Nita : “Waktu Masih di Hong Kong, Saya Dulu Hampir Menuntut Cerai Karena Belum Paham Dengan Arah Pemikiran Suami”
KARANGANYAR – “Saat saya kerja ke Hong Kong, saya baru tiga tahun menikah. Waktu itu anak saya belum genap berumur dua tahun” terang Yunita, warga combatan Negeri Beton tahun 2014.
Berbincang dengan ApakabarOnline.com, Nita mengaku, sebelum menikah dengan Singgih, dirinya tidak pernah berpacaran dan mengenal dekat. Hanya saling tahu dan kenal biasa saja. Sebulan sebelum menikah, menurutnya Nita baru mengetahui bagaimana tabiat calon suaminya.
“Jadi, saat saya tinggal ke Hong Kong, bisa dibilang, saya belum bisa memahami watak dan sifat suami saya meskipun setiap hari tinggal bersama. Terutama yang berkaitan dengan jalan pemikiran dan ide-ide kedepan yang ada dalam benak suami saya” tambah Nita.
Perjalanan rumah tangga Nita setelah ditinggal pergi bekerja ke Hong Kong otomatis harus menjalani long distance relationship dengan berbagai resikonya. Empat tahun Nita bekerja di Hong Kong, bukan berapa besar dolar yang berhasil dia kumpulkan yang menjadi kesan penting dalam hidupnya, namun keberhasilan mengatasi permasalahan rumah tangga yang nyaris berujung perceraian yang hingga kini selalu terkenang.
Nita merasa bersyukur, jalan berpikir sehat dan tidak mengedepankan emosi berhasil membawanya keluar dari kemelut rumah tangga yang menurutnya sebenarnya berpangkal dari ketidakpahaman diantara mereka berdua terhadap jalan pemikiran masing-masing.
“Semua punya keinginan bagus untuk masa depan. Keinginan sama, tapi cara mewujudkannya yang berbeda dalam memilih jalannya. Disitulah pentingnya kita harus pandai-pandai menahan diri agar tetap bisa berpikir jernih dan bisa menemukan titik temu setelah bisa memahami pemikiran suami. Sebaliknya, suami saya juga demikian. Mas Singgih sabar dan tidak berputus asa dalam memberikan pemahaman sampai saya benar-benar paham” jelas Nita.
Rumah tangga Nita nyaris hampir kandas di Pengadilan Agama kalau saja Hidayah tidak datang memberikan akal jernih kepada keduanya. Nita yang sempat berbeda pendapat dengan suaminya, merasa sangat disakiti dan tidak dihargai. Bahkan, Nita sempat mencari-cari referensi jasa pengacara yang bisa menguruskan gugatan perceraian yang dia inginkan.
Niatan tersebut menguat, lantaran Nita merasa semakin tertekan dengan arahan suami untuk segera pulang sedangkan di kampung halaman, mereka tidak punya apa-apa. Sepengetahuan Nita, Singgih tidak bekerja. Di rumah, Singgih berkutat dengan kayu-kayu bekas serta bonggol-bonggol pepohonan.
Dari sudut pandang Singgih, ditopang dengan bakat kriya nya, kayu-kayu tersebut mulai menghasilkan uang. Namun Singgih memerlukan pendampingan Nita agar merasa tenang dan ada yang membantu mengurusi manajemen penjualan. Singgih optimis dengan idenya yang telah dia jalankan.
Di sisi Nita, lantaran tidak memahami usaha berbasis craft, yang terlihat ketidak jelasan dan sama sekali tidak ada prospek ekonomi. Hingga Nita melihat Singgih sebagai sosok suami yang egois dan nekat dengan ajakannya. Nita tidak paham dan tidak mau menelusuri jaringan yang telah Singgih bangun. Yang ada dalam pikiran Nita hanyalah kayu-kayu tersebut tidak berharga, tidak bisa dijadikan sumber ekonomi untuk hidup sehari-hari.
“Di Hong Kong memang ada beberapa makelar jasa pengacara yang memasarkan ke teman-teman TKW. Saya ketemu tiga orang makelar dari tiga pengacara berbeda. Setiap saya berbicara dengan broker tersebut, kalimat yang mereka lontarkan selalu kalimat yang memprovokasi saya agar segera menceraikan suami saya, bukan nasehat-nasehat untuk mencari jalan keluar selain perceraian. Wajarlah, mereka kan mencari uang” kenang Nita.
Pertemuan dengan tiga broker membuat Nita tersadar, ada siasat yang disampaikan agar hasrat menceraikan suami terkabulkan. Beruntung, Nita menyadari, siaasat yang disarankan tersebut sebenarnya merupakan kebohongan.
“Intinya, saya di bilangi bagaimana strateginya supaya dikabulkan hakim nanti gugatannya. Saya digiring untuk melebih-lebihkan, membuat bunga-bunga kesalahan untuk suami saya. Padahal sebenarnya tidak demikian. Lama kelamaan, saya merasa tidak enak, ternyata begini cara menceraikan suami lewat pengacara” kenangnya.
Nita bersyukur bertemu dengan seorang PMI di Hong Kong bernama Siti Hasanah dari Malang. Dari Siti, Nita mendapat banyak pencerahan, dan Nita menganggap, Hidayah datang kepadanya melalui Siti.
“Mbak Siti menasehati saya untuk berpikir dewasa. Setelah saya ceritakan semuanya, Mbak Siti memediasi antara saya dengan mas Singgih, dan alhamdulilah titik temu ditemukan. Setelah habis kontrak, mbak Siti dan mas Singgih menyarankan saya untuk tidak menambah kontrak lagi dan akhirnya pulang. Ya seperti sekarang ini, meski hidup dari pahat memahat kayu, alhamdulilah rejeki selalu datang kepada kami” terang Nita.
Melalui ApakabarOnline.com, Nita menyatakan turut prihatin setiap mendengar kasus keretakan rumah tangga pasangan PMI, khususnya PMI di Hong Kong. Pasalnya, menurut Nita, sebelum berangkat bekerja, dan setelah menjalani bekerja di Hong Kong, tidak ada persiapan kesadaran tentang menjalani hubungan jarak jauh dengan segala keterbatasannya.
Hal tersebut, menurut Nita diperparah dengan godaan pihak ketiga baik berupa manusia maupun bukan manusia.
“Rem nya kalau tidak pakem, bisa bablas ke pengadilan. Jangan gampang menuduh suami di rumah tidak bisa berbuat apa-apa, semua ada waktunya, dan semua ada sebabnya. Jadi, andaikan setiap TKW dan suaminya mau melihat dengan utuh, kesetiaan itu akan lebih mudah terjaga, keutuhan rumah tangga terjamin sampai akhir hayat kita” pungkas Nita.
Kini, berkat saling memahami dan kerjasama yang bagus diantara keduanya, perekonomian rumah tangga Nita dan Singgih terbilang lebih dari sekedar mapan, meski mereka tampak hidup sederhana. Order karya kriya kayu dalam berbagai rupa sudah tembus pasar luar negeri melalui jaringan mereka di Bali. Setiap bulan mereka selalu melayani order yang omsetnya bernilai minimal belasan juta rupiah. Bahkan, tak jarang mereka mendapat order yang dalam sebulan perputaran uang masuk hingga tembus diatas seratus juta rupiah.
Bagi Nita, idealnya hidup berumah tangga, sebagai pasangan suami istri, mereka saling berbagi, saling menyediakan diri untuk menjadi sandaran saat satu dari mereka merasa lelah. Mereka berjuang bersama, fokus mewujudkan masa depan impian mereka. []