December 22, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Pengakuan Baby Rivona, Mantan PMI Yang Berdamai Dengan HIV

7 min read

ApakabarOnline.com – Meskipun stigma masyarakat selama ini selalu mendahulukan prasangka buruk terhadap penderita HIV, namun tidak seluruh orang yang hidup dengan HIV (ODHA) memiliki latar belakang perilaku buruk. Penularan HIV bisa terjadi lewat transfusi darah, ASI, hubungan kelamin serta jarum suntik.

Mantan PMI, Baby Rivona sudah 16 tahun hidup dengan HIV. Dan dia masih sehat-sehat saja. Semua bermula dari pernikahan yang gagal. Pernikahan yang terjadi ketika usianya belum lagi 20. Perkawinan yang tidak saja memberinya seorang putri. Tapi juga konflik demi konflik. Lalu, ujung tak terhindarkan: perceraian.

Di tengah kekusutan itu, seorang teman indekos menawarkan narkotika. Jenis putau. Zat beken dengan pelbagai sebutan. Di antaranya pete (PT), etep, atau bedak. Pada 1990-an, etep barang kesohor. Banyak dicari. Makin ramai ketika Indonesia mulai kena getah krisis ekonomi. Masa-masa menuju kejatuhan Suharto.

Dari sekadar coba-coba, Baby Rivona menyelam lebih ke dalam. Menjelajahi palung yang biasa menyandera para pecandu.

Dia masuk lingkaran pemakai waktu masih di Bandung, Jawa Barat. Tempatnya berkuliah dan membangun rumah tangga. Masalahnya, setelah pindah kota, putau masih terus membuntutinya. Tanpa ampun. Mengikutinya sampai ke Bogor. Ke Jakarta. Ke Bali.

“Selama masih tinggal di Indonesia, masih ketemu aja itu putau. Ketemu aja radar sesama junkie,” dia berujar pada Senin (21/1/2019) di kantornya–sebuah lembaga swadaya masyarakat bernama Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI)–di Johar Baru, Jakarta Pusat.

IPPI berdiri pada 2005. Di antara fokus kegiatannya, meningkatkan kapasitas perempuan ODHA atau perempuan terdampak HIV/AIDS

Kebiasaan awal pakau–kependekan dari ‘pakai putau’–Baby nge-drag. Itu ungkapan untuk menghirup dengan hidung. Bubuk narkotika dibakar di atas kertas aluminium. Asap dari proses tersebut lalu disedot.

You’re chasing the dragon. Mengudak naga.

“Waktu anak usia tujuh tahun, saya baru nyuntik,” katanya.

Dan keputusan ‘nyuntik’, atau nyepet–dari kata spuit, yang dieja sebagai spet–itu terbukti salah besar. Risiko HIV cepat mengintai. Sialnya, Baby belum menyadari ancaman itu.

Yang jelas, kian hari dia kian tak tahan dengan keadaan. Pada 2001, Baby Rivona akhirnya terbang ke Malaysia untuk mengelakkan diri dari kehancuran. Usianya 34. Dia ingin membuktikan bahwa pergi ke luar negeri menjadi satu-satunya jalan untuk lolos dari narkotika.

 

“Saya (ibaratnya) udah tinggal kolor doang,” ujarnya tentang kondisi saat itu.

 

Diagnosis

Cabut dari Indonesia satu hal. Dapat uang pas tinggal di negeri orang hal lain. Satu-satunya kemungkinan yang terpikir olehnya untuk merengkuh dua hal tersebut adalah menjadi pekerja migran Indonesia (PMI).

Di Medan, Sumatera Utara, perempuan bermarga Nasution itu berangkat ke Penyalur Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) setempat. Lalu, sembari melangkah ke kantor PJTKI, dia melakukan hal yang menjadi simbol pensiun dari narkotika.

“Waktu saya ke PJTKI, drugs terakhir saya pakai. Sebelum saya melangkah masuk, jarum suntik dan semuanya saya taruh di tong sampah,” ujarnya.

Selama di Malaysia Baby Rivona bekerja di rumah seorang pengusaha Singapura berdarah Cina. Sang majikan single parent. Tak neko-neko. Punya seorang anak. Memiliki toko. Restoran. Kios hewan.

Baby Rivona jadi tak memikirkan hal lain. Dia cuma bekerja. Menyapu. Mengepel. Mencuci. Menyeterika. Bersih-bersih.

Kesungguhan itu lantas berbalas. Narkotika melupakannya. Dia pulih. Badannya kembali bugar.

Tetapi, sayangnya terang itu cuma hadir sebentar.

Setelah dua tahun bekerja, dia mesti memperbarui kontrak pada 2003. Satu syaratnya, uji medis. Hasil pengecekan terbukti bikin hati Baby nelangsa. Darahnya positif menanggung HIV. Human immunodeficiency virus.

Kabar tentang kesimpulan tes kesehatan itu disampaikan oleh si bos. Lewat telepon. Baby Rivona ditanya apakah selama di Malaysia “main seks”. Dia kasih jawaban “tidak”.

Namun, majikan Baby mafhum. Dia tetap ingin mempekerjakan perempuan bermarga Nasution itu.

“Don’t worry. Kamu yang penting sekarang jaga kesehatan. Immune system kamu tetap bagus. Saya beliin kamu vitamin yang bagus,” kata Baby menirukan si induk semang.

 

Terapi antiretroviral

Terpapar virus HIV kemudian mengubah status Baby Rivona di mata pemerintah setempat. Dia dipandang sebagai ancaman. Otoritas Malaysia pun memutuskan untuk memulangkannya.

Dia merasa kena sial dua kali. Sudah kena virus seram, diusir pula. Hari-hari awal menyadari status sebagai ODHA (orang dengan HIV/AIDS) membuat dia kalut. Dia cuma tahu, “besok saya akan mati”.

Namun, belakangan kemauannya untuk bertahan mengalahkan kecemasannya. Dia pun terjun ke jagat aktivisme. Belajar banyak tentang virus di tubuhnya. Berdamai dengan keadaan. Bergerak pelan-pelan.

Kesungguhan itu menjadi benteng. Belasan tahun setelah terdiagnosis HIV, maut belum menyambanginya. Ketahanan itu nyata.

Secara fisik, jika kiranya Anda bertemu dengannya, tak tampak tanda-tanda orang sakit. Air mukanya berwarna. Berat badan stabil. Dia tak sungkan berkelakar. Bahkan tertawa keras-keras.

“Saya minum ARV sejak 2008. Tapi selama lima tahun tidak ARV (sejak 2003), kondisi baik-baik saja. Masalahnya tahun kelima kemungkinan besar daya tahan semakin menurun. Takkan bisa melawan jumlah virus lagi,” ujarnya.

ARV kependekan antiretroviral. Gabungan kata nan tak bisa mandiri. Biasanya menempel sebagai frasa berikut: ‘pengobatan ARV’ atau ‘terapi ARV’.

Sebenarnya, akronim lazim untuk terapi ARV adalah ART: antiretroviral therapy. Tapi di Indonesia lumrah disebut ‘obat ARV’ atau ARV saja.

Metode perawatan itu mesti dijalani para ODHA agar kualitas kesehatan mereka membaik. Terjaga. Sebab, HIV belum ada obatnya. Terapi ARV dijalani untuk menekan virus hingga pada tahap tak lagi terdeteksi. Tiarap. Tidak bisa usil.

Selain bikin ODHA sanggup berfungsi lagi wajar sebagai manusia–meski hingga kini mereka acap kali dicap jelek dan menjadi target diskriminasi–ART mampu mengurangi risiko penularan HIV. Bahkan, menghentikannya. Karena itu, ODHA bisa merencanakan punya anak tanpa infeksi HIV.

Anak kedua Baby Rivona–dari suami berbeda–lahir setahun setelah dia mengikuti terapi antiretroviral. Usia Baby sudah 43 kala melahirkannya. Sang putra–yang kini mengikuti homeschooling dan digambarkan sebagai bocah pintar–terbukti tak mewarisi HIV dari orang tuanya. Negatif. Umurnya kini 10.

Ayah sang anak, suami kedua Baby Rivona, juga ODHA. Mereka naik pelaminan pada 2006.

“Waktu awal tahu saya hamil, keluarga mendorong aborsi karena memikirkan keselamatan saya,” ujarnya.

Buat berjaga, kata Baby Rivona, ODHA “mesti nyelengin duit untuk tes viral load minimal setahun sekali,” meski sudah mengikuti terapi ARV. Problemnya, tes itu belum “dicover BPJS”.

Dalam kasus HIV,viral load mengacu jumlah virus dalam aliran darah. Jika ia kian banyak, bagian darah putih yang disebut CD4 akan kian banyak ia rusak. Padahal, CD4 bakal maju pertama kali kalau tubuh kena infeksi.

 

Kasus gagal tender

Kemungkinan yang dijalani Baby Rivona–bisa menikah, punya anak sehat, dapat memperbaiki kualitas hidup–terancam mengabur bagi ODHA lain. Ancaman itu sempat ramai diberitakan media massa.

Pasalnya, pada 2018 Kementerian Kesehatan gagal menunjuk pedagang besar farmasi (PBF) sebagai penyuplai ARV berjenis fixed-dose combination (FDC). Jenis yang memuat tiga obat–tenofovir, lamivudine, efavirenz (TLE)–dalam satu pil/tablet.

Sebelum muncul jenis tersebut, ODHA yang menjalani ART mesti mengonsumsi 2-3 pil satu atau dua kali sehari. Setiap hari. Tanpa putus. Risiko lupa untuk menenggaknya pun jadi tinggi. Kalau sudah tak disiplin dalam terapi, bahaya tak sungkan datang.

Baby Rivona memang masih setia dengan jenis ARV lama, yang biasa disebut ‘pecahan’. Tetapi, banyak sudah kawannya yang berpaling ke FDC.

“Sehari saja tidak minum, potensi resistensi (obat pada virus) tinggi,” kata Aditya Wardhana, direktur eksekutif Indonesia Aids Coalition (IAC), di kantornya di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Jumat (18/1/2019).

IAC sebuah lembaga swadaya masyarakat. Ia berbasis komunitas ODHA dan kelompok terdampak HIV/AIDS.

Jenis FDC ini memudahkan pola terapi. Soalnya, ODHA jadi cuma butuh minum sekali saja. Biasanya sebelum tidur malam. Alhasil, Kemungkinan melewatkannya kian rendah.

Menurut Aditya–sembari mengutip data dari Kementerian Kesehatan–hingga Agustus 2018 terdapat lebih dari 43 ribu ODHA penenggak ARV dengan kombinasi TLE. Itu 42 persen dari total ODHA yang menjalani terapi ARV.

Data (pdf) Kementerian Kesehatan menunjukkan pada 2016 jumlah ODHA 640.443. Sampai Desember 2017, ODHA yang mendapatkan terapi ARV mencapai 91.369. Lalu, jumlah ODHA yang mengalami ‘putus-obat’ adalah 39.542.

FDC TLE diproduksi oleh perusahaan farmasi di India. Pemasarannya di Indonesia dilakukan secara tunggal oleh PT Kimia Farma.

Tetapi, per Juli 2018, PT Indofarma Global Medika mendapat izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Izin untuk memasarkan FDC TLE. Merek dagangnya Telura. Diproduksi PT Mylan, India.

Akibat kegagalan lelang 2018–menurut data IAC–stok ARV di beberapa fasilitas kesehatan sempat kosong. Di Jabodetabek, Jawa Tengah, Deli Serdang, Makassar, Palembang, dan Medan. Ada pun stoknya terbatas. Kondisi yang telah terjadi sejak paruh terakhir 2018.

“Kasus gagal tender belum pernah terjadi. Karena sebelumnya hanya ada Kimia Farma. Tidak melalui lelang,” ujarnya. “Karena sifatnya obat program, maka dibatasi peredarannya di jalur komersial. Tadinya obat ini tidak ada izin edar”.

Untuk menangani krisis obat tersebut, kata Aditya, jalan alternatif diambil. Dana bantuan donor Global Fund dimanfaatkan untuk pengadaan darurat. Dana itu dipakai membeli obat langsung ke produsennya di India.

Obat ‘darurat’ dimaksud tiba pada Desember 2018. Dalam jumlah terbatas. 220 ribu botol saja. Hanya cukup hingga Maret 2019.

Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan, Engko Sosialine Magdalene, mengakui tender obat HIV/AIDS pada 2018 memang gagal. Dia bilang, dikutip VIVA.co.id, “tahun 2018 penawarannya tidak cocok dengan harga kita”.

Maksud penawaran “tidak cocok” itu dijelaskan Aditya. Di pasar internasional, katanya, ARV yang didapatkan dengan harga US$8 dijual Rp404.370 kepada pemerintah pada 2016. Dan tiap tahun laku itu memboroskan keuangan negara sekitar Rp210 miliar. Padahal, dengan simulasi harga yang IAC buat, harga ‘rasional’ bisa dicapai pada kisaran Rp122.000-Rp175.000.

Di sisi lain, pada Senin (21/1), Engko, dinukil Tirto.id, mengatakan stok ARV aman hingga akhir tahun ini.

“(Kementerian Kesehatan) sudah mencatat, sampai dengan akhir 2019 tidak ada kendala ketersediaan ARV,” ujarnya.

Bagi ODHA, jawaban itu mungkin tak cukup. Aditya mau pihak berwenang menyiapkan kerangka lebih akurat.

“Pemerintah harus membuat aturan main yang lebih tegas guna memastikan kecukupan stok obat program yang dibutuhkan oleh program kesehatan nasional,” katanya. “Aturan ini harus tegas mengesampingkan prioritas cari untung dari BUMN farmasi, dan lebih mengedepankan fungsi sosial di dalam membantu program pemerintah.” [Maulana/BT]

Advertisement
Advertisement