May 10, 2025

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Negara Tidak Boleh Kalah Dengan Preman Berkedok Ormas

8 min read

JAKARTA – Dalam beberapa waktu terakhir, publik  dikejutkan oleh serangkaian aksi intimidatif yang dilakukan oleh sejumlah organisasi kemasyarakatan (ormas), yang semakin menunjukkan keberanian dalam menantang kewenangan dan otoritas negara. Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran yang mendalam karena mencerminkan kecenderungan meningkatnya ketegangan antara kekuatan sipil non-negara dengan institusi resmi pemerintahan.

Salah satu kasus yang paling mencolok adalah keterlibatan ormas Gerakan Rakyat Indonesia Baru (GRIB) yang dipimpin oleh tokoh kontroversial, Hercules Rosario Marshal. Ormas tersebut secara terbuka melayangkan ultimatum kepada Gubernur Jabar Deddy Mulyadi.

Ancaman tersebut juga bisa disaksikan dalam  video yang tayang di kanal YouTube Unlocked pada Rabu (30/4/2025), dalam wawancaranya Hercules mengancam akan mengerahkan 50 ribu anggotanya ke Gedung Sate apabila Dedi terus memusuhi ormas. “Kalau saya suruh 50 ribu orang datang ke Gedung Sate, bagaimana Dedi Mulyadi? Enggak bakal bisa dibubarin, itu dilindungi undang-undang,” ujar Hercules.

Hercules juga sempat menyentil purnawirawan yang mengajukan tuntutan untuk mendepak Wakil Presiden Gibran. Menurut Hercules, Gibran merupakan wakil yang dipilih oleh rakyat. Gibran mendampingi Presiden Prabowo saat Pilpres. “Ini karena di Pilpres (2024) kalah,” ujarnya dalam video yang beredar.

Hercules secara khusus menyebut nama Sutiyoso. Ia meminta Sutiyoso tidak usah menyinggung masalah ormas. Ia menyebut mulut Sutiyoso sudah bau tanah.  “Mulutnya sudah bau tanah berdoa meminta Allah mau dipanggil sama Allah”, ujarnya.

Akhir akhir ini kelakuan Ormas GRIB memang semakin merajelala memamerkan keangkuhannya. Sebagai contoh di Depok. Polisi yang melaksanakan ketertiban dan melindungi rakyat, justru mendapat perlawanan oleh anggota ormas ini.

Sementara itu viral di media sosial, Grib Jaya menyegel perusahaan di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Video yang beredar  memperlihatkan sebuah spanduk yang bertuliskan ‘pabrik dan gudang ini dihentikan operasionalnya oleh DPD Grib Jaya Kalteng’. Dalam spanduk tersebut, perusahan yang ditutup bernama PT Bumi Asri Pasaman. PT BAP diminta untuk melaksanakan dan menunaikan putusan Mahkamah Agung RI Nomor 601 PK/Pdt/2019 tertanggal 9 September 2019.

Karuan saja kelakuan Ormas GRIB itu telah membuat Mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo menjadi murka. Apalagi setelah Ketum GRIB Jaya Rosario de Marshall atau Hercules menghina mantan Gubernur Jakarta Letjen (Purn) Sutiyoso yang disebut bau tanah.

Saking geramnya, Gatot Nurmantyo menyebut jika Grib Jaya yang dipimpin Hercules merupakan kelompok preman yang berkedok sebagai Ormas. “Kamu (Hercules) itu kan preman, memakai pakaian (berkedok) ormas,” geram Gatot Nurmantyo dalam siniar yang tayang secara daring, dikutip media pada Kamis (1/5/2025).

Tindakan yang dilakukan oleh GRIB memang tidak hanya menunjukkan sikap permusuhan terhadap tokoh masyarakat, aparat negara dan pejabat publik, tetapi secara umum juga melecehkan otoritas negara di mata rakyat.

Tindakan ini tidak bisa dilihat sebagai insiden biasa. Ia merupakan potret buram relasi negara dan ormas yang semakin kompleks dan berbahaya. Ketika ormas merasa memiliki kuasa untuk mengintervensi kebijakan atau mengancam pejabat negara, berarti telah terjadi krisis kewibawaan hukum yang sangat serius. Negara, yang seharusnya menjadi satu-satunya institusi yang berhak menggunakan kekuasaan secara sah, justru tampak dilemahkan oleh kekuatan informal yang mengandalkan kekerasan, intimidasi, dan kekuatan massa.

Situasi ini mendesak pemerintah dan aparat penegak hukum untuk bertindak tegas dan tidak ragu dalam menegakkan supremasi hukum. Negara tidak boleh tunduk, apalagi sampai menyerah, pada tekanan ormas, siapa pun pemimpinnya dan sebesar apa pun pengaruh sosial-politiknya.

Ketegasan negara bukan hanya soal menjaga wibawa pejabat publik, tetapi juga soal memastikan bahwa seluruh warga negara, tanpa kecuali, tunduk pada aturan hukum yang sama. Jika tidak, kita akan menyaksikan kemunduran demokrasi di mana kekuasaan bukan lagi ditentukan oleh hukum dan konstitusi, melainkan oleh siapa yang paling berani dan paling bising di jalanan.

Fenomena ini juga menegaskan satu hal penting: regulasi yang saat ini mengatur keberadaan dan aktivitas organisasi kemasyarakatan (ormas) sudah tidak lagi memadai untuk merespons dinamika sosial-politik yang terus berkembang. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, meskipun telah mengalami revisi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi dan dilengkapi dengan sejumlah peraturan pelaksana, ternyata belum mampu menjawab tantangan zaman secara efektif.

Di berbagai daerah, ormas tidak lagi sekadar menjadi wadah partisipasi masyarakat dalam pembangunan atau pengawasan kebijakan publik. Sebaliknya, banyak di antaranya kini menjelma menjadi kekuatan sosial yang justru berpotensi merusak tatanan demokrasi dan supremasi hukum. Tindakan-tindakan mereka kerap kali menjurus pada praktik premanisme, intimidasi terhadap masyarakat sipil, dan bahkan intervensi terhadap kegiatan usaha yang sah. Ini bukan hanya menciptakan rasa takut di tengah masyarakat, tetapi juga mengganggu iklim investasi dan stabilitas ekonomi nasional.

Lebih jauh lagi, sejumlah ormas tampak semakin berani menantang kewenangan negara. Mereka tak segan menunjukkan resistensi terhadap aparat penegak hukum, menolak intervensi pemerintah, dan bahkan mendikte ruang publik sesuai dengan kepentingan kelompoknya sendiri. Dalam konteks ini, negara tampak lemah dan tak berdaya, karena perangkat hukumnya tidak cukup tajam untuk menindak pelanggaran yang dilakukan oleh entitas yang berlindung di balik nama “organisasi masyarakat.”

Karena itu, sudah saatnya dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap kerangka hukum yang mengatur ormas di Indonesia. Reformulasi undang-undang yang lebih tegas, responsif, dan adaptif terhadap perubahan zaman menjadi sebuah keharusan. Negara harus memastikan bahwa ormas benar-benar menjalankan perannya sebagai mitra dalam pembangunan dan penguatan masyarakat sipil, bukan sebagai aktor yang mengancam ketertiban umum dan kewibawaan negara.

Ironisnya, sejumlah kelompok atau organisasi sering kali berlindung di balik dalih demokrasi dan kebebasan berserikat untuk melegitimasi tindakan mereka yang justru merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa. Mereka menggunakan jargon-jargon kebebasan seolah-olah demokrasi memberi mereka hak absolut untuk berbuat sesuka hati, tanpa memperhatikan dampaknya terhadap masyarakat luas. Padahal, esensi dari demokrasi bukanlah kebebasan tanpa batas, melainkan kebebasan yang bertanggung jawab, yang berjalan seiring dengan penghormatan terhadap hak orang lain, hukum, dan nilai-nilai kemanusiaan.

Dalam sistem demokrasi yang sehat, kebebasan berserikat dan berpendapat memang dijamin oleh konstitusi. Namun, kebebasan itu tidak bisa digunakan sebagai tameng untuk menyebarkan intoleransi, kekerasan, atau bahkan ancaman terhadap keamanan dan ketertiban umum. Demokrasi memerlukan aturan main yang tegas, termasuk batasan yang jelas mengenai sejauh mana sebuah organisasi bisa bertindak dalam kerangka hukum. Ketika sebuah kelompok atau organisasi mulai menjelma menjadi sumber ketakutan, menyebar propaganda kebencian, atau menciptakan keresahan di tengah masyarakat, maka negara tidak boleh tinggal diam.

Negara memiliki kewajiban konstitusional untuk melindungi segenap rakyatnya. Ketidakhadiran negara dalam situasi semacam ini justru akan menodai makna demokrasi itu sendiri. Pemerintah harus bersikap tegas dan adil dalam menegakkan hukum, agar demokrasi tidak menjadi alat manipulatif bagi pihak-pihak yang ingin merusak tatanan sosial. Demokrasi tidak boleh dijadikan kedok untuk menyuburkan intoleransi atau bahkan radikalisme. Sebaliknya, demokrasi harus menjadi ruang aman bagi setiap warga negara untuk hidup dalam damai, bebas dari rasa takut, dan memiliki kesempatan yang sama dalam kehidupan bernegara

Keberadaan organisasi kemasyarakatan (ormas) yang bersifat meresahkan tidak lagi sekadar menjadi isu sosial, tetapi telah merambah ke ranah ekonomi dengan dampak yang signifikan, khususnya terhadap iklim investasi. Banyak pelaku usaha, baik dari kalangan lokal maupun investor asing, mulai menunjukkan kekhawatiran yang serius terhadap aksi-aksi intimidatif yang dilakukan oleh sejumlah ormas. Mereka mengeluhkan praktik-praktik pemalakan, intervensi sepihak terhadap proyek-proyek pembangunan, hingga tekanan sosial-politik yang dibungkus atas nama kepentingan masyarakat.

Situasi ini mengubah wajah dunia usaha yang seharusnya berada dalam suasana kondusif dan penuh kepastian hukum menjadi arena penuh ketegangan dan ketidakpastian. Akibatnya, para investor menjadi ragu untuk menanamkan modalnya, sementara yang sudah terlanjur berinvestasi mempertimbangkan untuk hengkang atau memindahkan kegiatan usahanya ke wilayah yang lebih stabil dan aman. Dalam jangka panjang, kondisi ini akan memberikan efek domino yang merugikan, mulai dari stagnasi ekonomi lokal, berkurangnya lapangan kerja, hingga meningkatnya ketimpangan sosial.

Jika negara tidak segera bertindak tegas dengan menertibkan dan menegakkan hukum terhadap ormas-ormas yang menyimpang dari fungsi dasarnya, maka risiko keruntuhan bukan hanya menyasar stabilitas sosial, tetapi juga kredibilitas sistem hukum kita di mata dunia internasional. Kepercayaan investor merupakan salah satu pilar penting pembangunan ekonomi. Jika pilar ini goyah, maka konsekuensinya adalah melambatnya pertumbuhan nasional yang pada akhirnya akan ditanggung oleh masyarakat luas, terutama mereka yang berada pada lapisan ekonomi bawah.

Karena itu, sudah waktunya bagi pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk melakukan revisi total terhadap Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas). Revisi ini bukan sekadar penyempurnaan administratif, melainkan langkah strategis untuk memastikan bahwa ormas benar-benar berfungsi sesuai dengan nilai-nilai demokrasi, hukum, dan kepentingan publik.

Pengetatan aspek legalitas sangat penting agar setiap ormas memiliki dasar hukum yang kuat, jelas, dan tidak disalahgunakan. Selain itu, transparansi sumber pendanaan juga harus menjadi syarat mutlak guna mencegah potensi penyalahgunaan dana yang dapat merugikan masyarakat atau negara. Mekanisme pengawasan terhadap kegiatan ormas pun harus diperkuat, baik oleh pemerintah maupun masyarakat sipil, agar aktivitas mereka tetap berada dalam koridor hukum dan etika publik.

Tak kalah penting, sanksi tegas perlu diberlakukan terhadap ormas yang terbukti meresahkan, menyebarkan kebencian, atau bertindak melawan hukum. Sanksi ini harus mencakup pencabutan izin hingga pembubaran organisasi, sebagai bentuk komitmen negara dalam menjaga ketertiban, kedamaian, dan integritas bangsa. Sudah saatnya regulasi ini ditata ulang secara menyeluruh untuk menjawab tantangan zaman dan menjamin kehidupan berorganisasi yang sehat dan bertanggung jawab di Indonesia.

Negara ini bukan milik sekelompok kecil yang bersuara paling keras atau yang memiliki kekuatan untuk mengerahkan massa. Negara ini berdiri tegak di atas pondasi yang lebih kokoh, yaitu konstitusi, hukum, dan kesepakatan sosial yang dibangun bersama. Di dalam kerangka ini, setiap tindakan yang diambil harus berlandaskan pada prinsip ketertiban dan keadilan, tanpa pandang bulu atau memberi ruang bagi kekuasaan yang hanya dimiliki oleh segelintir pihak.

Kita tidak bisa membiarkan sekelompok organisasi masyarakat yang bertindak semena-mena dan melanggar hukum untuk menjadi simbol kegagalan negara dalam menjalankan tugasnya.

Sebaliknya, negara harus hadir sebagai pelindung, yang menegakkan hukum dengan adil dan tegas, tanpa memberi ruang bagi siapa pun untuk mengganggu kedamaian dan kestabilan sosial. Sebuah negara yang kuat adalah negara yang mampu menunjukkan bahwa hukum tidak bisa dipermainkan dan bahwa keadilan akan selalu ditegakkan untuk kepentingan rakyat banyak. Jangan biarkan ketidakadilan merajalela hanya karena kelengahan atau ketidakberdayaan dalam menegakkan hukum.

Revisi terhadap UU Ormas bukanlah sebuah bentuk represi terhadap kebebasan sipil, seperti yang seringkali disangka oleh sebagian pihak. Sebaliknya, ini adalah langkah progresif dan terukur untuk memastikan bahwa kebebasan berserikat yang dijamin oleh konstitusi tidak disalahgunakan, melainkan berjalan seiring dengan tanggung jawab hukum dan moral yang harus diemban oleh setiap organisasi. Kebebasan yang tanpa kendali dapat dengan mudah diselewengkan menjadi alat untuk merusak stabilitas sosial dan politik, yang tentu saja bertentangan dengan semangat kemerdekaan itu sendiri.

Organisasi masyarakat yang sehat adalah organisasi yang berperan aktif dalam membangun peradaban yang lebih baik. Mereka yang menjadi pilar positif dalam menciptakan kedamaian, kesejahteraan, dan kemajuan bersama. Sebaliknya, organisasi yang hanya berfokus pada penyebaran kebencian, ketakutan, dan kekerasan justru merusak fondasi demokrasi dan menciptakan kegaduhan yang merugikan banyak pihak. Oleh karena itu, penting bagi negara untuk memiliki alat yang efektif dalam mengawasi dan memastikan bahwa setiap organisasi yang berdiri di tanah air ini berkomitmen pada nilai-nilai yang membangun, bukan menghancurkan.

Negara memiliki tanggung jawab untuk menjaga keamanan, ketertiban, dan kesejahteraan warganya. Dalam hal ini, hukum harus menjadi penjaga utama untuk menegakkan keadilan dan mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan oleh organisasi yang tidak bertanggung jawab. UU Ormas yang ada saat ini, meskipun sudah ada upaya pengaturannya, masih membutuhkan penyempurnaan untuk mengantisipasi perkembangan zaman dan dinamika yang terjadi di masyarakat.

Saatnya UU Ormas direvisi total, bukan hanya untuk memperbaiki kekurangan yang ada, tetapi juga untuk memastikan bahwa organisasi masyarakat benar-benar menjadi kekuatan positif yang mendukung kemajuan bangsa, bukan malah menjadi ancaman bagi tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Inilah momentum yang tepat bagi kita untuk memperkuat sistem hukum, menjaga stabilitas sosial, dan memastikan bahwa kebebasan sipil tetap terjaga dalam koridor yang benar, demi kepentingan bersama. []

Sumber Law Justice

Advertisement
Advertisement

Leave a Reply