Pemerintah RI Berkomitmen Melindungi Hak Kewarganegaraan Diaspora Indonesia
JAKARTA – Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) berkomitmen memberikan kepastian hukum dan melindungi diaspora Indonesia di luar negeri. Ini diwujudkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 tahun 2022 yang diundangkan 31 Mei lalu.
“Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah (PP) No. 21 Tahun 2022 (PP 21), menunjukkan Pemerintah berkomitmen memperkuat sistem perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dan diaspora Indonesia di luar negeri,” kata Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, dalam keterangan resminya, Senin (27/06/2022).
PP 21 merupakan perubahan atas PP No. 2 Tahun 2007 tentang Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia. Kebijakan ini mengatur mekanisme penyelesaian permasalahan diaspora Indonesia terkait kewarganegaraan yang tidak diatur baik dalam PP No. 2 Tahun 2007 bahkan Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI.
Salah satu persoalan diaspora Indonesia yang jadi perhatian yaitu soal dwikewarganegaraan dan kehilangan kewarganegaraan. Padahal, status kewarganegaraan penting bagi setiap orang untuk memberikan keadilan dan kepastian hukum.
Data kewarganegaraan dari Kemenkumham mencatat, sekitar 13.092 anak perkawinan campuran telah terdaftar sebagai anak berkewarganegaraan ganda berdasarkan Pasal 41 Undnag-Undang Kewarganegaraan.
Dari data tersebut, 3.793 anak tercatat tidak atau terlambat memilih salah satu kewarganegaraannya kepada Menteri Hukum dan HAM. Sementara, sekitar 507 anak tidak didaftarkan sebagai anak berkewarganegaraan ganda sebagaimana Pasal 41 Undang-Undang Kewarganegaraan.
Pada kesempatan yang sama, Dirjen Administrasi Hukum Umum (AHU) Kemenkumham, Cahyo Rahadian Muzhar mengungkapkan, PP 21 berguna untuk melindungi hak-hak anak yang lahir yang memiliki permasalahan kewarganegaraan.
“PP 21 melindungi hak-hak bagi anak yang lahir sebelum berlakunya UU Kewarganegaraan yang tidak didaftarkan, dan anak yang lahir sebelum berlakunya UU Kewarganegaraan yang telah didaftarkan namun tidak memilih kewarganegaraan Indonesia hingga batas waktu yang ditentukan berakhir,” kata Cahyo.
Cahyo menambahkan, PP 21 juga menyempurnakan teknis tata cara pelaporan kehilangan dan memperoleh kembali kewarganegaraan Indonesia bagi WNI.
“Aturan terbaru ini bahkan memperkuat basis data yang mengatur mekanisme pemerolehan dan permohonan akses kewarganegaraan secara elektronik dan terintegrasi antara instansi pemerintah di tingkat pusat,” ujar Cahyo.
Sementara, anak-anak dari perkawinan campuran antara warga lintas negara yang memiliki kewarganegaraan ganda, tidak jarang malah mengalami kehilangan kewarganegaraannya. Hal ini umumnya terjadi ketika anak atau orang tua terlambat memilih kewarganegaraan.
Menurut Undang-Undang Kewarganegaraan, orang tua atau anak dari perkawinan campuran berhak memilih kewarganegaraan ketika berusia usia 18 tahun atau selambat-lambatnya 21 tahun. Permasalahan ini diakomodir melalui PP 21 dengan memberikan kesempatan kembali kepada mereka untuk memperoleh status kewarganegaraan Indonesia dalam jangka waktu dua tahun dari waktu PP 21 diundangkan sampai dengan 31 Mei 2024.
Kebijakan ini juga mengatur prosedur permohonan bagi anak-anak diaspora Indonesia untuk memperoleh kewarganegaraan Indonesia. Misalnya, anak-anak yang tidak memiliki persyaratan surat keterangan keimigrasian (ITAP/ITAS) tetap dapat memperoleh kewarganegaraan Indonesia, dengan melampirkan biodata penduduk yang dikeluarkan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dispendukcapil).
“Penyempurnaan hukum seperti melalui PP 21 ini sejalan dengan berbagai upaya perbaikan iklim kondusif negara untuk menarik berbagai pihak datang ke Indonesia, guna memberikan kontribusi positifnya bagi pembangunan nasional,” ujar Konsul Penerangan Sosial Budaya KJRI San Francisco, Mahmudin Nur Al-Gozaly dalam keterangannya. []