pinjaman baru untuk menjalankan pemerintahannya.

Bedanya, Soeharto tidak memilih utang dari negara blok timur, tapi cenderung ke blok barat dan lembaga asing semisal  IMF dan Bank Dunia. Warisan utang dari Hindia Belanda yang sempat dibatalkan oleh Soekarno , justru di re-schedule ulang oleh Soeharto pada 1964.

Selain mereschedule ulang, Soeharto juga mendapat komitmen pinjaman baru dari negara negara yang bersedia mengutanginya. Utang di era Soeharto  saat itu diarahkan untuk pertumbuhan ekonomi mulai dari pembangunan infrastruktur, bangun pabrik, industri, dan lain-lainnya.

Selama 32 tahun berkuasa pemerintah Soeharto tercatat berutang sebesar Rp1.500 triliun yang jika dirata-ratakan selama 32 tahun pemerintahan Soeharto , utang negara bertambah sekitar Rp 46,88 triliun tiap tahunnya.

Saat dilengserkan pada 1998, Soeharto pun melanjutkan tradisi mewarisi utang ke Presiden Habibie yang menjadi penggantinya. Utang luar negeri yang diwariskan mencapai USD 53 miliar ditambah utang BLBI yang dimasukkan sebagai utang dalam negeri sehingga totalnya, Soehart o mewarisi utang sekitar USD 171 miliar  atau Rp551,4 triliun jumlahnya

Proses akumulasi utang pun terus berlanjut di era Presiden Habibie berkuasa. Bahkan, Habibie tercatat sebagai presiden yang membuat utang Indonesia makin besar meskipun ia tidak lama berkuasa. Pada masa kepemimpinannya yang hanya seumur jagung,  Habibie mengakumulasi tambahan utang luar negeri hingga USD 20 miliar atau Rp387,4 triliun).

Kepada penggantinya yaitu Presiden Abdurrahman Wahid, Habibie mewariskan hutang sekitar USD 178 miliar atau Rp938,8 triliun nilainya.Di zaman Presiden Gus Dur, ternyata tradisi utang tetap dilanjutkan untuk menjalankan roda pemerintahannya.Presiden Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur, sempat menurunkan utang luar negeri pemerintah sekitar USD 21,1 miliar. Dari USD 178 miliar menjadi USD 157 miliar. Namun, utang pemerintah secara keseluruhan meningkat jumlahnya.

Secara keseluruhan Gus Dur menambah utang baru sebesar Rp332,6 triliun).Oleh karna itu setelah lengser, Gus Dur mewarisi utang sebesar Rp 1.273,18 triliun ke pemerintahan Megawati yang menggantikanya.

Ketika Megawati berkuasa, terjadi penurunan jumlah utang karena adanya penjualan aset-aset negara. Pada 2001 utang Indonesia sebesar Rp 1.273,18 triliun turun menjadi Rp 1.225,15 triliun pada tahun 2002.

Sayangnya, di tahun-tahun berikutnya utang Indonesia terus meningkat jumlahnya. Pada 2004, total utang Indonesia menjadi Rp 1.299,5 triliun. Meskipun patut dicatat  pada masa Gus Dur dan Megawati tambahan utang baru terbilang sedikit, dibandingkan pemerintah sebelumnya yaitu sebesar Rp26,6 triliun saja.

Sungguhpun demikian, di akhir masa jabatatannya, Megawati juga mewariskan utang pada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menjadi penggantinya. Megawati mewariskan utang ke SBY  sebesar Rp1.298 triliun.

Setelah mendapat warisan utang sebesar RP 1.299 triliun, utang Indonesia justru semakin membengkak menjadi Rp 1.700 triliun di 2009 atau lima tahun pertama masa kepemimpinan SBY berkuasa. Selama dua periode pemerintahannya, SBY telah menambah utang baru  sebesar Rp1.310 trliun)

Catatan positif pada masa kepemimpinan SBY,  karena dimasanya Indonesia berhasil  melunasi utang-utangnya pada dana moneter internasional atau International Monetary Fund (IMF) yang telah menjerat sejak 1997.

Pada Oktober 2006, sisa utang pada IMF sebesar USD 3,7 miliar yang harusnya jatuh tempo pada 2010 telah diselesaikan oleh Bank Indonesia. Sebelumnya, pada Juni 2006, BI juga membayar utang ke IMF sebesar Rp 3,7 miliar. Jadi, dalam waktu satu tahun anggaran, sisa utang ke IMF sebesar Rp 7,4 miliar telah dilunasinya.

Meskipun demikian harus diakui di era SBY telah terjadi akumulasi utang yang besar dibanding presiden-presiden sebelumnya. Per April 2013, utang pemerintah SBY sudah menembus Rp 2.023 triliun sehingga diakhir masa pemerintahannya, SBY mewariskan utang ke pemerintah Jokowi sebesar Rp2.608,8 triliun.

Utang yang sudah cukup besar itu makin ditambah jumlanya oleh pemerintah Jokowi yang menggantikannya.Sampai dengan bulan April 2021, Kementerian Keuangan mencatat posisi utang Indonesia mencapai Rp6.527,29 triliun jumlahnya.

Angka ini diperkirakan akan  terus bertambah sehingga diperkirakan di akhir periode, pemerintahan Jokowi  akan mewariskan lebih dari Rp10.000 triliun kepada presiden berikutnya

Dari pergerakan warisan utang tersebut kiranya bisa dilihat bahwa warisan utang telah terjadi sejak lama yang kemudian menjadi tradisi  yang dilakukan oleh presiden presiden yang pernah memimpin Indonesia. Dari angka angka tersebut kelihatan juga siapa presiden Indonesia yang bakalan paling besar mewariskan utang kepada penguasa berikutnya.

 

Kian Mengkhawatirkan

Semakin besarnya utang yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia saat ini telah membuat khawatir beberapa kalangan seperti yang disuarakan oleh Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi PKS Ecky Awal Mucharam. Ecky menilai pemerintah terlalu jor-jor sehingga utang pemerintah pusat naik tajam jumlahnya.

“Terjadi penambahan utang sebesar Rp 1.121 triliun hanya dalam satu tahun sejak Oktober 2019 hingga sekarang, ini mengkhawatirkan,” kata Ecky melalui keterangan resmi yang dikutip cnn. Indonesia Sabtu (28/11/2020).

Menurutnya lonjakan utang ini patut diwaspadai, terutama terkait dengan komposisi utang pemerintah yang didominasi oleh Surat Berharga Negara (SBN) dengan porsi lebih dari 80%.Ia pun menilai permasalahan membengkaknya utang dipicu oleh kekurangtepatan dan kurang cermatnya pemerintah dalamn mengelola anggaran negara.

Kekhawatiran mengenai hutang yang makin membengkak ini juga disampaikan oleh  Ekonom senior Indef Faisal Basri. Ia berpendapat bahwa utang pemerintah semakin mengkhawatirkan, karena komposisi utang memberatkan beban yang ditanggung negara.

“Jangan kaget kalau bunga utang pemerintah itu lebih tinggi, [karena komposisi utang pemerintah lebih bersandar pada SBN],” katanya dalam acara diskusi Indef, di Jakarta, Rabu (21/3/2018).

Berdasarkan bahan paparannya, pada 2010 utang dalam bentuk SBN hanya 36,3% dan utang dalam bentuk pinjaman luar negeri 63,7%. Sementara itu, pada 2017 utang dalam bentuk SBN meningkat menjadi 67,4% dan utang dalam bentuk pinjaman luar negeri 32,6%. Menurut Faisal, komposisi utang tersebut tidak sama sekali aman seperti yang pemerintah sering sebutkan dalam pernyataannya.

Hal tersebut dikarenakan, pertama, suku bunga yang dibayar pemerintah pada SBN jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pinjaman luar negeri dari organisasi internasional atau negara manapun juga.

Bahkan, dia menjelaskan, bunga yang ditetapkan dalam SBN selalu meningkat dalam 3 tahun terakhir ini, yakni pada 2015 (8,6%), 2016 (9,8%), dan 2017 (10,9%).

Kedua, jangka waktu yang ditentukan dalam SBN jauh lebih pendek dibandingkan dengan jangka waktu yang ditentukan dalam pinjaman luar negeri (PLN).

Ketiga, persayaratan dalam PLN jauh lebih rigid dibandingkan dengan SBN. Artinya, proyek yang akan dibiayai oleh utang tersebut akan terjamin keberhasilannya, karena melalui proses audit yang lebih detail.

“Kalau SBN itu kita bebas merdeka mau menggunakannya untuk segala hal, [yang mana dapat berujung pada ketidaktelitian dalam penjaminan keberhasilan proyek],” imbuhnya.

Keempat, SBN yang sangat mudah didapatkan, berimbas pada perencanaan penggunaan utang yang kurang matang dan penurunan transparansi. Kelima, SBN dapat menimbulkan dampak crowding out. Maksudnya, pemerintah meminjam dana dari negara lain untuk membiayai pengeluaran pemerintah biasanya melalui kebijakan fiskal ekspansif.

Adapun, kecenderungan crowding out pemerintah dapat dilihat dari yield yang ditawarkan pemerintah dalam SBN-nya lebih tinggi dibandingkan dengan SBN negara yang memiliki rating yang sama.

Meskipun jumlah utang makin mengkhawatirkan karena terjadi peningkatan yang luar biasa namun jika dilihat dari rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB)  masih mengalami penurunan  jumlahnya.

PDB adalah nilai semua barang dan jasa yang dimiliki atau diproduksi oleh suatu negara. Adapun yang dimaksud dengan rasio utang terhadap PDB adalah perbandingan antara jumlah utang dengan besaran PDB.

Contoh sederhana apa itu rasio utang terhadap PDB adalah katakanlah Ani punya harta kekayaan (berupa rumah, kendaraan, gaji, dan lainnya) sebanyak Rp500 juta. Lalu Ani punya utang sebesar Rp50 juta.

Berapa rasio utang Ani terhadap harta kekayaannya? Perhitungannya adalah:= Rp500.000.000 (harta) – Rp50.000.000 (utang) = Rp450.000.000 (harta bersih)= 100 (%) : Rp500.000.000 (harta) x Rp50.000.000 (utang) = 10% (rasio utang terhadap harta)

Jadi, rasio utang Ani sebesar 10% terhadap hartanya. Dengan rasio utang Ani tersebut, maka kemampuan Ani untuk membayar utangnya masih cukup besar. Artinya, Ani tidak mungkin tidak bisa membayar utangnya yang sebesar Rp50 juta

Pun demikian, ada hal-hal lain menjadi faktor aman atau tidak utang pemerintah tersebut, yakni faktor kualitasnya. Produktif atau tidak produktif utang yang telah diambil tersebut cukup berperan dalam menentukan apakah utang itu masih aman atau tidaknya.

Dengan gambaran sebagaimana dikemukakan di atas, maka apakah benar utang pemerintah ini masih bisa dikatakan aman aman saja?.Secara nominal jumlah utang memang naik, namun dari segi rasio utang terhadap PDB, utang Indonesia masi belum mencapai batas  maksimal rasio utang pemerintah sebesar 60% terhadap PDB  sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No.17/2003 tentang Keuangan Negara.

. Meskipun dari sisi rasio utang terhadap PDB dikatakan masih aman namun peningkatan jumlah utang yang ugal ugalan di satu sisi sementara disisi lain pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mengalami kontraksi  pertumbuhan akibat pandemi mengharuskan adanya kebijakan yang lebih hati hati karena akan mempengaruhi beban pemerintah periode berikutnya.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatatkan PDB Indonesia pada 2019 mencapai  Rp15 833,9 triliun  Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB).  Sehingga rasio utang pemerintah pada tahun anggaran 2019 telah meningkat mencapai 30,23 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Jumlah rasion hutang ini terus meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sedang tidak baik baik saja. Pada  akhir oktober tahun 2020 yang lalu Bank Indonesia mencatat rasio utang luar negeri (ULN) Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 38,8 persen. Posisi tersebut meningkat jika dibandingkan dengan rasio pada September 2020 yang tercatat sebesar 38,1 persen.

Rasio utang Indonesia ini terus merangkak naik di tahun 2021 seiring dengan terus meningkatnya jumlah utang dan menurunnya pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Kementerian Keuangan mencatat dengan  jumlah utang pemerintah Indonesia yang saat ini mencapai Rp6.445,07 triliun per Maret 2021 maka asio utang setara 41,64 persen dari produk domestik bruto (PDB).

Jumlah utang tersebut  meningkat Rp84,05 triliun atau 1,32 persen dari Rp6.361,02 persen pada Februari 2021. Dari sisi persentase, rasio utang tersebut telah melewati batas yang selama ini berusaha dijaga pemerintah, yaitu 30 persen dari PDB. Namun, belum melewati batas Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yaitu 60 persen dari PDB.

Bisa dibayangkan berapa rasio utang Indonesia jika nantinya utang pemerintah benar benar mencapai angka 10.000 triliun diakhir masa jabatannya sebagaimana ramalan yang di ungkapkan oleh ekonom Didik J. Rachbini.

Sehingga masuk akal juga kalau dikatakan pemerintah yang berkuasa saat ini menjadi pewaris utang terbesar dalam sejarah berdirinya negara kesatuan Republik Indonesia. Yaitu warisan untuk presiden yang akan memerintah Indonesia selanjutnya.

Terbesar disini bukan hanya terkait dengan jumlah nilai utangnya tetapi juga terbesar jika di ukur dari rasio utang terhadap PDB Indonesia yang semakin mengecil jumlahnya akibat pertumbuhan ekonomi yang melambat tidak seperti sebelumnya.

 

Mengandalkan Utang

Negara yang dianggap kaya sumberdaya alamnya tapi banyak utangnya, itulah Indonesia.  Padahal Negara yang terjebak utang akan sulit untuk mensejahterakan rakyatnya. Jangankan kesejahteraan, yang ada adalah pemerasan dan pemalakan untuk meningkatkan pendapatan negara melalui pungutan pajak dan sejenisnya.

Banyaknya utang akan membuat perekonomian Indoneisa  tidak bisa sehat jalannya. Sehingga berdampak terhadap penurunan  kesejahteraan rakyat Indonesia. Tidak sehatnya  ekonomi akhirnya berdampak  terhadap Anggaran Pendapatan belanja Negara.  Yang otomatis anggaran  APBN  tersedot sehingga  berakibat terjadinya  defisitnya kas negara .

Ketika terjadi defisit, maka andalan yang dilakukan adalah berutang untuk menutupi kekurangan anggaran belanja negara. Sebenarnya berutang bukan solusi untuk memecahkan permasalahan yang ada karena  ketika berutang maka utang lama yang masih mencengkeram juga.

Apabila ditambah utang baru, tentu saja membuat negara makin terjual karena makin terseok seok kemampuan bayarnya. Imbasnya kepada rakyat makin tercekik, kesejahteraan makin tidak jelas, dan sebagainya.

Praktek untuk selalu berutang ketika negara kekuarangan uang akibat defisit, tak dapat dilepaskan kaitannya dengan sistem kapitalisme yang sudah  menjerat perekonomian Indonesia . Jerat utang memang sengaja dipasang untuk meringkus kedaulatan suatu negara  dibidang ekonominya.

Dalam kaitan dengan utang akibat adanya defisit ini Sri Mulyani bilang, jika APBN mau tanpa utang dan impas, maka belanja negara harus dipotong Rp 397,2 triliun.

Angka itu merupakan angka defisit anggaran atau sebesar 2,92 persen dari PDB.”Kira-kira kalau hampir Rp 400 triliun apa dulu yang kita potong?,” kata Sri Mulyani, Kamis (27/7) seperti dikutip media.

Dalam hal ini pemerintah memang mengaku kesulitan untuk memotong anggaran yang mana karena  misalnya, anggaran gaji PNS tidak mungkin dipotong, anggaran kesehatan yang diamanatkan sebesar 20 persen, anggaran kesehatan yang diamanatkan 5 persen, dan anggaran bantuan sosial seperti program keluarga harapan (PKH) juga tidak mungkin dipotong juga.

Begitu juga dengan anggaran infrastruktur yang tidak mungkin dipotong jumlahnya. “Infrastruktur saya potong MRT dan LRT kami berhentikan ya? mangkrak, anda macet terus kan tidak apa-apa ya? Pokoknya kan tidak ngutang yang penting, tidak usah bangun listrik baru boleh? jangan,” tambahnya.

Sementara disisi lain pemerintah juga kesulitan menambah penerimaan pajak untuk menambal anggaran belanja. Alasannya, ekonomi sedang lesu sehingga pengenaan pajak dikhawatirkan semakin membuat lesu industri yang ada.

Oleh karena itu menurut Sri Mulyani, utang yang dilakukan pemerintah merupakan strategi politik dan pilihan strategi semata. Pemerintah lanjut dia, tidak ingin menyetop kegiatan-kegiatan lain yang bisa menggerakkan ekonomi hanya karena tidak ingin menambah utang untuk menutupinya.

Sampai disini pertanyaan timbul, apakah dengan alasan tersebut diatas lalu ada pembenaran untuk selalu terus berutang dalam rangka memenuhi kebutuhan menambal kekuarangan anggaran negara ?

Mengapa penyusunan APBN selalu saja menyisakan angka defisit yang ujung ujungnya harus ditambal dengan cara ngutang yang akan membebani generasi  berikutnya ?.Mengapa belanja negara tidak disesuaikan saja dengan pendapatan yang ada saja ?

Pertanyaan pertanyaan tersebut sering mengemuka ditengah tengah kondisi adanya pemerintah yang selalu mengeluhkan minimnya pendapatan negara.  Dalam hal ini Kementerian Negara pernah merilis cara  mengatasi defisit anggaran  yaitu dengan cara meningkatkan rasio pajak dan tingkat kepatuhan pajak di Indonesia.

Dengan meningkatkan pajak untuk menambah kas penerimaan negara maka angka defisit bisa di kurangi atau bahkan dihilangkan sehingga pemerintah tidak harus berutang untuk menutupi kekurangan belanja.

Tapi faktanya  pendapatan dari sektor pajak hampir tak pernah tercapai targetnya.Kalau sudah begini kondisinya lalu berutang menjadi salah satu jalan keluarnya. Apakah memang harus demikian kebijakan yang harus ditempuk pemerintah yang kini berkuasa ? tidak adakah solusi yang lainnya ?

Kalau kita melihat postur APBN 2021, pendapatan negara ditargetkan Rp1.743,6 triliun, belanja negara Rp2.750 triiliun, defisit 1.006,4 triliun atau 5,7%.

Untuk mendanai kegiatan pembangunan di tahun 2021, akan didukung sumber penerimaan mandiri dari pendapatan negara sebesar Rp 1.776,4 triliun, yang utamanya dari penerimaan perpajakan Rp 1.481,9 triliun dan penerimaan negara bukan pajak Rp 293,5 triliun jumlahnya.

Dari sini kita bisa melihat betapa kecilnya sumber pendapatan yang berasal dari kekayaan alam alias SDA .

Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah mengapa pendapatan dari sektor SDA ini begitu kecilnya pada hal Indonesia selama ini dikenal sebagai negara kaya raya karena sumberdaya alamnya ?

Pertanyaan ini mengingatkan kita pada pernyataan Abraham Samad, mantan Ketua KPK. Pada saat menjabat sebagai Ketua KPK, Abraham Samad pernah menyampaikan besarnya potensi pendapatan negara Indonesia.

Sebagaimana diberitakan kompas.com , 7/9/2013,saat memberikan materi dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) PDI Perjuangan di Hotel Ecopark, Ancol, Jakarta, Samad menyebutkan bahwa banyak kebijakan impor yang tak jelas arahnya.

Selain itu, Samad juga menyoroti lemahnya regulasi untuk melindungi sumber daya energi Indonesia. Ia mengatakan, dari 45 blok minyak dan gas (migas) yang saat ini beroperasi di Indonesia, sekitar 70 persen di antaranya dikuasai oleh kepemilikan mancanegara.

Kondisi  tersebut semakin parah karena banyak pengusaha tambang di Indonesia yang tak membayar pajak dan royalti kepada negara. Dalam perhitungan KPK, potensi pendapatan negara sebesar Rp 7.200 triliun hilang setiap tahunnya.

Bila ditotal, kata Samad, pajak dan royalti yang dibayarkan dari blok migas, batubara, dan nikel pada setiap tahunnya dapat mencapai Rp 20.000 triliun nilainya.

“Bila dibagi ke seluruh rakyat, maka pendapatan rakyat Indonesia per bulan bisa mencapai Rp 20 juta,” ujarnya.

Namun, pendapatan sebesar itu tergerus karena pemerintah tidak tegas dalam regulasi dan kebijakannya.

Alhasil pendapatan yang besar itu sejauh ini hanya merupakan utopia belaka karena sumberdaya alam bukan kita sebagai pemilik yang mengelolanya.

Harusnya pemerintah dan ekonom Indonesia berjuang agar Indonesia bisa mandiri sesuai dengan prinsip trisakti dan nawacita. Tapi seperti kita ketahui bersama, trisakti dan nawa cita masih menjadi nawaduka.

Karena trisakti dan nawacita masih menjadi nawa duka maka pendapatan negara masih mengandalkan sumbernya dari sektor pajak dan ngutang sebagai andalannya.

Sebagai negara yang katanya berdaulat mengapa kita tidak mengoptimalkan pendapatan dari potensi sumberdaya alam yang melimpah jumlahnya ?. Apakah karena berhutang lebih gampang mendapatkan uang daripada harus melakukan itu semua ? []

Penulis Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Advertisement
Advertisement