May 10, 2025

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Pengetatan Paspor PMI Perempuan Disebut Diskriminatif

3 min read

JAKARTA – Kebijakan Direktorat Jenderal Imigrasi memperketat pengajuan paspor pekerja migran perempuan demi mencegah Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dinilai “diskriminatif dan seksis”.

Bukannya melindungi para pekerja migran perempuan, kebijakan itu dinilai para pegiat justru berpotensi membatasi ruang gerak perempuan dan tidak menyelesaikan akar masalah pekerja migran ilegal maupun TPPO.

Dalam pernyataan yang dikutip kantor berita Antara pada Selasa (08/08/2023), Dirjen Imigrasi Silmy Karim mengatakan telah memperketat pengajuan paspor untuk perempuan berusia 17 hingga 45 tahun “yang tidak jelas data dirinya”.

Menurut Silmy, pengetatan dilakukan karena “banyak perempuan mendapat perlakuan kejam saat bekerja di luar negeri”. Sedangkan laki-laki disebut “memiliki kemampuan untuk lepas dari tindakan siksaan”.

Melalui kebijakan pengetatan ini, Direktorat Jenderal Imigrasi “mengamankan” kelompok rentan yang hendak pergi ke Kamboja, Malaysia, Myanmar dan beberapa negara Timur Tengah.

Pernyataan itu memicu perdebatan di media sosial. Sebagian warganet menilai kebijakan itu “mendiskriminasi perempuan dan membuat ketimpangan semakin parah”.

Koordinator Advokasi Migrant Care, Siti Badriyah, menilai kebijakan seperti itu tidak bisa dijadikan tumpuan untuk mencegah TPPO maupun migrasi ilegal.

Memperketat penerbitan paspor pada kelompok tertentu berbasis gender, kata dia, hanya akan “menciptakan diskriminasi”.

“Mestinya kalau mau diperketat itu ya semuanya diperketat. Apalagi di beberapa negara tujuan seperti Kamboja itu banyak korban TPPO laki-laki untuk dijadikan scammer, judi online. Mereka sama saja dengan korban perempuan, sama-sama susah keluar dari lingkungan kerja yang tidak aman,” kata Siti ketika dihubungi pada Senin (7/8).

Secara umum, Migrant Care mengatakan perempuan memang paling rentan menjadi korban TPPO.

Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) pada 2020-2022 menunjukkan bahwa dari 1.581 korban TPPO, sebanyak 96% di antaranya adalah perempuan dan anak.

Sementara itu, dari 240 kasus indikasi TPPO yang diadukan kepada Migrant Care sepanjang 2022, lebih dari 80% korbannya adalah laki-laki.

BBC News Indonesia telah menghubungi Dirjen Imigrasi Silmy Karim dan mengirimkan surat permohonan hak jawab kepada Humas Direktorat Jenderal Imigrasi. Namun tidak ada respons hingga tenggat waktu Selasa (08/08/2023).

 

Diminta membuat surat pernyataan

Lady, 23, berencana pergi berlibur ke Singapura pada akhir tahun. Ketika mengajukan permohonan paspor pada Juni lalu, Lady diminta membuat surat pernyataan bahwa paspor tersebut “tidak akan disalahgunakan sebagai tenaga kerja imigran”.

“Saya sempat merasa ‘astaga, ribet banget’. Dan itu harus ditandatangani oleh orang tua di atas materai. Setelah surat itu, saya juga diminta bikin surat pernyataan yang sama dengan tandatangan saya sendiri,” kata dia.

Selain itu, Lady juga diminta membawa surat pernyataan resmi dari perusahaan tempat dia bekerja, yang ditandatangani oleh HRD.

Lady tidak menanyakan langsung kepada petugas apa tujuan dari surat itu, namun dia menduga itu ditujukan untuk mencegah orang menjadi tenaga kerja ilegal atau korban TPPO.

Sebab dalam dokumen aplikasi pengajuan paspornya, Lady mencantumkan bahwa negara tujuannya adalah Singapura. Dia juga tidak mencantumkan hotel yang akan dia inapi karena masih dalam perencanaan.

“Yang digarisbawahi waktu itu kan supaya tidak menyalahgunakan paspor. Saya waktu itu merasa, siapa yang mau kerja di Singapura jadi imigran,” katanya.

Terkait kebijakan yang diterapkan oleh Ditjen Imigrasi, Lady merasa kebijakan itu “cukup beralasan” karena “bertujuan melindungi”.

“Selama itu nggak mengganggu ruang gerakku, nggak apa-apa,” tuturnya.

 

 

Bukan kebijakan yang melindungi

Peneliti dari The Institute of Ecosoc Rights, Sri Palupi, mengatakan pemerintah semestinya membangun sistem perlindungan yang aman bagi para pekerja migran dibanding membuat kebijakan yang membatasi ruang gerak satu kelompok gender saja.

“Pembatasan orang bergerak itu bukan perlindungan, itu justru pelanggaran hak. Apalagi kalau membatasinya atas dasar gender, itu tidak memberi perlindungan,” kata Sri.

“Dan itu adalah pengandaian yang salah tentang korban, seolah perdagangan orang itu hanya terjadi pada perempuan,” sambungnya.

Menurut Sri, pekerja migran perempuan memang berada dalam posisi rentan karena mayoritas penempatannya di sektor domestik yang cenderung tertutup.

Mereka rentan mengalami kekerasan fisik, kekerasan seksual, dan menjadi korban perdagangan orang.

Namun dia mengatakan bahwa dalam konteks ini, bukan berarti ruang gerak perempuannya yang perlu dibatasi.

Pemerintah semestinya berupaya menyelesaikan persoalannya secara komprehensif dengan menciptakan ruang yang aman bagi pekerja migran.

“Jadi enggak cukup hanya dengan memperketat pembuatan paspor, karena itu bisa berimplikasi jadi melarang hak orang bekerja. Enggak cukup itu dianggap melindungi. Faktanya, sistem perekrutan pekerja migran juga enggak berubah sampai sekarang,” papar Sri. []

Sumber BBC

Advertisement
Advertisement