May 9, 2025

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Mimpi Sejahtera Berakhir Sengsara

4 min read

ApakabarOnline.com – Mei Harianti (26), pekerja migran Indonesia asal Cirebon, Jawa Barat, untuk sejahtera di Malaysia, berujung duka. Ibu dua anak itu dianiaya majikannya selama hampir setahun. Kisahnya jadi lanjutan kisah-kisah buram para pekerja migran.

Kabar pilu itu mencuat akhir November 2020. Keluarga yang berbulan-bulan putus kontak dengan Mei syok. Terutama, ketika melihat foto Mei. Tubuhnya ringkih. Kaki kirinya bengkak. Ada luka bekas siraman air panas.

“Kurus pisan (banget). Tangannya kayak tengkorak,” kata Gunawan (31), kakak Mei, (04/12/2020). Sesekali ia dan Syafii (60), bapaknya, memandang foto Mei yang mengenakan kerudung biru dengan latar merah. Mata keduanya berkaca-kaca.

Kasus Mei terungkap berkat informasi LSM Tenaganita di Malaysia. Lembaga itu bersama kepolisian setempat dan KBRI Kuala Lumpur lalu menyelamatkan korban dari rumah majikannya, Selasa (24/11/2020). Mei masih menjalani perawatan di sebuah rumah sakit di Malaysia. Majikannya sudah ditangkap pejabat berwenang.

Keluarga mengatakan, tidak punya bayangan Mei, yang berangkat ke Malaysia sebagai pekerja domestik, bakal dianiaya. Apalagi, berdasarkan data Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), ia berangkat secara prosedural.

Mei mendaftar melalui UPT BP2MI Jakarta. Selain memiliki kartu tenaga kerja luar negeri (KTKLN), ia juga mengikuti pelatihan kerja sebelum ke Malaysia.

Selama 13 bulan di Malaysia, menurut Gunawan, Mei hanya menelepon suaminya tiga kali. Itu pun cuma awal-awal kedatangannya. “Telepon pertama 15 menit. Kedua, 10 menit, dan ketiga 9 menit. Besok-besoknya enggak,” katanya.

Keluarga sempat ingin menelepon Mei. Namun, tidak pernah kesampaia. “Dia pakai HP (handphone) majikannya. Kalau kami nelpon, enggak berani,” ucapnya. Kini, rasa penasaran keluarga tentang kondisi Mei terjawab penuh kepahitan. “Harapan anak saya ke sana untuk kerja, kenapa disiksa ?,” kata Syafii.

Mei merupakan anak keempat dari lima bersaudara. Hanya ia yang lulus SMA meski melalui paket C. Suaminya mengelola warung kecil. Dua anaknya masih kecil-kecil.

Keluarga besar Mei tinggal di permukiman padat di belakang sebuah hotel tinggi di Pekiringan. Hanya sepeda motor yang bisa masuk ke daerah tersebut. Saking padatnya, sinar matahari pun terhalang.

Rumahnya tingkat dua seluas 2,5 meter x 8 meter. Banjir yang kerap melanda daerah itu membuat warga meninggikan tempat tinggalnya. Syafii bekerja sebagai kuli panggul dengan gaji 875.000 per bulan.

Kini, keluarga berharap Mei segera dipulangkan dalam kondisi sehat dan selamat. “Kalau sudah pulang, enggak usah ke sana lagi,” lanjut Syafii.

Mei hanyalah satu dari sekian pekerja migran yang menjadi korban majikannya. Bahkan, tidak sedikit yang pulang hanya tinggal nama. Adelina Sau, PMI asal Nusa Tenggara Timur, misalnya, tewas disiksa majikannya di Penang, Malaysia, Februari 2018. Majikan yang menganiaya Adelina bebas di pengadilan tingkat pertama.

Kepala BP2MI Benny Ramdhani mengatakan, bersama KBRI akan mengawal kasus Mei. Namun, dia mendorong pemerintah segera meninjau ulang Nota Kesepahaman Perekrutan dan Penempatan Tenaga Kerja Domestik Indonesia yang ditandatangani tahun 2006 dan sudah habis masa berlakunya tahun 2016.

Apalagi, pemberlakuan Sistem Maid Online atau SMO oleh Pemerintah Malaysia sejak Januari 2018 membuka peluang masuknya pekerja domestik perorangan asal Indonesia. Meskipun sistem ini memangkas biaya dan rantai birokrasi, PMI berpotensi tidak tercatat dalam data pemerintah.

Ketua Pengurus Sapa Institute, lembaga pendampingan perempuan korban kekerasan di Jabar, Sri Mulyati mengatakan, mitigasi kekerasan harus dipastikan sudah dimiliki PMI. Alasannya, masih banyak PMI yang tidak sadar menjadi korban.

Kondisi ini terlihat dari hasil penilaian Sapa Institute bersama Women’s Crisis Center Pasundan Durebang terhadap 150 perempuan pekerja migran. Dari jumlah tersebut, hanya 16 persen yang mengatakan mengalami kekerasan dan diskriminasi, mulai dari persiapan hingga bekerja di luar negeri. Padahal, setelah diwawancara dan dilakukan pendalaman, semuanya menjadi korban.

Laswiati (41), warga Paseh, Kabupaten Bandung, pernah tidak sadar telah menjadi korban kekerasan saat menjadi PMI di Arab Saudi. Masuk dengan jalur resmi, dia bekerja untuk dua majikan berbeda antara tahun 2004-2006.

Di majikan pertama, semua identitas dan surat berharganya ditahan. Dia juga kerap bekerja hingga dari pagi hingga tengah malam. Saat anggota keluarga bepergian, Laswiati dikurung di dalam rumah. Cacian dalam bahasa setempat kerap ia dapatkan. Berpikir tak pernah mendapat kekerasan fisik, dia menganggap semuanya adalah konsekuensi pekerjaan.

“Saat pindah ke majikan kedua, saya diberitahu sudah dijual. Saya tidak tahu kalau itu namanya perdagangan orang,” kata dia.

Pengalaman itu sempat membuatnya trauma. Namun, pandemi kali ini mengikis ketakutannya. Dia bimbang kembali mencari uang di negeri orang. Penghasilan suaminya sebagai buruh lepas tidak menentu. “Inginnya tidak pergi lagi. Namun, di sini mau kerja apa ?,” kata lulusan SD ini.

Di tengah desakan ekonomi yang kini kian kuat, Sri khawatir kekerasan bakal makin subur bila tidak ditangani dengan tepat. “Ada yang berani mengungkapkannya tapi ada yang memilih menutupnya. Kebanyakan adalah korban kekerasan seksual. Mereka menganggap itu sebagai aib,” ujarnya.

Sri mengatakan, semua kasus ini seharusnya tidak terjadi bila Indonesia memiliki regulasi yang tepat. Ia mencontohkan pentingnya pengesahan Rancangan UU Penghapusan Kekerasan Seksual. Aturan hukum itu bisa memberikan advokasi dan mengakomodir para korban kekerasan seksual dari kalangan pekerja migran.

Sudah terlalu lama kisah pilu menyelimuti para pencari uang di negeri orang itu. Ujungnya tak selalu sejahtera, justru banyak berakhir duka. []

Penulis Abdullah Fikri Ashri

Advertisement
Advertisement