[OPINI] Sound Goreg, Antara Hiburan, Cuan Hingga Kebisingan

MALANG – Beberapa waktu lalu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur mengeluarkan fatwa haram untuk sound horeg, jika melampaui batas wajar dan menimbulkan kemudaratan. Setelah itu, MUI Jawa Timur mendesak Pemprov Jawa Timur untuk segera membuat regulasi soal penggunaan alat pengeras suara, termasuk izin, standar teknis, dan sanksi.
Di sisi lain, Tim-9 Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur merekomendasikan regulasi berupa peraturan gubernur (pergub) tentang sound horeg untuk mengatur tingkat kebisingan yang mengganggu masyarakat.
Asal Muasal sound horeg
Sound horeg, menurut Ilman Hendrawan Saputra dalam tulisannya “Analisis sound horeg di Jawa Timur: Perspektif hadis dan implikasi medis terhadap kebisingan dan etika sosial” di Journal of Qur’an and Hadith Studies (2025), merupakan istilah yang dipakai di Jawa Timur untuk menyebut alat audio berkapasitas tinggi yang memproduksi suara nyaring. Istilah ini mencerminkan suasana yang gaduh dan semarak.
Eksistensi sound horeg tak dapat dilepaskan dari perkembangan teknologi sound system. Era 1970-an dan 1980-an, sebut Salsa Bilatul Kh, Diajeng Anugrah Cantika Sari, dan Fatkurohman Nur Rangga dalam Jurnal Riset Sosial Humaniora dan Pendidikan (2024), musik rock dan pop Barat tengah digandrungi di Indonesia. Fenomena ini mendorong kebutuhan sistem audio berkualitas tinggi, termasuk bagi band-band lokal yang ingin meningkatkan kualitas pertunjukannya.
Maka, sound system digunakan dalam konser musik. Seiring kemajuan teknologi, penggunaannya meluas ke berbagai aspek, seperti kegiatan kecil, acara adat, hingga perhelatan besar keagamaan, budaya, dan kampanye politik.
“Perkembangan sound system turut melahirkan komunitas-komunitas baru seperti pecinta audio, DJ, sound hunter, dan sound engineer, yang mayoritas beranggotakan anak muda,” tulis Salsa, Diajeng, dan Fatkurohman.
Salah satu daerah yang terkenal dengan budaya sound system adalah Desa Sumbersewu, Kecamatan Muncar, Banyuwangi, Jawa Timur. Di sana, budaya battle sound atau adu sound system menjadi tradisi, yang digelar menjelang malam takbiran Iduladha dan Idulfitri.
Kompetisi battle sound di Sumbersewu, menjadi magnet bagi komunitas sound dari berbagai daerah. Pemenangnya bisa mendapatkan popularitas, yang menjadi peluang lebih besar untuk mendapat order di berbagai daerah, dengan tarif sewa berkisar antara Rp40 juta hinga Rp120 juta per acara.
“Masyarakat Sumbersewu dijuluki sebagai ‘masyarakat horeg’ karena sound system besar yang mereka gunakan menimbulkan efek getaran bas yang kuat,” kata para penulis.
Dimas Tri Adiyanto dalam tulisannya “Hiburan Rakyat yang Menggetarkan” menyebut, pada 2014 sound horeg muncul di Malang, Jawa Timur sebagai sebuah parade perayaan yang menggabungkan unsur tradisional dan modern. Lalu, tahun 2020, sebagai respons atas kerinduan warga terhadap hiburan di luar rumah pasca pandemi.
”Fenomena sound horeg terus merambah ke daerah-daerah lain di Jawa Timur dan Jawa Tengah, seperti Pati, Blitar, Jember, Kudus, Demak, dan Rembang,” tulis Dimas.
Dampak buruk
Dalam skripsinya di Universitas Muhammadiyah Malang, Sinta Della Lesgasevia menulis, karakteristik sound horeg antara lain volume tinggi, bas yang kuat, dan durabilitas.
Mulanya menjadi hiburan, tetapi pada perkembangannya, sound horeg malah menimbulkan berbagai masalah. Ada cukup banyak catatan soal kasus yang melibatkan sound horeg. Bukan cuma kebisingan, ada pula pembongkaran fasilitas umum demi sound horeg dan warga yang tewas lantaran peralatan yang besar itu.
Misalnya, pada Sabtu (24/8/2024), seorang kru sound horeg di Blora, Jawa Tengah tewas saat karnaval usai tersetrum dan jatuh dari truk. Pada Minggu (18/5) di Desa Sumber Anyar, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur, seorang siswi SMA dan bocah berusia 9 tahun tewas karena tertimpa sound system yang jatuh. Ketika itu, diadakan acara karnaval sound horeg dalam acara perpisahan santri.
Lalu, Juni 2025 sebuah video viral di media sosial, memperlihatkan warga di sebuah desa di Jawa Timur yang berusaha merobohkan gapura demi membuka jalan bagi truk pengangkut sound horeg. Terbaru, karnaval sound horeg di Kecamatan Sukun, Kota Malang, Jawa Timur pada Minggu (13/7) diwarnai kericuhan. Seorang warga dikeroyok beberapa peserta karnaval usai memprotes kebisingan dari sound horeg karena mengganggu anaknya yang sedang sakit.
Ilman Hendrawan Saputra dalam tulisannya juga mengatakan, intensitas kebisingan sound horeg sering kali melebihi 85 desibel—yang merupakan batas yang ditentukan World Health Organization (WHO) untuk tingkat paparan suara yang aman.
“Melebihi batas ini, suara yang sangat keras dapat mengakibatkan sejumlah efek buruk, seperti kerusakan pendengaran, tekanan, dan masalah tidur,” tulis Ilman.
“Dalam beberapa situasi, kebisingan juga dilaporkan berdampak pada produktivitas dan konsentrasi orang yang terpapar secara terus-menerus.”
Batas aman kebisingan untuk masyarakat, ditentukan pada rata-rata 70 desibel dalam periode 24 jam. Tingkat ini memperhitungkan beberapa efek kesehatan, seperti hipertensi dan masalah kardiovaskular. Getaran yang timbul dari sistem suara juga berdampak pada tubuh manusia karena dapat memingkatkan tekanan darah dan mengakibatkan stres fisiologis.
Selain itu, sound horeg pun kerap memunculkan isu etika dan sosial, terutama di komunitas yang masih memegang teguh nilai-nilai agama. Ilman mencontohkan, perayaan yang memanfaatkan sound horeg sering melibatkan aktivitas yang tak sesuai dengan norma Islam, seperti campur baur pria dan perempuan tanpa batasan, penggunaan pakaian yang tak menutupi aurat, dan terganggunya ibadah.
“Ini menimbulkan dilema antara adat budaya dan ajaran agama dalam kehidupan masyarakat Muslim di Jawa Timur,” tulis Ilman.
Sebenarnya, sudah ada aturan soal penggunaan alat suara yang menimbulkan kebisingan di ruang publik. Sinta Della Lesgasevia menjabarkan dalam penelitiannya. Di tingkat nasional, ada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang mencakup pencemaran lingkungan, termasuk kebisingan.
Kemudian, ada Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2017 tentang Pengendalian Kebisingan Lingkungan. Di samping itu, ada Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum yang diterbitkan Pemerintah Kabupaten Malang.
Dalam pasal 13 huruf a beleid tersebut dijelaskan soal larangan melakukan kegiatan yang membuat ramai, gaduh, atau bisa mengganggu ketenteraman orang lain di dekat tempat ibadah, lembaga pendidikan, rumah sakit, atau tempat tinggal.
Selanjutnya, dalam pasal 13 huruf a aturan yang sama dijelaskan, dalam ketentuan ini, di dekat atau sekitar bersifat relatif tergantung ukuran batas unsur kegaduhan yang ditenggang keberadaannya, yang meliputi unsur getaran atau kebisingan, misal jika dengan jarak 50-100 meter tak menimbulkan unsur getaran atau kebisingan, maka hal itu bisa ditenggang.
“Begitu juga sebaliknya, jika dengan jarak 50-100 meter menimbulkan unsur getaran atau kebisingan, maka hal tersebut dapat dikategorikan sudah dianggap gangguan,” tulis Sinta. []