Menikah Lintas Negara dan Dilema Untuk Anak

JAKARTA – Perkawinan atau pernikahan lintas negara sebagaimana dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 didefinisikan sebagai perkawinan antara warga negara Indonesia (WNI), baik perempuan maupun laki-laki dengan warga negara asing (WNA). Definisi tersebut spesifik merujuk perkawinan antar dua kewarganegaraan. Bukan perkawinan antara dua latar belakang budaya ataupun agama.
Praktik perkawinan campuran pun telah banyak dilakukan. Bagi sebagian orang, perkawinan campur dianggap sebagai jalan alami dan tak terhindarkan. Pasalnya, cinta bisa datang di mana dan dari mana saja.
Namun, ada juga yang memandang bahwa perkawinan campuran sebagai sebuah pencapaian yang bisa mendulang status sosial. Mulai dari identitas, ekonomi hingga ihwal keturunan.
Terlepas dari itu, ada sejumlah konsekuensi yang harus dilalui oleh para pelaku nikah campur. Ada aturan yang berbeda, karena menyangkut eksistensi hukum dan regulasi dua negara.
Secara regulasi, perkawinan campuran yang dilaksanakan di Indonesia mensyaratkan pemenuhan sederet dokumen legal bagi pihak yang berwarga negara asing. Kepengurusannya pun berjenjang, mulai dari dinas kependudukan, imigrasi, hingga kedutaan besar.
Adalagi konsekuensi perihal hak milik atas properti. Berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, pasangan dari pihak WNI dapat kehilangan hak kepemilikan atas tanah, bila tidak mengurus pemisahan harta kepemilikan suami-istri melalui perjanjian perkawinan. Ia hanya memiliki hak pakai sebagaimana berjangka waktu 20 tahun layaknya WNA.
Namun, kerawanan seperti itu dapat dihindari berkat adanya regulasi yang membolehkan pasangan kawin campur membuat surat perjanjian kawin. Isinya, menerangkan bahwa masing-masing pihak sepakat melakukan pemisahan harta. Masing-masing punya harta terpisah.
Nah, konsekuensi paling serius agaknya terletak pada anak hasil perkawinan. Mungkin masih ingat kasus yang mencuat beberapa tahun lalu. Seorang anggota Paskibraka tingkat Nasional bernama Gloria, kedapatan memegang paspor asing jelang debutnya menjalankan prosesi pengibaran bendera di Istana Negara. Singkatnya, dia dinonaktifkan dari tim Paskibraka di Istana.
Persoalan Gloria kala itu berkaitan dengan keterbatasan orang tua mengakses informasi tentang aturan dan regulasi hukum bagi anaknya. Orang tuanya tidak tahu bahwa gloria harus dicatatkan identitas hukumnya di lembaga pencatatan negara sehingga hal itu terlewatkan.
Seperti diketahui, Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia tahun 2006 memberikan hak kepada anak dari perkawinan campuran untuk memiliki dua kewarganegaraan. Namun untuk mendapatkannya, orang tua harus mendaftarkan nama anaknya yang lahir sebelum tahun 2006 itu, sebagai pemegang dwi kewarganegaraan ke Kementerian Hukum dan HAM RI.
Jika tidak, status anak tersebut di mata hukum adalah WNA. Jika sudah begitu, jalan satu-satunya adalah dengan naturalisasi untuk kembali mendapatkan kewarganegaraan Indonesia.
Faktanya, kejadian di lapangan tidak selalu ideal.
Anak dan Hak Kewarganegaraan
Ketua Umum Masyarakat Perkawinan Campur Indonesia (Perca), Juliani W. Luthan menjelaskan, kasus seperti dialami Gloria banyak terjadi di Indonesia. Selain minimnya informasi yang diterima para pelaku kawin campur, rumitnya bahasa hukum yang ada juga turut andil.
Dalam Undang-Undang Kewarganegaraan mengatur jangka waktu pendaftaran status kewarganegaraan anak, empat tahun setelah undang-undang tersebut diterbitkan. Artinya, sebelum habis tahun 2010, semua anak hasil perkawinan campuran harus didaftarkan oleh orangtuanya. Aturan batas waktu ini spesifik diatur dalam Pasal 41.
Sementara, banyak pelaku perkawinan campuran yang dalam masa empat tahun itu tidak memahami dan menyadari tentang aturan tersebut. Belum lagi masalah tidak meratanya sosialisasi peraturan ke semua daerah. Pelayanan pemerintah di daerah juga banyak yang tak paham.
“Banyak juga anak-anak lain yang luput pasal 41,” ungkap Juliani kepada Validnews, Senin (15/2) lalu.
Namun, dia tidak merinci berapa jumlah anak yang terpaksa kehilangan kewarganegaraan karena luput menjalankan pasal itu. Bahkan, katanya, pemerintah pun tidak memiliki data yang lengkap perihal perkawinan campuran.
“Untuk anak-anak yang telanjur asing, kalau mau menjadi warga negara Indonesia itu prosesnya jelimet dan disamakan dengan orang asing murni,” ucapnya.
Undang-undang tersebut juga mengatur pembatasan hak status dwi kewarganegaraan. Di mana memasuki usia 18 tahun, sang anak harus memilih salah satu kewarganegaraan. Tenggat waktunya empat tahun, sampai dengan umur 21 tahun.
Juliani berpendapat, aturan memilih warga negara itu justru memberi beban bagi anak. Dia menganggap usia itu masih belum matang untuk memilih atau merencanakan masa depan.
Permudah Naturalisasi
Perca Indonesia kini tengah berusaha melakukan komunikasi dengan pemerintah, terkait solusi bagi anak-anak yang telanjur memilih kewarganegaraan asing.
Menurut Juliani, keinginan untuk kembali menjadi Indonesia jangan dihadapkan dengan berbagai persyaratan yang menyulitkan.
Proses naturalisasi warga negara asing tidaklah mudah. Ada berbagai persyaratan yang harus dipenuhi, seperti kewajiban membayar Rp50 juta, harus sudah kerja bekerja, memiliki NPWP, harus tingal 5 tahun berturut atau 10 tahun tidak berturut-turut di Indonesia.
“Masa iya mereka yang berdarah Indonesia ini disamakan dengan warga negara asing,” imbuhnya lagi.
Permasalahan dan dampak perkawinan campuran kian terlihat kompleks jika diuraikan dari sisi para pekerja migran. Tidak sedikit pekerja migran yang juga menikah dan memiliki anak dengan warga negara asing di negara mereka bekerja. Mulai masalah ketiadaan dokumen, konflik perwalian, hingga persoalan nafkah yang sering memicu kasus hukum.
Linda (37) tahun, warga asal Magetan, misalnya, menjadi ibu dari dua anak hasil perkawinan tanpa catatan pernikahan resmi dengan warga negara Hong Kong. Ia kini terpaksa berjuang sendirian membesarkan anak-anaknya di Indonesia, karena tak mendapatkan nafkah yang selayaknya dari sang ayah.
Linda mengaku menjadi korban dari perkawinan itu.
“Sampai saya punya anak umur dua tahun, katanya janji menikah, tapi ternyata tidak ada. Pada awalnya dia iya ada menafkahi, lalu kemudian tidak pernah ada lagi,” tutur Linda.
Migrant Care, organisasi yang fokus pada advokasi kasus-kasus pekerja migran Indonesia, mencatat banyaknya kasus anak yang kehilangan hak-hak dasarnya akibat perkawinan campuran orangtuanya.
Zulyani Evi, Staf Data dan Publikasi Migrant Care mengungkapkan kasus yang beragam. Mulai dari anak tak punya kewarganegaraan karena orangtua menikah tidak secara resmi, anak kehilangan hak pemenuhan kebutuhan dasar, hingga kasus anak yang lahir akibat perkosaan, banyak terjadi.
“Tantangan paling pertama adalah integrasi korban dengan keluarganya. Kadang keluarga tidak menerima, yang dikucilkan adalah si perempuan dan anaknya,” bebernya.
Masalah selanjutnya adalah istilah anak tidak berkewarganegaraan. Tak adanya dokumen formal menjadi soal.
Upaya Pemenuhan Hak
Pemerintah pun mengamini bahwa sampai dengan saat ini masih banyak permasalahan dalam kawin campur. Meski demikian, negara tetap berupaya menyelesaikannya.
“Itu sudah kita pikirkan ke arah sana. Sedang kita godok juga. Bagaimana regulasi yang berikan kemudahan bagi mereka. Tapi sekali lagi, kita tunduknya masih UU 12/2006. Jadi tetap kitabnya di situ. Bahwa saat ini kita juga membahas PP yang mudah-mudahan nanti juga memberikan kemudahan,” tandas
Direktur Tata Negara Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Kemenkumham, Baroto.
Di sisi lain, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) memastikan, pada dasarnya pemerintah senantiasa mengupayakan agar anak-anak hasil perkawinan campuran terpenuhi hak-haknya. Termasuk hak kewarganegaraan, yang merupakan hak dasar melalui akta kelahiran.
Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kementerian PPPA, Lenny N Rosalin menyebutkan, pihaknya memiliki nota kesepahaman “Percepatan Kepemilikan Akta Kelahiran dalam Rangka Perlindungan Anak”, dengan melibatkan tujuh kementerian lain.
“Pemberian akta kelahiran anak merupakan hak dasar yang harus diberikan oleh pemerintah. Hak sipil adalah mandat pertama,” terang Lenny kepada Validnews.
Prinsip dasarnya, semua anak yang lahir dari perkawinan campuran berhak mendapatkan legalitas sipilnya di Indonesia.
Pelaksanaannya dilakukan dengan jemput bola, menyesuaikan permasalahan di lapagan. Diharapkan ini bisa menjadi solusi bagi permasalahan anak hasil perkawinan campur dari pekerja migran.
“Makanya kenapa pekerja migran kalau pulang, di bandara kita catat. ‘Ini anakmu sudah punya akta?’, misalnya. Kalau sudah, berarti aman. Tapi kalau belum, nanti Dukcapil di daerah yang dia sebut yang menindaklanjuti,” jelasnya.
Lepas dari carut-marut pelaksanaan perundangan dan dinamikanya, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat satu hal yang pasti. Jika dibandingkan dengan banyak negara, perlindungan kepada anak Tanah Air, termasuk yang terbaik di dunia. Beleid yang ada, menutup kemungkinan anak lahir tanpa status tanpa kewarganegaraan.
“Indonesia itu kalau bapak atau ibunya Indonesia, itu kan tidak dianggap stateless. Indonesia itu dapat penghargaan untuk itu, lho,” kata Wakil Ketua KPAI, Rita Pranawati. []
Sumber Valid News