Menikah Menurut Quran dan Hadits (Tujuan dan Keutamaan)
ApakabarOnline.com – Tujuan menikah dalam Islam memiliki arti begitu dalam. Selain menciptakan generasi yang sholeh atau sholehah, Allah menyampaikan berbagai berkah di balik pernikahan.
Meskipun aktivitas bersama pasangan halal itu dianggap sederhana, namun bernilai pahala dan sedekah.
Sebuah pernikahan bukan hanya menyatukan dua hati dan menyangkut suatu kesatuan yang luhur dalam berumah tangga saja. Melainkan ada tujuan menikah dalam Islam yang seharusnya dipahami seorang Muslim sebelum melangkah menuju pernikahan.
Allah SWT dalam Quran surat An-Nur ayat 32 berfirman mengenai keutamaan menikah. Bahkan, Allah SWT akan memberikan karunia-Nya kepada laki-laki dan perempuan yang menikah karena-Nya.
“Dan nikahkan lah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui.” (QS. An Nur: 32).
Pernikahan merupakan ibadah yang kedudukannya sangat penting dan sakral dalam Islam. Hingga disebut sebagai mitsaqan ghalizha dalam Al-Qur’an, yang berarti perjanjian yang amat kukuh atau kuat. Sehingga tidak baik bila menyepelekannya atau menganggap enteng perceraian untuk menikah lagi.
Tujuan menikah dalam Islam memiliki arti begitu dalam bagi Allah SWT dan Nabi-Nya. Selain menciptakan generasi yang sholeh/sholehah, Allah menyampaikan berbagai berkah di balik pernikahan. Meski aktivitas bersama pasangan halal itu dianggap sederhana, namun bernilai pahala dan sedekah.
Melansir Merdeka.com, berikut ini beberapa tujuan menikah menurut Al-Qur’an dan hadis, beserta keutamaannya sesuai sabda Rasulullah SAW.
- Sunnah Rasulullah
Sebagai seorang Muslim, kita memiliki panutan dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Alangkah baiknya bisa meniru yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW, salah satunya menjalankan pernikahan dengan niat yang baik. Karena tujuan utama pernikahan dalam Islam ialah menjauhkan diri dari perbuatan maksiat.
“Menikah adalah sunnahku, barangsiapa yang tidak mengamalkan sunnahku, bukan bagian dariku. Maka menikahlah kalian, karena aku bangga dengan banyaknya umatku (di hari kiamat).” (HR. Ibnu Majah no. 1846, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no. 2383).
- Menghindarkan dari perbuatan maksiat
Pernikahan merupakan hal yang mulia dalam Islam. Ikatan suci yang bermanfaat dalam menjaga kehormatan diri, serta terhindar dari hal-hal yang dilarang agama.
Apabila telah menikah, diketahui baik untuk menundukkan pandangan. Juga membentengi diri dari perbuatan keji dan merendahkan martabat, salah satunya zina.
“Wahai para pemuda, jika kalian telah mampu, maka menikahlah. Sungguh menikah itu lebih menentramkan pandangan dan kelamin. Bagi yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa bisa menjadi tameng baginya.” (HR. Bukhari No. 4779).
- Menyempurnakan agama
Tujuan pernikahan selanjutnya untuk menyempurnakan separuh agama. Separuhnya yang lain melalui berbagai ibadah.
“Barangsiapa menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh ibadahnya (agamanya). Dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah SWT dalam memelihara yang sebagian sisanya.” (HR. Thabrani dan Hakim).
- Mengikuti perintah Allah Ta’ala
Menikah menjadi jalan ibadah yang paling banyak dinanti dan diidamkan. Tak perlu ragu dan takut perihal ekonomi.
Yakinlah bahwa usaha yang dibarengi doa, tawakal bersama pasangan, tentu akan saling menguatkan mencapai kekayaan dunia dan akhirat.
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nur Ayat 32).
- Mendapatkan keturunan shaleh/shaleha
Salah satu tujuan pernikahan dalam Islam adalah mendapatkan keturunan, sebagai salah satu cara berinvestasi akhirat, yakni melalui keturunan yang shaleh/shaleha.
“Allah menjadikan kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki yang baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?.” (QS. An-Nahl ayat 72).
- Penyenang hati dalam beribadah
Menikah akan membentuk pasangan suami-istri yang bertakwa pada Allah SWT. Pernikahan mampu memicu rasa kasih dan menciptakan insan yang takwa. Bersama memperjuangkan nilai-nilai kebaikan dan bermanfaat bagi orang lain.
“Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Furqon ayat 74).
- Membangun generasi beriman
Tujuan pernikahan selanjutnya adalah untuk membangun generasi beriman. Bertanggung jawab terhadap anak, mendidik, mengasuh, dan merawat hingga cukup usia, adalah jalan ibadah sekaligus sedekah yang menjadi bekal di akhirat kelak.
“Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (QS. At-Thur ayat 21).
- Memperoleh ketenangan
Perasaan tenang dan tentram atau sakinah, akan hadir seusai menikah. Bukan sekedar untuk melampiaskan syahwat atau perasaan biologis saja, karena hal ini bisa mengurangi ketenangan tersebut.
“Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia ciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.” (QS al-Rum [30]: 21).
Dilansir dari no.or.id, pada dasarnya hukum menikah adalah sunah. Artinya, siapa yang mengerjakannya mendapatkan pahala, namun tidak berdosa jika meninggalkannya.
Hal ini berdasarkan imbauan dari Nabi Muhammad SAW:
“Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji [kemaluan]. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa, karena puasa itu dapat membentengi dirinya,” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Kendati demikian, berdasarkan konteks dan keadaan yang dialami seorang Muslim, hukum sunah tadi dapat berubah menjadi makruh.
Sebagai misal, jika ada keinginan menikah, namun sebenarnya ia tidak memiliki kemampuan untuk menafkahi keluarganya.
Demikian juga hukum sunah tadi dapat menjadi wajib jika seseorang sudah memiliki kelapangan harta dan mampu memberikan hak dan kewajiban dalam rumah tangga, namun ia meninggalkan ibadah nikah tanpa alasan yang jelas.
Malahan, tanpa menikah, ia cenderung akan jatuh ke dalam dosa dan perzinahan. Dalam kondisi ini, maka seorang Muslim lebih utama untuk menikah dan hukumnya menjadi wajib.[]