Pentingnya Muhasabah Diri
JAKARTA – Kata muhasabah saat ini semakin dikenal. Dan bahkan banyak orang yang latah menyatakannya, meskipun belum memahami maksudnya. Dan bukan tidak mungkin kesalahpahaman itu terjadi di kalangan umat Islam pada umumnya.
Biasanya, orang memahami konsep muhasabah ini dari penjelasan para mubaligh, khatib atau ustadz mengenai makna QS Al-Hasyr/59: 18, artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat) dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Memang, tidak ada yang salah pada ayat tersebut. Tetapi, tidak jarang orang menjelaskan makna ayat ini dengan penjelasan yang tidak memadai sehingga bisa mengakibatkan adanya kesalahpahaman orang terhadap makna yang seharusnya dari ayat ini.
Karena ayat ini berbicara tentang makna masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang. Juga apa yang telah, sedang dan akan dikerjakan.
Setiap orang tidak akan bisa mengubah masa lalunya, tetapi bisa merenungkan apa yang telah diperbuat dan apa hasilnya. Kalau dia pernah bersalah, saatnya kini dia harus memperbaiki setiap langkahnya untuk kepentingan masa depannya, dengan harapan masa depannya akan lebih cerah daripada masa lalunya.
Pertanyaan terpenting baginya adalah: “Apa yang seharusnya dia kerjakan sekarang ini?”
Dalam khazanah literatur Islam, kata muhasabah dijelaskan sebagai sebuah kata yang mengandung arti yang begitu mendalam. Bila dipahami esensinya, muhasabah identik dengan kata introspeksi diri atas apa yang telah dilakukan oleh siapapun dan apa yang harus diperbaiki demi masa depan yang lebih baik. Utamanya, dalam kehidupan dunia yang fana.
Bila siapapun berkeinginan untuk menjadi manusia yang beruntung, siapapun harus mengenal dengan sebaik-baiknya seluruh perilaku masa lalunya, untuk dijadikan sebagai pijakan dalam berperilaku saat ini, demi kepentingan masa depannya.
Seperti ucapan orang-orang bijak: wong bejo (manusia yang beruntung) akan selalu melihat masa lalunya, untuk berbuat sesuatu saat ini, demi mempersiapkan dirinya untuk kepentingan masa depannya.
Dengan bermuhasabah, siapapun orang yang beriman akan selalu berkeinginan untuk menggunakan setiap waktu yang tersedia dari detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam, hari demi hari, serta keseluruhan jatah hidupnya dengan sebaik-baiknya demi meraih ridha Allah SWT.
Muhasabah, kata para ulama, akan mendatangkan sejumlah manfaat bagi setiap orang yang melakukannya. Muhasabah, dalam praktik kehidupan setiap orang yang beriman, tidak hanya akan berdampak positif bagi dirinya, tetapi bisa diharapkan akan mendatangkan kemanfaatan bagi siapapun yang berkesempatan untuk berinteraksi dengan dirinya. Bahkan, dalam waktu yang bersamaan, tidak hanya akan melahirkan kesalehan spiritual, tetapi diharapkan bisa akan menghadirkan kesalehan sosial.
Dengan bermuhasabah, maka diri setiap orang yang beriman akan bisa mengenal dengan sebaik-baiknya aib serta kekurangan dirinya, baik itu dalam hal yang berkaitan dengan ibadah maupun mu’amalah. Sehingga, dengan muhasabah, seorang muslim dan komunitasnya diharapkan akan bisa memperbaiki apapun yang dirasa kurang pada dirinya untuk kepentingan masa depannya.
Saya masih ingat ketika membaca dua karya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, “Ighâtsatul Lahfân Min Mashâidisy Syaithân” dan “Madârijus Sâlikîn”. Beliau menjelasakan bahwa ketika nafs ammârah bis-sû (jiwa yang dipenuhi keinginan untuk berbuat sesuatu yang tidak baik) tengah menguasai al-qalb (hati), berarti al-qalb tengah dalam bahaya yang sangat mengkhawatirkan. Saat itulah diperlukan upaya pengobatannya.
Beliau pun menjelaskan, bahwa pengobatan jiwa yang kotor itu hanya bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu: muhasabah dan mukhalafah.
Muhasabah, artinya mengevaluasi diri. Dan mukhalafah artinya menentang an-nafs al-ammarah, dengan tidak menuruti kemauannya.
Beliau menegaskan, bahwa kehancuran al-qalb adalah dengan tidak melakukan muhasabah dan mukhalafah, yakni ketika seseorang selalu memperturutkan hawa nafsunya.
Kita sadar betapa pentingnya peran muhasabah dalam mengobati jiwa. Tak heran apabila kita dapati para pendahulu kita sangat memperhatikan dan menganjurkannya.
Umar ibn al-Khaththab r.a. pernah mengatakan, “Bermuhasabahlah kalian pada diri kalian sebelum amal kalian dihisab, timbanglah amal diri kalian sebelum kalian ditimbang. Sesungguhnya, hal itu lebih ringan bagi kalian besok di akhirat dengan kalian hisab diri kalian pada hari ini….” (Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, “Ighâtsatul Lahfân Min Mashâidisy Syaithân”, I/78 dan “Madârijus Sâlikîn”, I/170)
Ditegaskan oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah bahwa terganggunya kesehatan jiwa seseorang disebabkan di dalam organ tubuh manusia telah terjadi pengkhianatan yang menyebabkan seluruh modal kebaikan yang dimilikinya menjadi hilang atau habis.
Oleh karena itu, diperlukan muhasabah agar jika seseorang rugi, ia akan segera lari dari kerugian tersebut dengan tidak mengulanginya lagi sekaligus melakukan penjagaan dan pemantapan terhadap dirinya.
Munculnya gangguan jiwa atau gangguan mental pada manusia disebabkan karena kosongnya hati atau jiwa mengenal, kecintaan dan kerinduan kepada Allah SWT. Sehingga ketika jiwanya kering dan nilai-nilai spiritual, maka akan mudah dikuasai hawa nafsu sehingga hati menjadi sakit atau mati.
Hawa nafsu mengajak kepada sikap durhaka dan mendahulukan kehidupan duniawi, sedangkan Allah SWT mengajak hamba-Nya agar takut kepadanya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsu.
Muhasabah hendaknya dilakukan setiap saat atau waktu-waktu tertentu, misalnya setiap hari, setiap minggu sampai setiap tahun pada setiap akan melakukan perbuatan dan setelah melakukan perbuatan. Selain itu, diperlukan adanya tanggung jawab sosial sebagai side effect (efek samping) dari kegiatan muhasabah yang dilakukan.
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah membagi muhâsabah menjadi dua macam. Pertama, muhasabah sebelum beramal. Yakni, seorang hamba tidak segera mengerjakan sesuatu sebelum mempertimbangkan sebab-akibatnya. Hingga jelas baginya dampak positif dan negatif dari tindakan tersebut.
Al-Hasan berkata, “Allah merahmati hamba yang berpikir sebelum bertindak. Apabila karena Allah dilanjutkan dan apabila karena yang lain mengurungkannya.” Beliau melanjutkan, bahwa setidak-tidaknya orang yang beriman bertanya kepada dirinya sebelum melangkah mengerjakan sesuatu, apa kebaikan yang akan didapat dari perbuatannya? Apa keburukan yang akan didapat ketika tidak mengerjakannya? Ketika semuanya sudah jelas hendaknya ia mengambil keputusan yang terbaik.
Kedua, muhasabah setelah beramal. Bagian ini dibagi menjadi tiga. Pertama, muhasabah terhadap ketaatan yang sudah dikerjakan. Apakah sudah sesuai dengan syariat atau belum. Kedua, muhasabah terhadap pekerjaan yang telah ditinggalkan dan waktu yang disia-siakan. Ketiga, muhasabah terhadap kebiasaan-kebiasaan mubah kenapa hal itu dikerjakan?
Dan tindakan terpenting setelah bermuhasabah adalah adanya kesadaran dalam diri manusia terhadap kualitas amal perbuatannya. Ketika dirinya menganggap telah banyak mengerjakan kebaikan, maka ia bersyukur dan memohon semua amalnya diterima oleh Allah SWT. Sebaliknya, ketika dirinya menganggap telah banyak mengerjakan dosa dapat bersegera bertaubat dan mengikrarkan dalam dirinya untuk mengerjakan kebaikan pada masa selanjutnya.
Muhasabah, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, merupakan amal saleh yang bisa menjadi obat atas keresahan jiwa dan tentu sangat bermanfaat bagi setiap mukmin untuk mendapatkan ketenangan jiwa.
Muhasabah yang benar akan menghasilkan buah yang sangat dirasakan oleh setiap orang yang beriman. Dengan cara ini, al-qalb akan berjalan menuju Allah SWT, lalu akan menjatuhkan dirinya di hadapan-Nya dalam keadaan terhina, tunduk, menyesal dengan penyesalan yang menjadi obat penyesalannya, dalam keadaan butuh dengan rasa butuh yang akan mencukupinya, dalam keadaan terhina dengan penghinaan yang menjadi tempat kemuliaannya, andai dia beramal dengan apa pun kiranya yang dia amalkan. Namun, apabila dia kehilangan hal itu, kebaikan yang terlewatkannya lebih baik daripada kebaikan yang dia lakukan. []