December 22, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Penetrasi Pembayaran Digital Asing, Siapa Diuntungkan ?

3 min read
Ilustrasi alat pembayaran digital | Istimewa

Ilustrasi alat pembayaran digital | Istimewa

Dua perusahaan raksasa asal China yang  juga menyediakan jasa pembayaran nontunai,  Alipay dari Alibaba Grup dan WeChat Pay dari Tencent Holdings Ltd, dikabarkan segera berekspansi ke Indonesia. Terhadap kehadiran mereka, industri jasa keuangan patut berhati-hati lantaran masuknya jasa pembayaran asing itu disebut-sebut berpotensi melakukan penetrasi pasar di dalam negeri.

Ekonom Bank Central Asia (BCA), David Sumual mengungkapkan, penetrasi pasar mungkin saja terjadi, meski awalnya pembukaan akses bagi jasa pembayaran asing bertujuan memfasilitasi para wisatawan mancanegara (wisman) khususnya dari China. Buktinya praktik transaksi menggunakan Alipay maupun Wechat Pay yang tak berizin sudah dilakukan beberapa toko (merchant) di Bali.

Hal itu terjadi karena wisatawan China telah terbiasa menggunakan sistem pembayaran tersebut. Jadi, penggunaan sistem pembayaran yang sama di Indonesia dianggap lebih memudahkan bagi mereka. Belum lagi, jumlah wisman di Bali mayoritas berasal dari Negeri Tirai Bambu tersebut.

“Jangan sampai nanti kalau dalam bahasa spesifik trojan horse yang cerita Yunani itu, di mana memanfaatkan wisatawannya untuk penetrasi pasar,” ungkap David kepada Validnews, Sabtu (22/12/2018).

David mengimbau perbankan Indonesia patut meningkatkan pelayanannya. Mengingat jasa pembayaran nontunai milik asing tersebut memungkinkan berekspansi dengan masuk ke merchant-merchant lain. Padahal, Indonesia sendiri sudah memiliki banyak jasa pembayaran nontunai yang sudah tersedia di berbagai merchant mulai dari restoran hingga ritel.

Di sisi lain David menjelaskan, kerja sama perusahaan penyedia jasa pembayaran asing dengan bank domestik turut memberikan dampak positif. Yakni terlacaknya jejak transaksi wisman ketika melakukan pembayaran di Indonesia.

“Kalau hanya menggunakan sistem mereka itu kan sudah di luar sistem perbankan kita, numpang lewat saja. Padahal seharusnya di situ ada transaksi. Transaksi itu harusnya ada PPN (pajak pertambahan nilai). Tapi kalau bekerja sama dengan perbankan nasional, artinya kalau ada pajak terhutang atau lain-lain, akan terdeteksi sistem pembayaran kita,” papar David.

 

Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) meminta Alipay dan WeChat membantu memasarkan produk-produk domestik kepada turis-turis China. Hal ini terkait adanya temuan penjualan produk-produk China di beberapa toko merchandise yang memberi akses transaksi menggunakan jasa pembayaran asing tersebut.

“Kami juga minta kerja sama dengan gerai-gerai untuk jual produk domestik. Kami juga koordinasi dengan Gubernur Bali soal ini,” kata Deputi Gubernur BI Sugeng, seperti dikutip Antara, Jumat (21/12/2018).

Saat ini, Alipay dan Wechat sedang melakukan penjajakan dengan Bank domestik, khususnya bank umum kegiatan usaha (BUKU) IV. Kerja sama dengan bank domestik menjadi syarat bagi Alipay dan Wechat jika ingin merambah pasar di Indonesia. Hal itu sesuai ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) 19/8/PBI/2017 tentang Gerbang Pembayaran Nasional (GPN).

Setelah mereka bekerja sama dengan Bank BUKU IV, BI tetap akan melakukan kajian untuk memberikan izin operasi. Salah satu aspek kajian itu mengenai perlindungan konsumen.

“Yang sekarang sedang proyek percontohan nanti awal 2019 selesai, nanti kami review lagi,” ujar Sugeng.

Berdasarkan laporan yang diterima BI, Alipay dan Wechat sudah melakukan penjajakan dengan empat Bank BUKU IV  yang bermodal inti di atas Rp30 triliun. Bank-bank tersebut, yakni BRI, BCA, CIMB Niaga, dan BNI.

Sebelumnya, Alipay dan WeChat secara tanpa izin bekerja sama dengan sektor usaha (merchant) di Bali untuk menawarkan jasa pembayaran kepada turis-turis asing, terutama turis China.

Sebanyak 25 toko yang kedapatan memberi akses transaksi tak berizin itu pun ditutup oleh pemerintah provinsi setempat pada Oktober kemarin. Menyusul 16 toko lagi pada bulan berikutnya.

Adanya transaksi menggunakan sistem pembayaran nontunai milik China di toko suvenir di Bali turut diakui Deputi Direktur Komunikasi Pemasaran Internasional Kementerian Pariwisata (Kemenpar), Erwita Dianti. Toko oleh-oleh milik pengusaha China yang melakukan praktik tersebut bahkan terkadang tidak memiliki plang atau papan nama pada tokonya.

“Berarti mereka tidak bisa dikenai pajak,” ujar Erwita di sela-sela pameran pariwisata di salah satu pusat perbelanjaan di Guangzhou China, beberapa waktu lalu.

Kepala BI Perwakilan Beijing, Arief Hartawan sebelumnya telah meminta toko-toko China di Bali tersebut untuk menggunakan sistem transaksi yang berlaku di Indonesia, termasuk dengan menggunakan uang rupiah.

“Kalau barangnya dari China dan bayarnya pakai uang China, kita enggak dapat apa-apa,” ujar Arief, beberapa waktu lalu, seperti dilansir Antara.

Praktik transaksi menggunakan jasa pembayaran milik asing tersebut, ungkap Arief, sebenarnya tidak merugikan Indonesia. Hanya saja jika wisman melakukan menggunakan sistem pembayaran Indonesia, setidaknya transaksi-transaksi yang dilakukan akan tercatat, terhitung, dan turut menyumbang devisa bagi Indonesia.

Banyaknya wisatawan China yang datang ke Bali juga diungkapkan Arief seharusnya diimbangi dengan banyaknya penerimaan devisa.

“Ada aliran barang dan orang, ada aliran uang, idealnya sih begitu. Kalau transaksi dengan menggunakan perbankan, kan tercatat,” tukas Arief.

Pertimbangan perusahaan jasa pembayaran asing harus bekerja sama dengan perbankan domestik, jika ingin berbisnis di dalam negeri, agar pemrosesan, dan penyelesaian transaksi dapat melibatkan lembaga jasa keuangan domestik.[]

Advertisement
Advertisement