December 22, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Meski Telah Berlangsung Selama Tiga Bulan, Pemimpin Hong Kong Tetap Enggan Kabulkan Tuntutan Demonstran

2 min read

HONG KONG – Pemimpin Hong Kong, Carrie Lam, menyatakan telah bertemu dengan kelompok pemuda terkait unjuk rasa pro-demokrasi pada Selasa (27/08/2019). Namun, dia menyatakan tetap tidak akan memenuhi tuntutan di dalam demonstrasi tersebut.

“Ini bukan pertanyaan tentang tidak adanya tanggapan, melainkan ini adalah pertanyaan tentang tidak menyetujui tuntutan tersebut,” ujarnya seperti dikutip Associated Press.

Dalam rapat tertutup yang diadakan Senin (26/08/2019) kemarin, Lam menyatakan posisi pemerintah tetap tidak akan menanggapi tuntutan demonstran.

Lam juga membantah sejumlah tuduhan yang menyatakan pemerintahannya mengabaikan para demonstran. Di antaranya pencabutan RUU Ekstradisi, penyelidikan independen terhadap dugaan kekerasan yang berlebihan oleh kepolisian dalam mengatasi unjuk rasa, dan pemilihan umum yang demokratis.

Sebelumnya pada Selasa (20/08/2019) pekan lalu, Lam mengumumkan lokasi dialog untuk mencari jalan keluar krisis politik di Hong Kong, yang akan mengikutsertakan para demonstran. Namun, kelompok oposisi mempertanyakan inisiatifnya yang dianggap sebagai taktik untuk mengulur waktu.

Tidak diketahui siapa saja yang menghadiri rapat yang didampingi oleh Kementerian Pendidikan dan Kementerian Dalam Negeri pada Senin kemarin. Namun, berdasarkan wawancara yang dilakukan South China Morning Post, kurang lebih 20 orang berusia sekitar 20 sampai 30 tahunan ikut di dalam pertemuan tersebut.

Lam kemudian menambahkan bahwa pemerintah telah menunda RUU Ekstradisi meski para demonstran meminta pencabutan undang-undang tersebut. Hal itu tidak dapat disetujui pemerintah karena tekanan yang diberikan sebagian demonstran dianggap beringas dan mengarah kepada kekerasan dengan menyerang polisi.

“Jika protes masih berlanjut, satu-satunya hal yang bisa kami lakukan ialah mencegah kekerasan tersebut melalui tindakan penegakan hukum,” tegasnya.

Lam juga mengabaikan desakan supaya mundur. Dia beralasan harus melanjutkan pemerintahan dan mengupayakan jalan terbaik untuk memulihkan hukum dan aturan di Hong Kong.

Hong Kong telah mengalami berbagai unjuk rasa yang dipimpin kelompok muda selama dua bulan berturut-turut yang selalu berakhir ricuh dengan kepolisian. Pergolakan tahun ini dipicu pembahasan Rancangan Undang-Undang Ekstradisi.

RUU Ekstradisi memungkinkan pemerintah China memulangkan dan membawa pelaku kejahatan untuk diadili di kawasan daratan. Namun, kelompok pro demokrasi Hong Kong khawatir hal itu bakal dipakai untuk menjerat dan membungkam para aktivis setempat.

Lebih dari 80 orang ditangkap pekan lalu setelah para demonstran memenuhi jalanan kota dengan membangun barikade di sepanjang jalan, dan melemparkan batu bata serta bom Molotov untuk menghalangi polisi.

Para pemimpin negara G7 mendesak supaya menghindari kekerasan di Hong Kong, serta menekankan untuk menghormati perjanjian Inggris-China pada tahun 1984 yang memberikan otonomi tingkat tinggi dalam urusan wilayahnya.

Hong Kong yang sebelumnya menjadi koloni Inggris kemudian dikembalikan kepada China pada 1997. Namun, masyarakat Hong Kong menyatakan bahwa janji kebebasan berpendapat dan demokrasi yang diberikan kepada mereka dihalangi China.

“Kami mengekspresikan secara kolektif keprihatinan mendalam terhadap apa yang terjadi di Hong Kong. Kami akan tetap berkomitmen secara penuh terhadap susunan ‘satu negara, dua sistem’,” ujar Perdana Menteri Inggris Boris Johnson. [fls/CNN]

Advertisement
Advertisement