April 20, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Orang “Kaya” Paling Sering Berperilaku Buruk

3 min read

Uang bisa membeli kemewahan, tetapi juga mampu menyamarkan kebaikan. Anggapan tersebut bisa jadi benar. Sains membuktikan, makin berkuasa dan banyak uang, maka orang makin rentan berperilaku tidak sopan dan melanggar aturan.

Sebagai gambaran, data Mahkamah Agung per bulan Agustus menunjukkan, pelaku tertinggi kasus korupsi di Indonesia berada di rentang usia 40-59 tahun, tahap usia pencapaian karier alias kekuasaan.

Bahkan, jerat tahanan yang semestinya membuat para koruptor itu jera, malah jadi tempat suap-menyuap baru. Adanya sel berfasilitas mewah di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) bagi terpidana korupsi sudah jadi rahasia umum di tengah-tengah masyarakat.

Bagi para peneliti yang mempelajari kekayaan dan kekuasaan, hal-hal seperti itu tidak mengherankan.

Dacher, Keltner, seorang psikolog di University of California di Berkeley, kepada Washington Post, mengatakan bahwa kekuasaan berpengaruh pada perilaku manusia. Tahun 2012, Keltner menerbitkan eksperimen inovatif yang membuktikan ucapannya.

Sebanyak tujuh eksperimen yang dilakukan, ia menyimpulkan, orang yang lebih kaya berperilaku lebih tidak sopan dibanding individu dengan status sosial ekonomi lebih rendah. Motivasi utamanya adalah keserakahan.

Dua dari eksperimen Keltner dikutip LA Times, para peneliti menemukan bahwa orang kaya cenderung melanggar hukum saat mengemudi.

Alih-alih menunggu giliran di persimpangan empat arah, pengendara mobil mahal macam Mercedes keluaran baru, empat kali lebih mungkin menyalip atau menerobos lampu merah daripada mereka yang mengendarai mobil murah macam Honda usang.

Lalu, dalam eksperimen lanjutan, peneliti berpura-pura menjadi pejalan kaki yang menyeberang jalan di tempat penyeberangan. Peneliti menyaksikan, mobil yang paling murah berhenti, sedangkan setengah dari mobil mahal terus melesat.

Mirisnya, pengendara mobil mahal ternyata sengaja lalai, padahal sempat melakukan kontak mata dengan peneliti yang hendak menyeberangi jalan.

“Ada sesuatu tentang kekayaan dan hak istimewa yang membuat Anda merasa seperti berada di atas hukum yang memungkinkan Anda memperlakukan orang lain seperti mereka tidak ada,” ujar Keltner.

“Karena orang-orang kaya memiliki lebih banyak sumber keuangan, mereka kurang bergantung pada ikatan sosial untuk bertahan hidup,” catat Paul Piff, seorang mahasiswa pascasarjana di laboratorium Keltner, yang juga memimpin eksperimen.

Sebagaimana simpulan studi 2016, orang kaya secara tidak sadar kurang peka terhadap kebutuhan orang lain.

Menariknya, dalam eksperimennya, Piff juga menemukan bahwa standar etika siapa pun rawan berubah jika mendadak kaya. Contohnya, para pemenang lotre ataupun mereka yang kecipratan uang dari orang kaya.

Efek kekayaan dan kekuasaan pada perilaku dan moralitas seseorang memang bisa sedemikian merusak, pun tak ada korelasi positif sama sekali dengan kebahagiaan.

Bukan hanya korupsi, studi menunjukkan, orang kaya dan berkuasa lebih sering berlaku curang. Lalu, banyak pula orang kaya bermuslihat demi menghindari pembayaran pajak.

“Orang kaya itu akalnya banyak. Makanya, kaya,” sindir Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati.

Ia mengungkap bahwa semakin tinggi pendapatan orang, semakin tidak taat mereka karena semakin besar peluangnya menyiasati kewajiban pajak. Misalnya dengan membuat tameng seakan uang yang mereka setorkan untuk pajak akan dikorupsi oleh petugas pajak ataupun menyumbang ke yayasan sosial.

Padahal, studi tentang pemberian amal pernah mengungkap bahwa masyarakat berpendapatan rendah menyumbang jauh lebih besar, dibanding kelas menengah dan masyarakat berpenghasilan tinggi.

“Kekayaan pada dasarnya adalah mekanisme kekuasaan, yang memiliki efek membebaskan pada manusia. Kekayaan menghilangkan kendala masyarakat dan membebaskan orang untuk bertindak sesuai dengan keinginan dominan mereka,” kata Adam Galinsky dari Columbia Business School.

Keinginan itu, jelas Galinsky, berdasarkan studinya, mungkin bersifat altruistis atau membantu masyarakat, sehingga menimbulkan filantropis yang efektif. Bagaimanapun, kekuasaan mengarah ke perilaku melayani diri sendiri yang tidak dibatasi aturan umum atau konsekuensi bagi orang lain.

Alhasil, orang-orang kaya kurang berempati, sulit melihat perspektif orang lain, dan egois. Bahkan, orang kaya lebih banyak selingkuh dari pasangannya, pun lebih cenderung mengutil.

Sebuah penelitian menjelaskan kenapa mereka sering berlaku tidak jujur. Menukil Gizmodo, orang kaya yang dilibatkan pada kompetisi kasino curang diperbolehkan menyuap untuk memperoleh kemenangan. Jumlahnya bebas, meskipun peneliti menetapkan standar.

Hasilnya, tak mengejutkan, mereka yang menang memberi lebih banyak uang dari jumlah yang seharusnya. Menurut peneliti, perilaku berbohong bukan hanya muncul dari sebuah kemenangan, tetapi dari perasaan layaknya seorang pemenang.

Singkatnya, sesuai dengan temuan lain yang serupa, dalam dunia yang penuh persaingan, orang bisa tidak jujur dan berlaku buruk karena kekayaan serta kekuasaan membuatnya lebih sulit menahan diri.

Kendati begitu, Michael Kraus, seorang psikolog sosial di Yale School of Management, mengatakan bahwa di kalangan ilmuwan ada ketidaksepakatan tentang efek yang tepat dari kekayaan dan etika, serta seberapa besar pengaruhnya.

Lebih penting, lanjut dia, adalah implikasi yang ditimbulkan etika orang kaya dan bagaimana menanamkan kesadaran soal itu. Sebab, pengaruh mereka dibanding orang biasa saat berlaku buruk jauh lebih besar.

Kraus mengungkapkan perilaku tidak sopan yang dilakukan orang-orang kaya berpotensi menghambat mobilitas, kesetaraan sosial, dan memperburuk kesenjangan dalam masyarakat.

“Bahkan, bisa memengaruhi seluruh negara dan jalannya demokrasi,” pungkas Krauss.[Zora]

Advertisement
Advertisement