March 22, 2025

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Paradoks Perilaku Konsumsi Ramadan: Impulsif Belanja Setelah Menahan Lapar Seharian

5 min read

JAKARTA – Ramadan selalu menjadi bulan yang dinantikan banyak orang termasuk saya. Bulan ini menjadi momen muslim untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan dengan sebulan penuh menahan diri dari hawa nafsu dan belajar hidup sederhana.

Meski demikian, ada satu kebiasaan yang selalu saya ulang setiap tahun: belanja berlebihan menjelang berbuka.

Menjelang azan Magrib, saya kerap berdiri di antrean kasir dengan troli penuh makanan. Tak hanya kurma dan kolak yang jadi menu hidangan berbuka, tetapi juga ayam panggang, martabak, serta aneka camilan yang tak ada di daftar belanja saya. “Ah, kapan lagi? Mumpung Ramadan!” batin saya.

Namun, ketika berbuka, perut yang sejak siang menjerit kelaparan ternyata hanya mampu menampung segelas air dan sedikit makanan. Sisanya? Masih tersisa di meja.

Pemandangan serupa saya temui di luar pusat perbelanjaan. Pasar tradisional tumpah ke jalanan, pedagang kaki lima berjejer di trotoar, dan kendaraan nyaris tak bergerak menjelang waktu berbuka. Banyak titik kota yang penuh sesak, terutama di sore hari, ketika orang-orang berburu takjil dan makanan berbuka. Bahkan, restoran cepat saji sering kali kehabisan stok sebelum waktu berbuka tiba.

 

Ritual ekonomi Ramadan

Ramadan bukan hanya tentang ibadah, tetapi juga tentang perilaku konsumsi yang meningkat pesat.

Fenomena ini bisa dijelaskan melalui konsep ritual economy (ekonomi ritual), yaitu bagaimana praktik keagamaan dan budaya memengaruhi aktivitas ekonomi dalam suatu masyarakat. Ramadan menciptakan pola konsumsi yang khas: masyarakat secara kolektif meningkatkan pengeluaran untuk makanan, pakaian, serta kegiatan sosial lainnya.

Sebagai akademisi yang mendalami soal ekonomi perilaku, saya mencoba membedah bagaimana konsumsi selama bulan puasa, yang seharusnya mengajarkan pengendalian diri, menjadi bentuk partisipasi dalam ritual sosial dan agama yang memiliki nilai simbolis.

Fakta menunjukkan bahwa Ramadan adalah momen melonjaknya konsumsi rumah tangga. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pengeluaran rumah tangga meningkat 20-30% selama Ramadan, harga bahan pokok naik hingga 10-15%, dan limbah makanan bertambah 40% dibanding bulan biasa.

 

Kontrol dan pembenahan diri

Tren melonjaknya konsumsi selama Ramadan bukan hanya terjadi di Indonesia. Studi Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) pada 2021 menunjukkan bahwa di banyak negara Muslim, limbah makanan selama Ramadan–yang seharusnya mengajarkan kesederhanaan–justru meningkat hingga 30%.

Secara psikologis, puasa menempatkan tubuh dalam kondisi hot state (keadaan emosional tinggi) akibat rasa lapar dan lelah. Dalam kondisi ini, kemampuan self-control (pengendalian diri) melemah.

Dalam keadaan ini, kita lebih mudah membuat keputusan yang impulsif tanpa pemikiran yang tenang. Tak heran, menjelang berbuka, kita sering kali membeli lebih banyak makanan daripada yang benar-benar kita butuhkan.

Saat lapar, otak kita mengalami bias proyeksi. Ini membuat kalkulasi kita seputar porsi asupan makanan yang dibutuhkan tubuh cenderung meleset.

Efek dopamin yang memicu rasa senang berlebihan juga membuat kita lebih menikmati proses berbelanja makanan, meskipun nantinya tidak dikonsumsi.

Tak hanya itu, self-licensing effect (efek pembenaran diri) turut membuat seseorang merasa layak menghadiahi dirinya sendiri setelah berpuasa seharian. Efek ini memberikan “izin moral” untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan prinsip sebelumnya: sesudah menahan lapar seharian, wajar kalau sekarang ingin makan lebih banyak. Serupa, seseorang yang sudah berolahraga merasa tidak masalah untuk makan junk food dalam jumlah besar.

 

Dorongan kelelahan berpikir dan norma kolektif

Sepanjang hari berpuasa, kita dihadapkan pada berbagai keputusan kecil. Misalnya mulai dari menentukan aktivitas agar tetap produktif, memilih menu sahur yang tepat, hingga mengatur energi agar bertahan sampai jam berbuka puasa.

Proses pengambilan keputusan yang terus-menerus ini menyebabkan decision fatigue (kelelahan dalam mengambil keputusan). Hal tersebut merupakan situasi ketika kemampuan seseorang untuk berpikir rasional menurun akibat rentetan keputusan yang harus dibuat.

Saat melihat banyak pilihan dalam rak makanan di supermarket atau menu berbuka yang menggoda, kelelahan mental ini membuat kita lebih cenderung memilih berdasarkan dorongan sesaat ketimbang pertimbangan rasional. Inilah mengapa belanja impulsif dan konsumsi berlebihan sering terjadi di waktu berbuka.

Selain itu, peningkatan konsumsi bukan hanya terjadi karena faktor psikologis, tetapi juga karena adanya normative reinforcement (penguatan normatif). Artinya, masyarakat merasa bahwa berbelanja lebih banyak, terutama untuk berbagi makanan dengan keluarga dan kerabat adalah bagian dari kewajiban sosial dan ekspresi kepatuhan terhadap norma keagamaan. Hal ini memperkuat perilaku konsumsi yang mencolok (conspicuous consumption).

Dalam Teori Konsumsi Mencolok, ekonom dan sosiolog asal Amerika Serikat Thorstein Verble menyatakan bahwa, perilaku konsumsi tidak hanya didorong oleh kebutuhan. Perilaku tersebut juga dipicu oleh keinginan untuk menunjukkan status sosial dan kepatuhan terhadap norma kolektif.

Dalam konteks Indonesia, teori ini semakin relevan karena budaya kolektivisme yang tinggi sebagaimana dijelaskan dalam model Dimensi Budaya Hofstede. Ia adalah pakar psikologi sosial asal Belanda yang membedah enam dimensi dasar yang memengaruhi bagaimana masyarakat mengorganisasikan komunitasnya sendiri.

Fenomena ini adalah ‘paradoks Ramadan’—ketika niat menahan diri berubah menjadi dorongan untuk mengonsumsi lebih banyak. Dari sudut pandang psikologi, sosiologi, hingga ekonomi perilaku, Ramadan mengungkap betapa kuatnya pengaruh emosi, sosial, dan budaya dalam membentuk perilaku konsumsi kita.

Ramadan seharusnya menjadi bulan refleksi, bukan sekadar ajang konsumsi. Karena sejatinya, puasa bukan hanya tentang menahan lapar, tapi juga mengendalikan keinginan.

 

Tips menahan diri berbelanja saat Ramadan

Di berbagai kisah dan penelitian psikologi, kemampuan mengelola pikiran dan menahan impuls terbukti menjadi faktor penting dalam pengendalian diri dan kesuksesan jangka panjang. Berikut adalah strategi yang dapat kita terapkan untuk mencegah pembelian impulsif:

 

  1. Delay of gratification (penundaan kepuasan) dan precommitment (prakomitmen). Delay of gratification melibatkan latihan kesabaran dengan menunda kepuasan instan demi manfaat jangka panjang, seperti membuat daftar belanja sebelum pergi ke pasar dan hanya membeli sesuai kebutuhan.

Sementara itu, precommitment berarti menciptakan batasan sebelum tergoda. Caranya, kita dapat membawa uang tunai dalam jumlah terbatas saat berbelanja atau berbuka dengan porsi kecil sebelum memutuskan apakah kita masih perlu makan lagi.

 

  1. Menciptakan batasan lingkungan. Menciptakan lingkungan yang mendukung pengendalian diri menjadi langkah penting dalam mengelola impulsivitas. Menghindari tempat belanja saat perut kosong atau membatasi interaksi dengan iklan makanan dapat membantu mengurangi paparan terhadap godaan konsumsi berlebihan .

Menggunakan metode pembayaran tertentu—seperti uang tunai dengan jumlah terbatas—dapat berfungsi sebagai pengingat fisik terhadap limit pengeluaran kita. Penelitian menemukan bahwa penggunaan uang fisik memicu efek biaya psikologis lebih tinggi dibandingkan uang elektronik. Ini dapat membantu kita menekan pengeluaran impulsif.

Tak hanya itu, memilih piring kecil dapat membantu kita mengurangi konsumsi makanan saat berbuka puasa. Sementara memiliki kulkas dan lemari pakaian yang lebih kecil dapat mendorong kita berpikir dua kali sebelum membeli makanan dan pakaian berlebihan.

 

  1. Mental accounting atau akuntansi mental. Kita sering kali secara subjektif mengelompokkan uang ke dalam kategori mental yang berbeda. Ini kemudian memengaruhi pengambilan keputusan keuangan kita.

Sebagai contoh, seseorang mungkin memperlakukan bonus tahunan secara berbeda dibandingkan dengan gaji bulanan, meskipun jumlah keduanya sama. Bonus cenderung digunakan untuk pengeluaran konsumtif atau investasi berisiko, sedangkan gaji lebih sering dialokasikan untuk kebutuhan rutin.

Dalam konteks Ramadan, khususnya THR, bias kognitif ini dapat digunakan untuk tujuan positif. Kita, misalnya, dapat menyisihkan uang tunjangan hari raya (THR) ke rekening pendidikan anak.

Dengan memahami mekanisme psikologis yang mendorong perilaku konsumtif selama Ramadan serta menerapkan strategi yang tepat, kita dapat menjadikan bulan suci ini sebagai latihan nyata dalam menyeimbangkan antara kebutuhan, keinginan, dan nilai-nilai yang kita junjung tinggi. []

Penulis : Lury Sofyan, Behavioral Economist, Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII)
Sumber The Conversation Indonesia

Advertisement
Advertisement

Leave a Reply