Menyusul Amerika dan Jepang, Resesi Seks Terjadi di Korea Selatan
HONG KONG – Beberapa waktu lalu isu mengenai menurunnya gairah seks alias ‘resesi’ seks di kalangan remaja muda (milenial) di Amerika Serikat (AS) dan Jepang ramai menjadi perbincangan.
Ini dikarenakan resesi seks di kalangan milenial bisa membawa dampak besar pada ekonomi suatu negara, seperti yang diungkapkan analis politik dan ekonomi Jake Novak dalam penelitiannya yang dimuat CNBC International.
Dalam analisisnya, Jake mengatakan resesi seks dan menurunnya pernikahan mengindikasikan bahwa kaum milenial juga akan menunda aspek-aspek kedewasaan lainnya seperti membeli rumah atau mobil, yang mana akan menyumbang perlambatan ekonomi.
Dalam ekonomi, resesi berarti kontraksi pertumbuhan ekonomi dalam dua kuartal beruntun.
Namun ternyata, resesi seks kini tidak hanya melanda AS dan Jepang. Menurut laporan AFP, kasus ini mulai terjadi di negeri K-Pop alias Korea Selatan.
Di Korea Selatan bahkan sudah ada persatuan wanita yang menolak norma patriarkal yang kaku dan bersumpah untuk tidak menikah, punya anak atau bahkan berkencan dan berhubungan seks.
Kelompok feminis radikal nasional itu bernama ‘4B’ atau ‘Four Nos’, yang merupakan kepanjangan dari ‘no dating, no sex, no marriage, and no child-rearing’, yang artinya adalah tidak berkencan, tidak melakukan seks, tidak menikah, dan tidak mengasuh anak.
Salah satu wanita yang bergabung dalam kelompok itu adalah Bonnie Lee, seorang profesional berusia 40-an yang hanya tinggal bersama anjingnya di dekat Seoul.
“Aku wanita normal (straight) yang tidak lagi tertarik menjalin hubungan dengan pria.” Kata Lee, sebagaimana dilaporkan AFP.
“Saya selalu merasa bahwa sebagai seorang wanita ada lebih banyak kerugian daripada keuntungan dari menikah, tambah Lee.
Lee yang memiliki dua gelar master juga mengatakan bahwa menikah bisa membuat gelar pendidikan dan karir menjadi tidak ada artinya. Sebab, yang diharapkan dalam pernikahan adalah seorang wanita harus bisa mengerjakan pekerjaan rumah, membesarkan anak-anak, dan merawat mertua yang menua.
“Di pasar pernikahan, kehidupan dan pengalaman kerja Anda sebelumnya tidak penting,” kata Lee.
“Untuk alasan yang konyol, menjadi wanita berpendidikan tinggi juga menjadi poin minus. Yang paling penting sebagai calon istri adalah apakah Anda mampu merawat suami dan mertua Anda,” tambahnya.
Menurut laporan, satu dekade lalu, hampir 47% wanita Korea yang lajang dan belum menikah mengatakan bahwa mereka menganggap pernikahan itu perlu. Namun tahun lalu, jumlahnya turun menjadi 22,4%. Sementara itu, jumlah pasangan yang menikah merosot menjadi 257.600 pasangan saja, turun dari 434.900 pernikahan pada tahun 1996.
Akibat hal ini, Korea Selatan terancam menghadapi bencana demografis yang membumbung tinggi.
Saat ini, tingkat kesuburan total di Korea Selatan turun menjadi 0,98 pada tahun 2018. Persentase ini jauh di bawah 2,1% yang dibutuhkan untuk menjaga populasi tetap stabil.
Tingkat kesuburan merupakan jumlah anak yang seharusnya dimiliki seorang wanita dalam hidupnya.
Pemerintah memperkirakan populasi Korsel yang saat ini di angka 55 juta, akan turun menjadi 39 juta pada tahun 2067. Pada tahun itu, setengah dari populasi negara tersebut akan berusia 62 atau lebih.
Untuk mencegah bencana demografis ini, pemerintah Korea Selatan sebenarnya telah melakukan berbagai cara untuk mencegahnya. Di antaranya adalah menarik remaja agar mau menikah dengan cara menawarkan tunjangan perumahan dan hipotek berbunga rendah bagi pengantin baru. []