December 23, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Mereka yang Setia Mengabdi Untuk Alam Semesta

8 min read

JAKARTA – “Gunung tak boleh dilebur. Lembah tak boleh dirusak. Larangan tak boleh diubah. Panjang tak boleh dipotong. Pendek tak boleh disambung. Yang bukan harus ditolak. Yang jangan harus dilarang. Yang benar harus dibenarkan.”

Pesan-pesan dalam larik di atas menjadi pegangan masyarakat adat Baduy di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Petuah itu tak tertulis. Namun, pesan berantai lintas generasi itu dihafal semua warga. Dan hingga kini, tetap menjadi pegangan ‘Urang Kanekes’ atau warga Kanekes dalam berhadapan dengan alam.

Mereka meyakini, mengabaikan pesan itu, sama dengan merusak alam. Artinya, seakan mereka sendiri yang mengundang bencana. Maka, mereka harus hidup sesuai dengan apa yang diberi alam. Tak perlu menambah atau mengurangi segala yang ada.

Keyakinan atas ajaran tersebut diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Baduy. Misalnya dalam pembuatan rumah, mereka tidak memodifikasi permukaan tanah agar rata atau datar.

Jika tanah itu miring, bukan tanah yang diubah. Pondasi dan tianglah yang harus menyesuaikan. Bagian yang tinggi diberi tiang lebih pendek, bagian yang rendah diberi tiang yang lebih panjang. Hasilnya, rumah yang didirikan tetap bisa tegak mendatar.

Dalam aspek lainnya, masyarakat Baduy tak menebang pohon hutan, kecuali yang ada di wilayah hutan budidaya. Dari wilayah seluas 5.101 hektare yang dimiliki Baduy, separuhnya dimanfaatkan sebagai kawasan tempat tinggal dan hutan kelola atau produksi. Sisanya, dijadikan hutan adat yang sama sekali tak boleh ‘disentuh’ kekayaannya.

“Jadi kami, baik Baduy Dalam maupun Baduy Luar, tinggal dan mengolah ladang di wilayah hutan budidaya. Yang hutan adat itu dijaga, tidak boleh ditebang pohonnya,” ucap Amir, warga Baduy, Rabu (17/03/2021).

Amir bertutur, kehidupan masyarakat Baduy sangat lekat dengan alam. Meski demikian, komunitas yang mengaku turun dari trah Nabi Adam ini tak pernah menyembah pohon atau menganggap hutan sebagai Tuhan-nya. Di sini, hutan dipandang secara logis sebagai sesuatu yang harus dijaga demi kelanjutan kehidupan bersama.

Maka dari itu, tak boleh ada anggota masyarakat yang meninggalkan alam di Baduy. Setiap keluarga harus memiliki lahan dan mengolahnya. Mereka menanam padi, jagung, palawija serta beragam produk pangan lainnya.

“Meski di Baduy luar banyak juga yang membuat kerajinan, membuka warung, tapi tetap saja yang utama mereka sebagai petani. Setiap keluarga harus mempunyai lahan,” kata Amir.

Hari ini, Baduy adalah masyarakat yang relatif terbuka dan terhubung dengan kehidupan di luar desa. Banyak anak-anak muda yang berinteraksi dengan dunia luar lewat gawai, menjual produk-produk kerajinan atau hasil alam Baduy. Namun, perkembangan itu tak membuat mereka tercerabut dari akar tradisi.

Bahkan, banyak pula yang berladang sampai ke luar desa. Fenomena ini agaknya dampak dari ketersediaan lahan yang dari waktu ke waktu semakin terbatas. Tak cukup mengimbangi perkembangan jumlah penduduk.

Mereka yang berladang di luar desa, tetap teguh memegang adat. Ritual-ritual musim tanam atau panen seperti di Desa Kanekes, harus dijalankan. Serta terus berpegang pada pertanian tanpa pupuk anorganik.

 

Berjuang Tolak Eksploitasi Hutan

Jika masyarakat Baduy berjuang untuk tetap melanggengkan kehidupan yang menyatu alam, berbeda dengan masyarakat Adat Sungai Utik di Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Mereka punya sejarah perjuangan yang panjang dalam mempertahankan alam.

Masyarakat Dayak Iban Menua Sungai Utik baru bisa bernapas lega, saat kawasan hutan adat mereka diakui oleh negara. Kawasan seluas 9.480 hektare itu diakui secara hukum lewat keputusan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pada pertengahan tahun 2020 lalu.

Hampir setengah abad, sejak tahun 1970-an, masyarakat Sungai Utik hidup dalam ketegangan. Mereka terus berhadapan dengan arus investasi. Berbagai pihak terus berdatangan, ingin membeli hutan di sana. Pada saat sama, praktik pencurian kayu hutan kian merambah. Sedikit demi sedikit kawasan hutan masyarakat Sungai Utik, terbabat. Ancaman-ancaman tersebut membuat masyarakat adat ini harus bekerja ekstra keras.

Masyarakat harus lebih sering berpatroli, menyusuri hutan guna memastikan tak ada pencurian yang dilakukan baik oleh perusahaan ilegal, maupun masyarakat dari desa lain sekitar wilayah tersebut.

“Zaman Orde Baru dulu sempat ada konsesi HPH. Namun orang-orang tua kita menolak keras kehadiran perusahaan-perusahaan di wilayah mereka. Sehingga akhirnya tidak terjadi investasi perusahaan,” ungkap Tomo, warga masyarakat Sungai Utik yang juga merupakan anggota AMAN.

Bagi mereka, alam memiliki kesakralan tersendiri. Selain sebagai sumber kehidupan, sekaligus menjadi simbol yang disucikan dan dihormati. Hal itulah yang membuat masyarakat Sungai Utik selalu teguh menjaga kawasan hutan dari ancaman investasi.

Perjuangan melawan desakan eksploitasi terjadi dari generasi ke generasi. Beruntung mereka, semua punya konsistensi mengelola hutan secara mandiri. Berkat sikap itu, mereka diganjar penghargaan Equator Prize serta penghargaan Kalpataru pada 2019.

“Masyarakat di sini menganggap tanah seperti mamak, hutan sebagai bapak, dan air adalah darah. Filosofi seperti itulah yang mengikat erat masyarakat dengan tanah dan hutan,” ucap Tomo.

Mereka juga memiliki tata kelola tersendiri, mirip yang dilakukan masyarakat Baduy, yaitu membagi zona kawasan. Ada zona khusus lahan garapan, ada pula zona hutan konservasi yang dilindungi.

Hutan lindungan menjadi penyangga alam yang tak boleh disentuh “tangan-tangan jahil”. Sementara, lahan pengelolaan untuk pertanian masyarakat, dimanfaatkan secara bijaksana dan tak berlebihan.

“Tahun 2021 ini kita membuat perencanaan yang lebih terkonsep, lebih terstruktur tentang pemanfaatan hutan adat ini,” terangnya.

 

Konservasi Berbasis Komunitas

Konsep pengelolaan alam dengan mengedepankan kearifan juga dilakukan oleh masyarakat Suku Moi Kelim, yang menetap di sejumlah kampung di Distrik Makbon, Kabupaten Sorong, Papua Barat.

Lewat konsep ‘Egek’ atau umum dikenal dengan Sasi, mereka melakukan konservasi wilayah. Masyarakat yang menempati wilayah pesisir dan hutan ini, mengatur batas-batas dan membuat aturan dalam memanfaatkan sumber daya alam. Nilai-nilai ini dijaga turun-temurun. Tujuannya tidak lain untuk menjaga keberlanjutan ekosistem serta hasil sumber daya alam di penjuru kawasan adat tersebut.

Secara ekologi, ‘Egek’ bertujuan untuk menjaga ketersediaan sumber daya alam baik di laut maupun di darat. Upaya ini ditransformasikan ke dalam adat, sebagai ajaran leluhur yang nilainya sakral, dijalani dan dijunjung tinggi.

Di laut,  beleid adat ini mengatur pengambilan Lobster, Teripang, Ikan Duyung dan Lola, serta larangan penggunaan alat tangkap jaring pukat, Pottassium dan Bom. Egek hanya mengizinkan masyarakat untuk menangkap ikan secara manual, dengan memancing atau menyelam menggunakan alat tangkap tradisional.

Sementara untuk wilayah hutan, aturan sama menjadi upaya konservasi melalui pemetaan potensi, zonasi hutan berdasarkan fungsinya, serta pelarangan eksploitasi sungai hasil hutan tertentu hutan. Masyarakat Moi Kelim di Desa Malaumkarta pada umumnya tidak menebang pohon, melainkan hanya memanfaatkan hasil tanaman atau buah-buahan yang ada di hutan.

Egek sebagai konsep konservasi komunitas selalu disusun secara bersama-sama oleh para pemuka adat setempat. Biasanya, penetapan kawasan terlindung hukum adat ini beserta muatan aturannya selalu diperbarui setiap dua sampai tiga tahun sekali.

Menurut Torianus Kalami, Ketua Harian Perkumpulan Pemuda Generasi Malaumkarta (PGM), pengetahuan tentang konservasi sudah diajarkan kepada anak-anak Moi Kelim sejak kecil. Mereka biasanya belajar berkelompok di hutan-hutan, diajarkan oleh guru yang biasa disebut untalan dan tulkama. Karena itu, sampai dewasa pun, mereka tak pernah melupakan tata aturan dalam mengambil hasil alam.

“Masyarakat Adat Suku Moi memandang sasi sebagai bagian dari kehidupan mereka. Bila melanggar, mereka dianggap menghancurkan hidup orang lain, karena di dalam alam tersebut terdapat kebutuhan untuk marga,” terang Tori.

Bicara marga, masyarakat Moi Kelim memang memegang sistem sosial dan struktur keorganiasasian yang bermarga-marga. Marga biasanya terdiri dari sebuah keluarga besar.

Saat ini, ada 14 marga pemilik hak tanah adat Suku Moi Kelim yang sudah ditetapkan pemerintah, melalui Peraturan Bupati serta Peraturan Gubernur tahun 2017 dan 2020. Marga tersebut tersebar di lima kampung, yaitu Malaumkarta, Mibi, Suatolo, Suatut dan Malagufuk. Namun secara keseluruhan, masyarakat Suku Moi Kelim tersebar di Kabupaten Sorong, Kota Sorong, Kabupaten Raja Ampat, serta Kabupaten Tambrauw.

 

Ancaman Masa Depan

Hidup berdampingan dengan alam, bukan berarti bebas dari ancaman masalah. Contohnya dihadapi oleh masyarakat Suku Baduy. Jumlah Masyarakat Adat Baduy hari ini berkisar 12 ribu jiwa. Setidaknya itu yang tercatat dalam data kependudukan. Mereka menempati 65 kampung yang terbagi dalam dua teritorial, yaitu Dalam dan Luar.

Berkembangnya jumlah warga memunculkan kekhawatiran baru  akan berpengaruh terhadap kawasan hutan yang tersedia. Pemerhati Baduy, Uday Suhada mengungkapkannya. Kata Uday, pertumbuhan jumlah penduduk harus diantisipasi. Jika tidak, bisa saja mengacaukan sistem tradisional masyarakat.

“Jumlah mereka terus bertambah. Sementara, hutannya tetap segitu saja. Ini tentu perlu diperhatikan, khususnya Pemerintah Lebak dan Banten. Kita sih mengusulkan agar ada penambahan kawasan baru bagi Masyarakat Adat Baduy,” ungkapnya.

Keterbatasan lahan di wilayah Adat Baduy memang tidak mengada-ada. Seperti tampak dari penjelasan Amir, warga asli Baduy, mulai banyak masyarakat Baduy kini mengelola lahan di luar desa mereka. Namun, menurut Amir, kekhawatiran itu tidak perlu dibesar-besarkan. Karena mereka sendiri merasa masih bisa hidup secara adat. Meskipun meladang di desa tetangga.

Yang jelas, ada satu kekhawatiran sama di benak masyarakat adat di Nusantara, yakni pembalakan liar. Hal ini juga terjadi di Baduy, Sungai Utik maupun Moi Kelim. Hutan-hutan mereka masih terancam, meski bukan karena investasi korporasi, tapi karena pembalakan liar oleh masyarakat sekitar wilayah hutan adat.

Pun, arus teknologi yang kini telah mengalir deras ke rumah-rumah masyarakat adat, lebur dalam kehidupan tradisional sehari-hari mereka. Ada yang berpandangan itu mengancam eksistensi kehidupan tradisional. Namun, ada pula yang malah memanfaatkan teknologi sebagai bagian dari upaya pemajuan komunitas.

Lebih jauh lagi, nasib tragis juga menerpa beberapa komunitas masyarakat adat di Nusantara. Orang Rimba, Sakai, Muara Tae, dan masyarakat adat lainnya tak seberuntung Baduy, dan Moi Kelim.

 

Terancam Punah

Menurut Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi, Orang Rimba dan Suku Anak Dalam di Jambi sedang dalam posisi “terancam”.

Kelompok masyarakat yang hidup di kawasan hutan Taman Nasional ini, sekarang justru tak punya kawasan hutan sendiri. Tempat mereka semakin tergusur oleh industrialisasi.

“Orang Rimba di Jambi itu termasuk salah satu yang kami kategorikan terancam. Dia kan hidupnya tergantung dari alam, kampungnya itu hutan-hutannya itu dihabisi,” ungkap Rukka kepada Validnews.

Karena ketiadaan hutan itulah kehidupan mereka jadi tergolong kritis, baik dari segi kesehatan maupun pangan. Sebab hutan sebagai sumber kehidupan mereka telah habis. Beberapa tahun lalu, banyak kasus kematian karena keracunan air minum. Musababnya, menurut Rukka, sungai sudah tercemar limbah perusahaan.

Mirisnya lagi, pada masa pandemi, Orang Rimba terancam kelaparan karena semakin menipisnya sumber pangan. Tahun lalu, AMAN terlibat menyuplai logistik untuk masyarakat Orang Rimba yang kehabisan sumber pangan.

Nasib Orang Rimba ataupun Suku Anak Dalam sangat berbeda dengan masyarakat Sungai Utik di Kalimantan. Orang Rimba tak punya hutan sendiri, seperti masyarakat adat di Kalimantan itu. Selain itu, Orang Rimba juga hidup secara berpindah-pindah, dan cenderung menghindar dari konfrontasi.

Baik Orang Rimba maupun Suku Anak Dalam adalah sebutan untuk kelompok-kelompok masyarakat adat yang menempati kawasan hutan sekitar Taman Nasional Bukit Dua Belas.

Mengutip survei Walhi tahun 2017, jumlah mereka mencapai 2.430 jiwa. Namun berdasarkan survei tahun 2013, ada pula sekitar 474 jiwa yang berada di sekitar Taman Nasional Bukit Tiga Puluh, dan 1.373 jiwa berada di kawasan perkebunan sawit di sepanjang lintas Sumatra sampai perbatasan Sumatra Selatan.

Selain Orang Rimba, masih ada sederet daftar masyarakat adat yang kehidupannya kini terancam. Orang Sakai, Suku Talang Mamak di Riau, dan Masyarakat Adat Muara Tae di Kalimantan Timur juga terancam karena hidupnya bergantung pada hutan. Mereka berhadapan dengan tangan-tangan kekuasaan. []

Penulis Andesta Herli, Peneliti Visi Tama

Advertisement
Advertisement