April 20, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Nelangsa PMI ABK Korban Perbudakan Kapal China Menjadi Sorotan Media Internasional

4 min read

HONG KONG – Menjadi pelaut, bagi sebagian kaum muda Indonesia masih menjadi obsesi, gagahnya penampilan dengan seragam, hingga tebalnya dompet karena besarnya penghasilan yang bisa dibawa pulang. Tak pelak lagi, banyak lembaga-lembaga pendidikan setingkat diploma satu, bahkan selevel kursus singkat hitungan bulanan dibanjiri banyak siswa.

Namun ternyata, dibalik gemilang uang dan gagahnya penampilan, tersembunyi nelangsa saat mengarungi samudera. Terkini, seperti kabar PMI ABK korban perbudakan kapal Longxing 629 China.

Bulan lalu, berita dibuangnya jasad tiga anak buah kapal atau ABK Indonesia oleh kapal pencari ikan China sempat begitu viral. Disiarkan stasiun televisi Korea Selatan, MBC, laporan inipun langsung menjadi tajuk utama di berbagai media massa, baik lokal maupun asing.

Kasus ini juga diketahui telah memicu penyelidikan internasional, terutama untuk menyoroti kondisi ‘Perbudakan’ yang diduga dialami oleh ABK Indonesia di kapal-kapal China.

Kasus makin berkembang, kini surat kabar ternama Inggris, BBC, mengulas profil hingga kisah miris para ABK Indonesia yang dilarung ke lautan oleh kapal Longxing 629 China.

“Ini adalah kisah tentang dua keluarga, putra dan saudara lelaki yang berkabung, dan meninggal ketika mencoba membangun kehidupan baru,” tulis BBC.

Kisah pertama tentang salah satu korban bernama Sepri. Disebutkan, Sepri sebenarnya belum pernah ke laut ketika dia mendengar melalui seorang teman tentang kesempatan bekerja di kapal nelayan milik China. Namun, ia tidak memikirkan nihilnya pengalaman berlayar lantaran tergiur dengan iming-iming gaji yang besar.

“Uang yang dijanjikan yang melampaui apa pun yang bisa diimpikan pria berusia 25 tahun itu di desanya di pulau Sumatra, Indonesia,” tambah BBC.

Bahkan, semangat Sepri saat mendengar pendapatan dari Long Xing 629 inipun sempat disaksikan sendiri oleh kakak perempuannya, Rika Andri Pratama.

“Dia sangat antusias tiba-tiba bisa mendapatkan uang sebanyak itu untuk kita,” tulis BBC mengutip ucapan langsung Rika.

Dengan jaminan pelatihan dan gaji USD 400 (Rp5,6 juta) sebulan, Sepri mulai menapaki petualangannya dengan Long Xing 629. Saat itu, Sepri masuk dalam gerombolan ABK Indonesia yang terdiri dari 22 orang.

Dengan cita-cita akan membayar hutang sang kakak dan membawa lebih banyak uang untuk keluarga, Sepri pun ikut bersama dengan lusinan ABK Indonesia dan berlayar bersama Long Xing sejak Februari tahun lalu.

“Sebelum dia pergi, dia meminjam uang dari saya. Dia mengatakan itu akan menjadi yang terakhir karena dia akan pulang dengan membawa lebih banyak dan kami akhirnya bisa merenovasi rumah keluarga,” tambah Rika.

Namun, bayangan yang dijanjikan oleh Sepri tidak kunjung didapatkan Rika dan keluarga. Sepri tidak pernah pulang. Sepri juga tidak pernah mengirimkan uang atau kabar sama sekali. Berbulan-bulan menunggu untuk sekadar berbicara, penantian Rika akhirnya benar-benar sirna ketika ia menerima sepucuk surat pada awal Januari lalu.

Hati Rika seketika hancur saat mendapati bahwa surat tersebut tidak lain adalah kabar kematian adiknya sendiri, Sepri.

“Hati saya hancur ketika saya mendengar dia terlempar ke laut,” kata Rika seraya menahan air mata.

Rika makin dipenuhi dengan rasa bersalah lantaran tidak bisa menjaga Sepri sesuai yang diamanatkan ibunya sebelum meninggal.

“Sebelum ibu kita meninggal, kata-kata terakhirnya adalah, ‘kamu harus menjaga adik laki-lakimu’,” tambah Rika.

Sementara itu, disebutkan pula Sepri dan seorang pria lainnya tewas dalam beberapa hari di bulan Desember, setelah hanya 10 bulan di laut.

Sementara Ari, yang berasal dari desa yang sama dengan Sepri, meninggal pada bulan Maret tahun ini, tak lama sebelum kru lainnya diselamatkan.

Seperti Sepri, jasadnya dibungkus dengan kain sebelum akhirnya dilemparkan ke Samudra Pasifik. Tidak hanya itu, keluarga kedua korban juga tidak bisa mengucapkan selamat tinggal untuk terakhir kalinya.

Namun, dalam kasus ini, BBC juga menggaungkan kisah-kisah serupa di atas kapal Long Xing 629. BBC pun menulis bahwa kisah Sepri dan kawan-kawannya sangat familiar lantaran muncul hanya lima tahun setelah sekitar 4 ribu nelayan asing, kebanyakan dari Myanmar (Burma), diselamatkan dan dibebaskan dari pulau-pulau terpencil di Indonesia.

Ribuan nelayan asing itupun disebutkan sempat dieksploitasi dalam kondisi seperti budak selama bertahun-tahun lamanya.

Sementara itu, beberapa rekan Sepri yang selamat juga sempat menuturkan bagaimana mereka kerap dipukuli dan ditendang. Sumber-sumber inipun menjelaskan bahwa terkadang mereka mengalami kendala bahasa.

“Mereka tidak bisa mengerti apa yang dikatakan bos China mereka dan itu menyebabkan kebingungan dan frustrasi,” tulis BBC.

Salah satu kru kemudian juga mengatakan bahwa tubuh teman-temannya membengkak sebelum mereka mati. Sementara yang lain mengatakan mereka dipaksa bekerja 18 jam sehari dan hanya diberi umpan ikan untuk dimakan.

“Mereka (awak China) minum air mineral, sementara kami hanya diberi sulingan air laut yang buruk,” ucap salah satu saksi bernisial NA.

NA melanjutkan, sebelum Sepri dan yang lainnya terlihat sakit parah, ia dan kawan lain sebenarnya sempat memohon kepada kapten untuk membawa korban ke darat untuk perawatan.

Setelah ketiga korban meninggal, para kru juga kembali memohon agar jasad bisa ditaruh di dalam ruang pendingin. NA dan kawan-kawan berharap bisa menguburkan Sepri dan korban lainnya sesuai dengan tradisi agama Islam begitu mereka mencapai pantai.

Namun, kapten justru memberi tahu bahwa tidak ada yang menginginkan Sepri dan dua korban lainnya.

“Dia (kapten) berpendapat bahwa setiap negara toh akan menolak tubuh mereka. Yang bisa kami lakukan adalah mencuci jasad mereka sesuai dengan hukum Islam, berdoa dan kemudian membuangnya ke laut,” tambah NA. []

Advertisement
Advertisement