April 26, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Menunggu Kepastian Hukum Perlindungan Pekerja Rumah Tangga

3 min read

JAKARTA – Komnas Perempuan menegaskan, tidak ada ruginya bagi DPR dan pemerintah segera mengakui dan melindungi pekerja rumah tangga (PRT) dengan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT). Pasalnya, kata Anggota Komnas Perempuan, Theresia Iswarini, di dalam RUU PRT telah diatur kepastian hukum, serta perlindungan terhadap kedua belah pihak, yaitu pemberi kerja maupun PRT.

“Sudah terlalu lama RUU PRT antre di DPR. Berulang kali terdaftar sebagai Prolegnas DPR sejak periode 2004–2009 hingga kemudian masuk RUU Prioritas Prolegnas 2020. Saatnya DPR RI menunjukkan keberpihakannya kepada kelompok miskin, marginal dan rentan,” urai Iswarini dalam konferensi pers secara virtual, Senin (15/02/2021).

Menurut dia, Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan (2020) melaporkan adanya 17 kasus PRT sepanjang tahun 2019. Pengaduan itu diterima oleh Komnas Perempuan secara langsung.

Kemudian, kasus PRT yang dilaporkan dan ditangani oleh Women Crisis Centre (WCC) serta lembaga swadaya masyarakat (LSM) ada sebanyak 17 kasus dan dua kasus PRT dilaporkan ditangani oleh pengadilan negeri.

Sementara itu, juga tercatat oleh Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT). Dalam kurun waktu 2015 hingga 2019, setidaknya terdapat 2.148 kasus yang dialami PRT dengan beragam bentuk. Antara lain kekerasan fisik, psikis, dan kekerasan ekonomi.

“Kerentanan yang dialami PRT ini semakin memburuk saat pandemi covid-19. Temuan dalam Kajian Komnas Perempuan tentang Dampak Kebijakan Penanganan covid-19 (2020) menunjukkan bahwa PRT yang bekerja dan tinggal di rumah majikan rentan terpapar virus,” ungkap dia.

Oleh karenanya, ia menegaskan bahwa Komnas Perempuan mendorong agar DPR segera membahas dan mengesahkan RUU tersebut. Mengingat, kehadiran UU PRT merupakan bagian dari wujud tanggung jawab negara.

Kata dia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28I (4) menyatakan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.

“Pada masa pandemi, perlindungan PRT mendesak untuk segera diwujudkan guna mengurangi kerentanan dan segala bentuk kekerasan, penyiksaan dan perdagangan manusia,” jelasnya.

Sementara itu, Wakil Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin juga menegaskan, RUU PRT perlu segera disahkan lantaran kerja domestik didominasi jumlahnya oleh perempuan.

Kondisi itu, kata dia, tentu membuat perempuan mengalami kerentanan luar biasa dan berlapis, karena dari sisi jaminan perlindungan normatif saja tidak ada.

“Sehingga dia rentan akan eksploitasi, kekerasan fisik, penganiayaan psikis dan seksual, bahkan ekonomi sosial. Berapa banyak kerentanan yang mereka alami karena tidak adanya keadilan tersebut,” pungkas dia.

Pada Hari Pekerja Rumah Tangga (PRT) Nasional yang diperingati setiap 15 Februari ini menjadi momentum bagi DPR untuk tidak lagi mengabaikan RUU tersebut. Mengingat, RUU PRT adalah tertua yang masuk dalam daftar Prolegnas sejak 2004.

“Jadi banyak pihak selalu curiga barangkali ini tidak pertimbangkan aspek-aspek pemberi kerja, padahal tidak seperti itu,” kata dia.

Hari PRT Nasional diperingati setiap 15 Februari. Momentum ini lahir sejak tahun 2007, sebagai hasil refleksi atas peristiwa penyiksaan dan kekerasan terhadap PRT Anak berusia 14 tahun bernama Sunarsih. Ia merupakan korban perdagangan orang yang dipaksa bekerja di Surabaya, Jawa Timur.

Semasa bekerja, Sunarsih mengalami penyiksaan, perlakuan tidak manusiawi dari majikannya dan tidak menikmati hak-haknya sebagai pekerja dan anak. Hak-hak tersebut antara lain tidak diberi upah, jam kerja yang lebih dari 18 jam, diberi makan yang tidak layak, tidak mendapat akses untuk keluar rumah karena dikunci, tidak bisa berkomunikasi dan bersosialisasi dan tidur di lantai jemuran.

Akibat seluruh perlakuan tersebut, Sunarsih meninggal dunia pada 12 Februari 2001. []

Advertisement
Advertisement