Menjamah Sakinah yang Tidak Selalu Mudah
ApakabarOnline.com – “… dengan ini saya terima kawin dan nikahnya …”
Hidup berkeluarga mungkin adalah harapan dan keinginan banyak orang di dunia. Sebagai mahluk sosial, manusia sering dinilai membutuhkan “mitra” untuk menjalankan berbagai lika-liku kehidupan di dunia sebab, pada dasarnya, itulah salah satu alasan Adam meminta kepada Tuhan untuk diberikan seorang Hawa.
Kata keluarga secara tidak langsung merepresentasikan makna kerekatan antaranggotanya. Oleh karena itu, penambahan kata keluarga dalam setiap kesempatan seolah menjadi wajar karena setiap anggotanya dinilai memiliki probabilitas tinggi untuk akur dan sepakat satu sama lain.
Namun, seiring perjalanan dan perkembangan peradaban, keluarga juga mengalami pendefinsian ulang. Keluarga tidak lagi sebatas sepasang laki-laki dan perempuan yang dipersatukan dalam ikatan sesuai aturan keagamaan dan tercatat dalam hukum negara. Lebih dari itu, dinamika kehidupan yang terjadi saat ini juga telah membuka pilihan bagi manusia untuk hidup dengan cara masing-masing.
Dinamika inilah yang sering kali juga dipengaruhi berbagai faktor. Termasuk pula di dalamnya adalah faktor kepercayaan atau agama. Hingga pada akhirnya, institusi pernikahan di beberapa negara mengalami perubahan yang disesuaikan dengan tuntutan para calon pengantin.
Berawal dari Pernikahan
Terbentuknya suatu keluarga sendiri dimulai dengan adanya pernikahan antara dua individu yang berasal dari keluarga yang berbeda. Dengan berbagai tujuan, seperti melanjutkan keturunan, menuruti tuntutan sosial, atau mengamalkan ajaran agama, institusi ini dilaksanakan sehingga menghasilkan sebuah unit keluarga sebagai produknya.
Bagaimanapun, tidak setiap individu memilih untuk melangsungkan pernikahan dan segala tetek bengeknya. Bagi yang menginginkannya pun, tidak jarang pernikahan ini jadi perkara yang minim prioritas karena berbagai alasan. Trauma dengan hubungan masa lalu, masalah finansial, mengejar karier, hingga mengutamakan pendidikan jadi alasan penundaan ini.
Ketakutan masyarakat akan pernikahan menyadarkan kita bahwa terdapat banyak risiko dalam institusi ini yang nyatanya tidak selalu berhasil. Oleh karena itu, sebenarnya perjanjian pranikah penting dipertimbangkan. Urgensi ini juga kian disadari oleh masyarakat yang tidak lagi menganggap remeh hal tersebut. Kini, perjanjian pranikah menjadi rencana masa depan yang esensial untuk diperhitungkan.
Perjanjian pranikah ini sebenarnya bukan hal baru. Tepatnya pada 1974, sudah ada beleid yang mengatur hal ini, yakni Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perjanjian pranikah secara hukum bertujuan menjamin kesejahteraan finansial bagi kedua pihak yang terlibat pernikahan apabila suatu hari terjadi pertikaian yang berujung kepada berakhirnya rumah tangga. Beberapa hal yang diatur dalam perjanjian tersebut di antaranya pemisahan harta kekayaan sebelum dan selama pernikahan hingga setelah perceraian, penentuan hak dan kewajiban suami dan istri, serta tanggung jawab terhadap anak-anak selama pernikahan.
Selain perjanjian pranikah, hal lain yang juga penting dipersiapkan adalah pendidikan untuk mempersiapkan setiap calon pengantin. Melalui artikelnya yang berjudul “Premarital Counselling: A Focus for Family Therapy” (2000), Robert F. Stahmann menyebutkan beberapa pengetahuan yang perlu dipersiapkan menjelang bersatunya dua individu dari keluarga berbeda melalui pernikahan. Beberapa pembekalan terkait adalah cara meminimalkan transisi dari seorang lajang menjadi individu yang telah menikah serta meningkatkan stabilitas dan kepuasan dengan pasangan pada jangka pendek maupun panjang. Selain itu, kemampuan untuk meningkatkan komitmen, keintiman, dan komunikasi dalam hubungan juga perlu dipersiapkan. Tak lupa juga, calon pengantin perlu mempersiapkan kemampuan memecahkan masalah dalam pertikaian.
Tidak hanya pembekalan emosional, penting juga mempersiapkan para calon pengantin dengan pembekalan program keluarga berencana (KB) dan pendidikan seks. Melalui kedua jenis pembekalan tersebut, diharapkan individidu berbeda yang nantinya akan menjadi satu keluarga tersebut terbiasa dengan berbagai aktivitas pascapernikahan. Program KB juga menjadi penting sebagai pengetahuan dasar para pengantin untuk mempertimbangkan keputusan melanjutkan keturunan bersama pasangan.
Bicara soal masalah melanjutkan keturunan, bukan hal baru rasanya ketika mendengar ada pasangan yang “terpaksa” menikah karena lebih dahulu mengandung buah hati. Hamil duluan menjadi situasi yang dalam kebanyakan kasus mengakibatkan terjadinya pernikahan dini. Namun, tidak hanya itu, pernikahan dini juga kerap dilakukan untuk menghindari dosa hingga terbuai dengan iming-iming indahnya hidup berkeluarga.
Faktor emosional yang lebih banyak mendominasi keputusan menjalin bahtera rumah tangga bukannya jarang mengakibatkan timbulnya risiko dalam kehidupan pascapernikahan sendiri. Dengan mempertimbangkan hanya kesiapan hati, banyak hal-hal yang kurang direncanakan dengan matang dan dewasa oleh pasangan pengantin, misalnya faktor finansial. Pertikaian lebih sering terjadi karena pasangan belum mampu melakukan pengelolaan emosi dan keuangan bersama dengan baik sehingga tak heran jika situasi terburuk berupa perceraian harus terjadi.
Problematik Sosial Keluarga
Ketika sepasang manusia memasuki arena bahtera rumah tangga, berbagai permasalahan juga bermunculan. Sebagai unit terkecil dalam masyarakat, setiap anggota keluarga idealnya memiliki hubungan baik sehingga mampu membangun kerja sama yang mumpuni dalam mencapai tujuan tertentu. Namun, dalam realitanya, yang ideal tidak selalu terjamah.
Terdapat beberapa isu terkait unit dalam masyarakat ini yang memungkinkan menjadi kendala dalam pengelolaan fondasi keluarga. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan perceraian, misalnya, hanya sedikit di antaranya. Bahkan, permasalahan ini memiliki kecenderungan tinggi untuk terjadi dalam masyarakat.
Selain persoalan KDRT dan perceraian, salah satu fenomena yang saat ini banyak terjadi di kalangan masyarakat adalah perilaku poligami. Meski bukan hal yang baru—karena kepemilikan istri lebih dari satu telah dikenal sejak zaman sebelum Islam di berbagai peradaban dan kepercayaan—di Indonesia kini poligami banyak dikenal dengan merujuk kepada ajaran agama Islam.
Hal ini tidak dapat dimungkiri karena kini Islam-lah yang diketahui oleh masyarakat Indonesia memberikan ruang kepada lelaki untuk memilki istri lebih dari satu. Celakanya, hal inilah (perizinan dalam Islam) yang kemudian sering kali dipergunakan oleh banyak pihak sebagai legitimasi memiliki istri lebih dari satu. Tanpa memiliki pemahaman yang utuh atas pemahaman ayat Alquran dan hadis terkait dengan poligami, mereka yang berpoligami merasa benar hanya dengan kutipan dari satu atau dua ayat.
Permasalahan sosial dalam pernikahan dan keluarga adalah perkawinan campur antaragama. Hal ini muncul sebagai salah satu permasalahan karena, dalam hukum perkawinan yang berlaku, perkawinan beda agama tidak dibenarkan. Hal ini sesuai dengan Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyebutkan bahwa perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing. Adanya aturan ini tentunya menimbulkan konsekuensi sebab kenyataan di masyarakat menunjukkan bahwa tidak sedikit terjadi perkawinan beda agama.
Terkait keberadaan keluarga, perceraian merupakan momok terbesar. Menilik sebagian besar pandangan yang berlaku di masyarakat, terjadinya perceraian juga dapat diartikan sebagai sebuah kegagalan dalam menjalankan kehidupan berkeluarga.
Merujuk infografik tersebut, terjadi tren peningkatan angka perceraian. Peningkatan angka perceraian ini di satu sisi cukup menyedihkan karena banyaknya dampak negatif yang ditimbulkan akibat perceraian, terutama bagi yang telah memiliki anak. Namun, pada saat yang bersamaan, perceraian juga menjadi jalan keluar terbaik dalam menyelesaikan berbagai persoalan keluarga apalagi terjadi kekerasan (KDRT), baik fisik maupun verbal, entah kepada laki-laki atau perempuan.
Merujuk data Komnas Perempuan, selama 2018, kasus KDRT terbanyak terjadi kepada perempuan, khususnya ranah personal. Kasus KDRT/RP tercatat terjadi sebanyak 9.637 kasus atau 71% dari total kasus KDRT. Kasus KDRT lainnya, Komnas Perempuan menemukan bahwa kasus kekerasan terhadap istri (KTI) menempati peringkat pertama 5.114 kasus (53%), disusul kekerasan dalam pacaran 2.073 kasus (21%), kekerasan terhadap anak perempuan 1.417 kasus (14%), dan sisanya kekerasan mantan suami, kekerasan mantan pacar, serta kekerasan terhadap pekerja rumah tangga.
Yang memprihatinkan adalah angka kekerasan terhadap anak perempuan beberapa tahun terakhir selalu menjadi kasus terbesar ketiga. Beberapa bentuk KDRT terhadap anak perempuan pada 2018 tercatat adalah dalam bentuk kekerasan seksual dan inses. Kasus inses pada 2018 mencapai 1.017 kasus, dengan pelaku ayah kandung sebesar 425 orang. Bentuk kekerasan lainnya adalah marital rape yang mencapai 192 kasus.
Peran Keluarga Dalam Diri Individu
Adanya berbagai isu yang menjadi problema dalam sebuah keluarga menyadarkan kita pentingnya membangun dan mengelola unit terkecil dalam masyarakat ini secara bijak dan penuh persiapan. Hal ini dikarenakan nantinya sebuah keluarga diharapkan menjadi penopang dan tempat bersandarnya, serta sumber kebahagiaan para anggotanya. Jangan sampai justru keluarga lah yang menjadi beban dan dan melahirkan situasi tidak nyaman di hati individu di dalamnya.
Oleh karena itu, peran keluarga menjadi sangat penting, bahkan ketika individu masih menginjak usia muda. Pola pengasuhan (parenting) yang baik dari orang tua akan membantu melahirkan individu yang ideal dan mampu berpacu dengan norma yang ada di masyarakat. Pengasuhan keluarga akan membantu memberikan dasar pembentukan tingkah laku watak, moral, serta pendidikan individu ketika masih kecil (Setiawan, 2014).
Tentunya sistem pengasuhan itu tidak dapat dilakukan secara terputus karena perkembangan anak hingga dewasa merupakan rentang hidup yang saling terkait satu sama lain. Di sinilah kemampuan dan tanggung jawab orang tua diuji karena harus memelihara sang buah hati sejak dilahirkan hingga mencapai usia dewasa dan mandiri.
Penentuan konsep parenting kerap menjadi isu dalam keluarga. Bagaimana tidak, umumnya pengetahuan terkait pola pengasuhan anak didapatkan dari praktik yang dilakukan orang tua individu masing-masing. Sementara itu, sepasang suami istri yang bertugas melakukan pola pengasuhan berasal dari dua keluarga yang berbeda sehingga memerlukan kompromi yang baik dalam menyepakati pola pengasuhan paling ideal. Setidaknya, dengan semakin berkembangnya teknologi, informasi mengenai pola pengasuhan anak yang baik semakin mudah didapatkan oleh setiap orangtua yang masih terhitung baru dan minim pengalaman. Beberapa ahli pun membuat berbagai pola tersebut semakin terpercaya karena validitasnya.
Dalam pola pengasuhan anak, nilai dan norma dalam masyarakat tentunya menjadi hal yang tak luput sebagai bekal orangtua terhadap sang buah hati. Sedapat mungkin kedua orang tua akan membimbing anaknya kepada tingkah dan laku yang sesuai dengan hal-hal yang dapat diterima secara agama maupun sosial. Namun, tidak dimungkiri juga, kerap pula terjadi kondisi ketika sang anak atau anggota keluarga tertentu merasakan atau melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai tersebut.
Mulai terbukanya kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) menunjukkan diri menjadi salah satu isu terkait. Sebagai perilaku yang dianggap menyimpang atas dasar norma agama dan sosial, hal yang dilakukan oleh kelompok ini tidak dapat diterima oleh kebanyakan masyarakat. Tidak sedikit keluarga yang merasakan kehadiran kelompok ini sebagai virus dan harus ditangkal dan dijauhkan dalam masa perkembangan anak maupun anggota keluarga lainnya.
Penyampaian pengetahuan kepada anak tentang isu LGBT menjadi peran keluarga yang bersangkutan. Kesadaran orang tua dinilai sangat penting untuk mengambil keputusan dalam bersikap terhadap isu ini, termasuk ketika salah satu anggota keluarga secara sadar memang telah coming out. Nyatanya, memang setiap keluarga mungkin menunjukkan sikap yang berbeda dalam meresponsnya.
Setidaknya hal itulah yang berhasil ditunjukkan Yuri Dwi Yudhistira (2016) dalam penelitian skripsi yang dilakukannya. Yuri berhasil menangkap perbedaan beberapa keluarga, terutama orang tua dalam menyikapi anaknya yang mengungkapkan orientasi seksual yang bertentangan dengan norma masyarakat. Ada yang serta merta mengusir, ada yang menerima dengan syarat harus berubah perlahan, ada juga yang menerima tanpa syarat. Pada akhirnya, peran keluarga akan sangat memengaruhi tindakan individu menanggapi isu sensitif ini.
Selain LGBT, isu yang juga mengandalkan peran orang tua untuk menanganinya adalah terkait aborsi. Pasalnya, dalam RKUHP yang belum lama ini menjadi perbincangan, beberapa pasal membuat orang yang melakukan aksi ini terancam pidana. Meski dinilai bertentangan dengan Undang-Undnag Kesehatan, RKUHP dinilai tidak berpihak kepada mereka yang merupakan korban perkosaan.
Hukum di Indonesia mengenai tidak jelasnya legal atau tidaknya aborsi menjadi permasalahan. Namun, justru di tengah ketakpastian tersebut, peran setiap keluarga diperlukan. Adalah peran keluarga untuk membimbing anggotanya untuk berupaya menjauhi tindakan yang akan berdampak kehamilan yang tidak diinginkan, yang selanjutnya berpotensi memunculkan keinginan aborsi.
Kebutuhan Dasar
Aspek lain dalam kehidupan rumah tangga atau keluarga adalah pemenuhan kebutuhan ekonomi. Hal ini menjadi penting karena pemenuhan kebutuhan dasar tersebut seringkali menjadi persoalan yang menjadi penyebab munculnya berbagai masalah.
Dalam beberapa keluarga, pemenuhan kebutuhan ekonomi sering kali masih dibebankan kepada seseorang (umumnya telah berusia paruh baya) yang menjadi tulang punggung keluarga. Sebagai tulang punggung keluarga, ia ternyata tidak hanya bertugas memenuhi kebutuhan anak istrinya, tetapi juga memberi nafkah kepada orang tua, adiknya, atau anggota keluarga lainnnya dalam waktu yang bersamaan. Pemenuhan kebutuhan yang cukup besar ini sering kali terjadi akibat kondisi keluarga tersebut yang relatif tergolong keluarga tidak mampu.
Masih banyaknya generasi terjepit (sandwich generation) ini di satu sisi menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan dasar di masyarakat masih menjadi persolan utama. Ketakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar oleh anggota keluarga lainnya tidak dapat sepenuhnya dipandang sebagai kepatuhan seorang anak kepada orang tua atau keluarga besarnya. Keterpaksaan untuk memenuhi kebutuhan keluarga besar ini pada dasarnya merupakan salah satu indikator tingkat kesejahteraan keluarga di masyarakat yang nyata.
Keluarga Sakinah?
Sebagai satuan masyarakat terkecil, kualitas keluarga pada akhirnya akan menjadi penentu masa depan masyarakat. Berbagai persoalan yang dihadapi setiap keluarga di tengah masyarakat pada akhirnya memang harus dikembalikan kepada kemampuan keluarga-keluarga tersebut untuk menyelesaikan masalah. Negara atau pemerintah di satu sisi secara tidak langsung memang tidak dapat dipisahkan dari peningkatan kualitas keluarga Indonesia secara keseluruhan. Namun, pada saat yang bersamaan, negara harus tetap menghargai dan menghormati hak privasi setiap keluarga untuk dapat mengatur dirinya sendiri, selama tidak mengganggu kepentingan umum secara luas. []
__________________
Penulis Nugroho Pratomo & Novelia, Peneliti Visi Teliti Saksama