Mochtar Embut, Sosok Pemalu yang Menciptakan Mars Pemilu
Pemilihan umum telah memanggil kita, s’luruh rakyat menyambut gembira, hak demokrasi pancasila, hikmah Indonesia merdeka, pilihlah wakilmu yang dapat dipercaya, pengemban ampera yang setia, di bawah UUD 45, kita menuju pemilihan umum.
Siapa tak kenal dengan barisan lirik di atas? Lirik ini serasa pas bila dihubungkan dengan situasi masyarakat Indonesia yang tengah menyambut pesta demokrasi pada tanggal 17 April 2019. Hanya saja, kali ini masyarakat bukan hanya untuk memilih wakil rakyat, tapi menentukan presiden dan wakil presiden lima tahun ke depan.
Kira-kira puluhan tahun lalu lagu yang jadi mars pemilu ini begitu populer. Liriknya kuat membekas, utamanya bagi mereka yang telah memilih di tahun 1990-an. Bukan hanya karena liriknya sederhana hingga mudah dihafal. Lebih dari itu, ketenaran lagu ini gampang menguat seiring sosialisasi ala Orde Baru yang juga begitu masif kala itu.
Ya, serupa halnya dengan lagu terkait program pemerintah lainnya, semisal Keluarga Berencana, mars pemilu ini disiarkan berulang-ulang lewat televisi dan radio milik pemerintah yang masih mendominasi, yakni TVRI dan RRI. Lagu ini juga diajarkan sejak sekolah dasar lewat pelajaran kesenian.
Adalah Mochtar Embut yang menciptakan mars pemilu yang mengumandang di enam kali masa pemilu di Orde Baru ini. Dulu, lagu yang diciptakan Mochtar pada tahun 1970 ini ditetapkan sebagai lagu resmi pemilu lewat Keputusan Menteri Dalam Negeri/Ketua Lembaga Pemilu Nomor 28/LPU/1970.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Catherine Natalia, dalam artikel berjudul “Sejarah Mars Pemilu Tanpa Pilkada” (2015) menuliskan, pesan lagu Mochtar ini terbilang sederhana. Liriknya teramat jelas mengajak pemilih untuk menggunakan suaranya memilih para wakil rakyat yang dapat dipercaya dan pengemban ampera (amanat penderitaan rakyat) yang setia.
Catherine menulis, sosialisasi pemilu sepanjang penyelenggaraannya di Indonesia, memang juga dilakukan melalui lagu-lagu. Biasanya, dalam mars pemilu maupun jingle pemilu itu masing-masing menggambarkan berbagai sistem, dasar hukum dan ideologis, jenis, asas pemilu serta harapan terhadap pemilu pada setiap masanya.
Mars Pemilu karya Mochtar sendiri mulai berkumandang menjelang Pemilu 1971. Karyanya menggantikan mars pemilu terdahulu karya Marius Ramis Dajoh (penulis lirik), Ismail Marzuki (melodi dan aransemen) dan GWR Tjok Sinsu (penggubah) yang dipakai untuk sosialisasi Pemilu 1955 pada masa Orde Lama.
Enam kali pemilu di masa Orde Baru, enam kali pula sosialisasinya memanfaatkan karya pria kelahiran 5 Januari 1934 ini. Baru di akhir tahun 1990-an, seiring perubahan konstitusi dan struktur ketatanegaraan pasca-Reformasi 1998 terjadi pula perubahan dalam sistem pemilu. Pihak-pihak terkait ketika itu memandang perlu adanya mars pemilu baru.
Alhasil, “Mars Pemilu” yang diciptakan oleh Nortier Simanungkalit yang dipakai sejak Pemilu 2004. Lalu, di Pemilu Serentak 2019 ini, Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga mengumumkan jingle pemilu yang dinyanyikan Kikan.
“Tak seperti zaman Orde Baru, penulis berpendapat, mars pemilu yang baru kurang tersosialisasi. Sampai penyelenggaraan Pemilu 2014, tampaknya yang menguasai dan dapat menyanyikan lagu mars pemilu ini dengan baik barulah para anggota Paduan Suara KPU,” begitu pendapat Christine, yang juga sempat jadi anggota Paduan Suara KPU RI (2011-2015).
Apa yang disampaikan oleh Christine ada benarnya. Tanpa bermaksud mengesampingkan karya mars pemilu lainnya, kesederhanaan lirik plus sosialisasi masif di zaman Orde Baru memang membuat racikan Mochtar ini jauh membahana. Mudah dicerna. Orang tak mudah lupa liriknya. Bahkan, ketika grup legendaris Slank meng-cover mars pemilu beberapa tahun lalu, karya Mochtar lah yang justru mereka pilih.
Komponis Kreatif
Di luar dunia politik, Mochtar bukanlah musisi sembarangan. Dia dikenal sebagai salah satu komponis yang karyanya bersifat puitis. Mochtar juga terbiasa melakukan musikalisasi karya puisi, menggubah sajak tokoh-tokoh sastra Indonesia, seperti WS Rendra, Chairil Anwar, dan Usmar Ismail.
Mochtar juga dikenal sebagai komponis yang kreatif dan produktif. Tidak kurang dari 100 lagu, baik pop, seriosa, maupun keroncong digubahnya. Tak jarang lagunya bahkan menjadi abadi, seperti lagu Di Wajahmu Kulihat Bulan, Di Sudut Bibirmu dan Tiada Bulan Di Wajah Rawan.
Dia juga terbiasa mengaransemen lagu-lagu untuk orkes besar. Lalu, selain “Mars Pemilu”, pria kelahiran Makassar ini diketahui juga menciptakan lagu Keluarga Berencana (KB) dan Swa Bwana Paksa (mars AURI). Ingat, bukan?
Asal tahu saja, sudah dari kecil Mochtar menunjukkan bakat bermusik. Beruntung keluarganya tak jauh juga dari dunia seni. Mengutip Intisari, ayahnya seorang pianis merangkap pimpinan musik tonil Miss Riboet, ibunya Sukinah seorang penari. Bakat makin terasah karena kakek dari ayahnya yang bernama Saimun Notoasmoro. Saimun merupakan seorang pemusik dari Surabaya yang merantau.
Alhasil, dia sudah mempelajari piano secara otodidak sejak usia 5 tahun. Empat tahun kemudian dia bahkan sudah mampu menciptakan lagu anak-anak yang berjudul Kupu-Kupu. Pada usia 12 tahun, Mochtar juga dipercaya jadi anggota orkes Kesejahteraan Angkatan Darat Territorium VII sebagai pianis.
Makin dewasa, Mochtar makin mahir bermusik. Akan tetapi, bukan sekolah musik yang ditekuninya. Ketika pindah ke Jakarta setamat SMA dia justru mengambil jurusan Prancis pada Fakultas Sastra di Universitas Indonesia.
Sebetulnya, di tahun 1962, Mochtar sempat ditawari masuk sekolah musik di Jepang lewat jalur beasiswa bersama komponis lainnya Pranajaya. Tapi kesempatan itu, dia tolak dengan alasan yang tak diketahui pasti.
Akan tetapi penolakan ke Jepang itu nyatanya tak menghalangi karier Mochtar di dunia musik. Buktinya, pada tahun 1971 dia mampu bikin bangga Indonesia karena lagu ciptaannya yang berjudul With the Deepest Love from Jakarta, yang dibawakan oleh Elly Srie Kudus, memperoleh penghargaan dalam festival lagu pop internasional di Tokyo, Jepang.
Semasa hidupnya, Mochtar memang lebih memilih mengenalkan karya-karyanya di Indonesia. Dia juga dikenal sebagai pria yang sangat pemalu dan cenderung tak menyukai publisitas. Tapi, ia sangat pemalu. Begitu mulai dikenal sebagai pencipta lagu, Mochtar kembali bersembunyi. Ia tak suka diekspos soal keahliannya menciptakan lagu.
Mengutip buku berjudul Klasik Indonesia: Komposisi untuk Vokal dan Piano yang disusun Binsar Sitompul dan Aning Katamsi, Mochtar diceritakan pernah bekerja sebagai arranger di Orkes Studio Jakarta dan Orkes Simfoni Jakarta. Masalahnya, Mochtar terperangkap ketekunan bekerja yang nyaris tak kenal lelah, hingga akhirnya dia terserang penyakit lever dan kanker hati. Mulanya dia dirawat di Jakarta, tapi kemudian dipindahkan ke Bandung. Di Kota itu, tanggal 20 Juli 1973, dia menghembus napas terakhir, lalu dimakamkan di TPU Karet, Jakarta. Sampai akhir hayatnya Mochtar tak berkeluarga.
Namun, sebelum ajal menjemput di usia 39 tahun, Mochtar sempat menyelesaikan buku Kumpulan Lagu Populer I yang memuat 27 lagu rakyat Indonesia dan 9 lagu barat. “Dengan buku ini saya ingin mengetengahkan kepada dunia luas bahwa Indonesia memiliki lagu-lagu rakyat yang cukup berbobot,” begitu tulisnya di buku itu. [Nofanolo /Berbagai Sumber]