Menjadi Single Parent itu Tidak Buruk, yang Buruk Saat Single Parent Merasa Terpuruk
Seiring dengan berjalannya waktu dan berkembangnya teknologi yang ada, angka perceraian di Indonesia rupanya terus mengalami peningkatan. Data dari BPS atau Badan Pusat Statistik Indonesia di tahun 2015 saja menunjukkan angka talak cerai di Indonesia mencapai 347 ribu kasus.
Dengan banyaknya angka talak cerai ini, tentunya semakin banyak orangtua yang menjadi orangtua tunggal atau single parent buat anak-anaknya. Melansir dari laman Liputan6.com, ketika menjalankan hidup dengan buah hatinya, orangtua tunggal khususnya ibu single parent harus berjuang sekuat tenaga demi bisa hidup lebih bahagia.
Patah Hati Karena Perceraian
Perceraian atau perpisahan dengan pasangan kadang terasa sangat menyakitkan. Tidak sedikit perempuan yang kurang bisa menerima kenyataan ini. Tidak sedikit pula yang tidak bisa berdamai dengan statusnya menjadi single parent. Apalagi jika perceraian dan perpisahan yang dialami karena pasangan mengkhianti hubungan yang telah lama dibangun bersama.
Patah hati karena perceraian bisa berdampak buruk bagi orangtua pun anak. Penelitian yang dipublikasikan di Journal of Positive Psychology menyebutkan jika patah hati karena putus cinta dan perceraian meningkatkan risiko serangan jantung sebanyak 21 kali dalam 24 jam pertama. Mereka yang patah hati juga dipercaya memiliki risiko serangan jantung 8 kali lebih besar dari mereka yang hidup harmonis bersama pasangan.
Single Parent dan Dampaknya
Menurut Duvall E R M dan Miller B C dalam bukunya yang berjudul Marriage and Family Development mengungkapkan jika single parent merupakan orangtua yang memelihara dan membesarkan anak tanpa kehadiran dan dukungan dari pasangan. Bagi pasangan yang berpisah, menjadi single parent apalagi di Indonesia kemungkinan besar masih dirasa kurang memiliki segi positif.
Beberapa orang juga percaya jika perceraian akan memberikan dampak negatif negatif pada tumbuh kembang anak. Menurut Hetherington dan Kelly dalam buku karangan Papalia, D. E dab Feldman, R. D yang berjudul Menyelami Perkembangan Manusia dijelaskan jika anak korban perceraian cenderung kurang bisa bersosialisasi dan mengendalikan emosionalnya. Namun, hal ini hanya terjadi ketika pola asuh dari orangtua kurang baik. Orangtua tunggal yang terpuruk dalam kesedihan dan tidak bisa menerima kenyataan akan statusnya, lebih berisiko menyebabkan dampak buruk lebih besar pada dirinya maupun anak-anak yang diasuhnya.
Berdamailah dengan Masa Lalu dan Move On
Bagaimana pun kondisi yang harus dialami setelah bercerai, pastikan untuk berdamai dengan masa lalu dan move on. Pastikan untuk tidak menjelek-jelekan mantan pasangan agar hati lebih tenang. Menghindari menjelek-jelekan mantan pasangan juga akan membuat anak lebih berdamai dengan statusnya. Menjadi single parent sebenarnya bukan hal buruk. Yang buruk adalah ketika dirimu terus menerus terpuruk karenanya dan tidak sulit berdamai dengan kenyataan yang ada.
Susan Bartell, PsyD, penulis Mommy or Daddy: Whose Side Am I On mengungkapkan jika kita tidak boleh menyimpan dendam pada mantan pasangan demi hidup yang lebih bahagia. Setelah menjadi single parent, cobalah untuk istirahat dulu dari cinta dan pahami dirimu sendiri. Memahami diri sendiri akan membuatmu jadi pribadi lebih kuat, lebih tenang dan bahagia. Jika memang sudah siap untuk bertemu cinta baru, tak ada salahnya untuk mencoba memulai hubungan baru.
Pepper Schwartz, PhD, profesor sosiologi di University of Washington di Seattle menyarankan agar sebelum memasukkan orang baru dalam kehidupan Mom dan buah hati, bicarakan baik-baik hal ini dengan buah hati. Pikirkan secara matang-matang sebelum benar-benar melakukannya. Jaga perasaan buah hati dan semua keluarga agar mereka tak kecewa maupun terluka lebih dalam. []