Perbedaan Pendapat Di Antara Ulama Islam
JAKARTA – Mayoritas masyarakat Indonesia adalah beragama Islam dengan persentase lebih dari 85% dari seluruh jumlah masyarakat Indonesia. Namun, tak sedikit masyarakat kita yang masih kebingungan terhadap ”Hukum Islam”. Seperti contoh, ketika ditanya perbedaan antara hal yang Sunnah dengan yang Fardhu, maka kebanyakan akan menjawab tidak tahu atau ada sebagian yang menjawab asal-asalan.
Belum lagi, menurut survey hasil riset Institut Ilmu Al Qur’an (IIQ) pada tahun 2018 lalu bahwa, sekitar 65% penduduk Indonesia buta huruf Al Qur’an. Hasil riset yang demikian, tentunya membuat kita khawatir akan nasib umat islam Indonesia ke depannya. Jika membaca Al Qur’an saja tak bisa, bagaimana pula jika kita disuruh untuk membaca sumber hukum Islam yang kedua yaitu Al Hadits?
Belakangan ini sedang marak maraknya kegaduhan ditengah tengah umat Islam Indonesia karena persoalan pem-bid’ah an Maulid Nabi, Isra’ wal Mi’raj atau perayaan hari besar Islam lainnya. Tak berhenti sampai disitu, bahkan beberapa ustadz yang viral di Internet turut membid’ah kan Do’a Qunut pada sholat shubuh.
Tentunya hal demikian mengundang tanda tanya besar di tengah masyarakat Indonesia khususnya yang belum paham akan ilmu Fiqh. Gaya berdakwah “Ustadz-Ustadz Ekstrem” belakangan ini sering menciptakan perselisihan pendapat yang membawa permusuhan dan kebencian diantara umat Islam.
Padahal, berabad-abad yang lalu dari masa para sahabat, tabi’in maupun tabi’ut tabi’in perbedaan pendapat tidaklah menjadi jembatan permusuhan diantara umat Islam. Justru hal tersebut menandakan pemikiran Islam yang beragam menjadi bukti bahwa banyak para pemikir Islam yang peduli terhadap agama.
Sebagai contoh, kita ambil sedikit kisah dari Imam Ahmad bin Hambal. Beliau adalah seorang ulama besar yang mendirikan Mazhab Hambali. Salah satu guru beliau adalah Imam Syafi’i yang merupakan seorang ulama pendiri Mazhab Syafi’i.
Didapati suatu keterangan dikatakan ketika Imam Ahmad bin Hambal sholat dibelakang gurunya (Imam Syafi’i) maka dia mengikut kepada mazhab syafi’i. Apabila Imam Syafi’i qunut pada sholat shubuh maka Imam Ahmad bin Hambal pun turut melakukan qunut shubuh. Begitupun sebaliknya, apabila Imam Syafi’i sholat dibelakang Imam Ahmad bin Hambal maka, beliau pun mengikut kepada mazhab hambali.
Bahkan, perbedaan pendapat para ulama terdahulu membuat mereka semakin saling menghormati satu dengan lainnya, bukan menghujat atau saling menyalahkan. Seperti salah satu pujian yang dilontarkan imam Ahmad berikut ini:
“Beliau (imam Syafi’i) adalah orang yang paling faqih dalam Al Qur’an dan Sunnah”
Kemudian, Imam asy Syafi’i juga pernah memuji imam Ahmad dengan pujian:
“Aku keluar (meninggalkan) Baghdad, sementara itu tidak aku tinggalkan di kota tersebut orang yang lebih wara, lebih fakih, dan lebih bertakwa daripada Ahmad bin Hambal.”
Begitulah indahnya perbedaan pendapat para ulama kita terdahulu. Dan bahwasanya perlu untuk kita ketahui kalau perbedaan pendapat merupakan suatu hal yang tak perlu kita takuti, kita hujat atau menjadi bahan mengolok olok orang lain.
Perbedaan pendapat justru menandakan hal positif dalam pemikiran agama Islam, antara lain:
- Sebagai tanda bahwa umat Islam peduli akan agama, sehingga muncul beragam pendapat dari masing masing pemikiran.
- Menjadi tanda bahwa masih banyak para pemikir yang perduli di tengah tengah Islam.
- Membuat kita lebih menghormati kepada sesama.
- Sebagai tanda keistimewaan sekaligus pembeda antara manusia dan makhluk hidup lainnya.
Kemudian, perbedaan pendapat juga menunjukkan betapa giatnya umat muslim dalam menuntut ilmu. Seperti contohnya sebagai berikut:
Imam Malik
Imam Malik yang menuntut ilmu di kota Madinah membuat beliau begitu dekat dengan kajian kajian hadits sehingga beliau berhasil mengarang kitab hadits yang fenomenal berjudul Al Muwattha’.
Imam Hanafi
Pun dengan Imam Hanafi (pendiri Mazhab Hanfiyyah). Beliau juga merupakan sosok yang haus akan ilmu agama. Hal itu membuat beliau sering menghadiri halaqah yang ada di daerah Kufah dan halaqah halaqah ulama besar yang hidup pada masanya.
Selain itu, beliau juga sering berdagang ke berbagai tempat. Perjalanannya dalam berdagang membuat beliau dapat memahami pemikiran pemikiran Islam pada masa tersebut dan membuat beliau begitu ahli dalam bidang ilmu fiqih, hadits, ilmu tauhid, ilmu kalam dan disiplin ilmu lainnya.
Imam Syafi’i
Imam Syafi’i juga merupakan sesosok orang yang haus akan ilmu pengetahuan dan dikenal sebagai orang yang shalih. Yang paling mengagumkan dari beliau adalah kemampuan menghafalnya yang luar biasa.
Apabila beliau melihat satu lembar mushaf ilmu maka akan langsung melekat pada ingatannya dalam sekali lihat. Saking hausnya beliau terhadap ilmu pengetahuan beliau berpindah pindah kota hanya untuk mencari guru dan mengambil ilmu darinya.
Beliau pernah belajar di kota Mekah, Madinah sampai ke Negeri Irak. Imam Syafi’i sangat ahli dalam bidang fiqih dan merupakan pencetus ilmu ushul fiqih. Selain itu, beliau juga ahli dalam mengistinbat hukum atau cara memahami Al Qur’an dan Hadits yang benar.
Imam Hambali
Tak kalah juga, pun Imam Hambali juga merupakan ulama yang shalih dan rajin menuntut ilmu. Keadaan lingkungan dan keluarga beliau juga sangat kuat menjadi faktor pendukung sang imam untuk belajar. Beliau sudah hafal Al Qur’an pada usia 10 tahun.
Beliau pernah belajar di kota Baghdad (Irak), dan karena kecintaannya kepada hadits beliau menjelajah berbagai kota untuk mencari hadits seperti, Hijaz, Kufah dan Bashrah. Imam Ahmad juga melahirkan sebuah kitab fenomenal dengan judul Al Musnad.
Salah satu kisah yang turut menggugah hati kita adalah kisah yang sering kita dengar tentang perdebatan antara Imam Malik dengan Imam Syafi’i. Imam Syafi’i merupakan murid dari imam Malik. Ketika itu, mereka berdua berdebat pasal rezeki. Imam Malik berpendapat bahwa rezeki itu datang sendirinya sesuai kadar dan ketentuan Allah. Beliau menyandarkan pendapat beliau ini dengan hadits Rasulullah SAW yaitu
“Andai kalian bertawakkal kepada Allah sebenar-benar tawakkal niscaya Allah akan berikan rizki kepada kalian, sebagaimana Dia memberikan rizki kepada burung yang pergi dalam keadaan lapar lalu pulang dalam keadaan kenyang“.
Kemudian, Imam Syafi’i ternyata memiliki pandangan lain terhadap rezeki. Beliau berkata kepada gurunya (Imam Malik) “Tapi, wahai guruku. Bagaimana mungkin seekor burung bisa mendapatkan makanan jika ia tidak keluar dari sangkarnya?” Imam Syafi’i berpendapat bahwasanya kita tidak cukup hanya bertawakal melainkan juga harus berikhtiar.
Suatu ketika, Imam Syafi’i melihat orang orang memanen di kebun anggur mereka dan imam Syafi’i turut membantu mereka. Singkat cerita, Imam Syafi’i pun mendapatkan imbalan berupa anggur dari para tukang kebun itu. Karena senangnya bukan main, imam Syafi’i pergi menemui imam Malik untuk menyatakan bahwa pendapatnya adalah benar.
Sesampainya dihadapan Imam Malik, ia menyerahkan anggur itu kepada imam Malik seraya berkata, “Wahai guruku, lihatlah. Setelah aku berusaha dan bekerja keras maka rezeki datang kepadaku.” Kemudian, Imam Malik tersenyum dan berkata, “Wahai muridku, aku tidak meninggalkan tempat ku lalu kau datang membawa rezeki kepadaku, maka sesungguhnya pendapatku juga benar adanya.” Kemudian keduanya tertawa bersama. Begitulah kedua ulama besar tersebut mengambil hukum berbeda dari hadits yang sama.
Dari ulama ulama kita terdahulu, kita dapat belajar bahwa perbedaan pendapat menjadi penanda dari mana asal kita, tempat kita menuntut ilmu, keadaan lingkungan dan ketajaman pemikiran. Betapa indahnya hidup kita apabila dihiasi dengan perjuangan mencari ilmu.
Apapun hal atau ilmu yang kita cari, selama ia berasal dari Al Qur’an dan Sunnah maka ilmu itu adalah benar. Tinggal membenahi pikiran dan pandangan kita terhadap pendapat pendapat yang ada dan mengambil setiap hikmah yang terjadi padanya. Wallahu a’lam bis shawab. []