Pekerja Migran Perempuan Masih Rentan Eksploitasi dan Kekerasan
MATARAM – Situasi ketidakadilan, kekerasan dan eksploitasi pada perempuan buruh migran (PBM) masih terjadi di berbagai tahapan migrasi, mulai dari pra pemberangkatan, penempatan maupun pasca kepulangan.
Dalam 3 tahun terakhir Solidaritas Perempuan Mataram (SPM) mencatat, terhitung sejak tahun 2016 hingga 2018 sebanyak 8 kasus perempuan buruh migran, hanya saja sebagian kasus yang terselesaikan dengan terpenuhinya tuntutan PBM dan keluarganya.
Dinukil dari Tagar, Data penanganan kasus yang ditangani SPM menunjukkan tingginya kasus-kasus penempatan non-prosedural terhadap PBM juga terjadi di beberapa wilayah dengan negara tujuan Arab Saudi, yaitu sebanyak 36% dengan modus visa umroh dan cleaning service.
“Selain menjadi korban penempatan non-prosedural, PBM juga menjadi korban perdagangan manusia,” ungkap Ketua Badan Eksekutif Solidaritas Perempuan Mataram, Eli Sukemi kepada Tagar News di kantornya, Sabtu (22/12).
Eli menuturkan, maraknya kasus ini turut dipicu oleh terbitnya kebijakan Kepmenaker No 260/2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia pada pengguna perseorangan di 19 negara-negara Timur Tengah.
Untuk menurunkan angka kasus dan permasalahan yang menimpa PBM khususnya di kawasan Timur Tengah, pemerintah mengeluarkan kebijakan penghentian pengiriman PBM ke sana. Namun faktanya, kompleksitas persoalan PBM yang bekerja di Negara Timur Tengah paska penerapan kebijakan ini justru semakin meningkat.
“Bentuk pelanggaran yang mengeksploitasi perempuan ini merupakan pola atau modus dari tindak pidana perdagangan orang atau trafficking yang dilakukan oleh pelaku, baik PPTKIS, oknum pemerintah, majikan, maupun keluarga,” ungkap Eli.
Eli memaparkan, gambaran situasi tersebut seharusnya menjadi cerminan bagi pemerintah Indonesia bahwa Kepmenaker No. 260 Tahun 2015 bukanlah langkah solusi dalam menyelesaikan berbagai persoalan PBM.
Sebaliknya, kebijakan ini membuat PBM semakin rentan mengalami berbagai kekerasan, pelanggaran hak, termasuk menjadi korban trafficking.
Terlebih kebijakan itu muncul di tengah situasi pemiskinan yang menguat di Indonesia, sehingga penutupan penempatan justru menjadi pelanggaran hak warga negara untuk bekerja dan mendapatkan kehidupan yang layak.
Selain itu, kebijakan penghentian ini bersifat diskriminatif karena membatasi dan mengatur pilihan perempuan untuk bekerja diluar negeri. Padahal pelindungan bagi PBM dijamin secara tegas dalam Konvensi PBB Migran 1990 maupun Rekomendasi Umum Komite CEDAW No. 26 mengenai Pekerja Migran Perempuan.
“Negara asal harus menghormati dan melindungi hak asasi perempuan warga negaranya yang bermigrasi dengan tujuan untuk bekerja,” kata Eli mengutip point 24 Konvensi PBB 1990.\
Refleksi Satu Tahun UU PPMI
Pada November 2017, DPR mengesahkan UU Nomor 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI). UU PPMI menggantikan UU Nomor 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU PPTKILN).
Terdapat beberapa perbaikan dalam UU PPMI yang menganut semangat dan prinsip-prinsip perlindungan dalam Konvensi PBB Migran 1990 maupun mencakup beberapa pengaturan yang mengakomodir masukan buruh migran dan masyarakat sipil.
Berdasarkan hasil identifikasi awal yang dilakukan Solidaritas Perempuan menganggap masih ada pasal diskriminatif terhadap PBM yang bekerja sebagai PRT, seperti proses penempatannya masih diserahkan kepada pihak swasta atau perusahaan yang berdasarkan analisis kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran hak, justru menjadi aktor utamanya.
“PBM-PRT merupakan kelompok pekerja paling rentan serta jauh dari akses terhadap keadilan dan sudah seharusnya pemerintah memberikan perlindungan secara langsung dan maksimal,” ujar Eli.
“Kebijakan UU PPMI ini juga sifatnya masih baru dan belum semua warga mengetahui, apalagi untuk implementasinya,” imbuhnya.
UU PPMI juga memandatkan kepada pemerintah untuk menyusun 28 peraturan turunan yang harus diselesaikan paling lambat 2 tahun sejak diundangkan.
Namun, faktanya hingga UU berusia satu tahun lebih, baru satu peraturan yang berhasil diterbitkan, yaitu Permenaker Nomor 18/2018 tentang Jaminan Sosial Pekerja Migran Indonesia.
“Kami menilai peraturan ini pun disusun tanpa mengindahkan prinsip meaningful consultative baik dengan masyarakat sipil maupun buruh migran,” ujarnya.
Hal ini diduga juga akan terjadi pada pembahasan peraturan turunan lainnya, sehingga, menurut Eli, patut dipertanyakan kembali penerapan prinsip transparansi dan partisipasi dalam pembahasan kebijakan pemerintah tahun 2019 yang merupakan momentum politik bagi Indonesia.
Karenanya, Eli berharap penting untuk mengawal kepentingan Perempuan Buruh Migran agar menjadi prioritas baik bagi pemerintahan saat ini maupun pemerintah ke depan.
“Buruh Migran sejatinya bukan hanya menjadi target suara namun harus secara jelas dilihat sebagai pemangku kepentingan, serta menjadikan perlindungan buruh migran sebagai agenda prioritas negara,” kata Eli.
Melihat situasi-situasi tersebut, pada momentum Hari Buruh Migran Internasional tahun 2018 ini, Solidaritas Perempuan Mataram menyampaikan beberapa point sikap agar Pemerintah NTB meningkatkan sosialisasi UU PPMI.
Selain memastikan implementasi dapat dilakukan sampai tingkat bawah supaya menyentuh sasaran ke masyarakat bawah, khususnya buruh perempuan dalam upaya perlindungan komprehensif.
SPM berharap pemerintah harus bisa mengambil upaya-upaya nyata untuk mewujudkan perlindungan hak bagi PBM-PRT melalui ratifikasi Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak Pekerja Rumah Tangga.
Di samping itu, pemerintah pusat dan daerah harus mampu menerapkan prinsip dan mekanisme yang proaktif dan responsif gender dalam merespon maupun menindaklanjuti setiap pengaduan kasus-kasus yang dialami oleh PBM korban kekerasan dan pelanggaran hak termasuk korban trafficking. []