September 8, 2025

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Perceraian Tak Hanya Menghasilkan Perpisahan

8 min read

JAKARTA – Apakah pernikahan mengurangi kemiskinan? Atau sebaliknya, apakah kemiskinan mengurangi pernikahan?

Kaitan kedua hal, kemiskinan dan pernikahan, seperti di atas ini pastinya memancing perdebatan panjang. Keduanya bisa saling terkait positif, bisa juga tidak. Debat kusir bak mempertentangkan telur atau ayam, bisa jadi timbul dari kedua hal tersebut,

Yang jelas, dua hal itu sama-sama meningkat belakangan ini, entah terkait, saling mempengaruhi, atau tidak sama sekali. Soal kemiskinan, bisa  jadi ada perdebatan soal kondisi, jika kita berpijak pada data yang berbeda. Data pemerintah menyebutkan kemiskinan berkurang. Sebaliknya, kalangan akademisi punya persepsi bertentangan dengan data pemerintah. Namun, soal perceraian, kedua pihak diyakini sama mencatat adanya kenaikan.

Ya, hingga 1 September 2025, Mahkamah Agung (MA) mencatat telah memutus 317.056 perkara cerai untuk tahun ini saja. Jumlah tersebut melewati setengah dari total putusan perkara cerai sepanjang 2024 sebanyak 466.359.

Jumlah perceraian pada 2025 sudah melampaui total angka perceraian pada 2020, yakni sebanyak 291.677. Bahkan, jumlah perceraian terus meningkat di Indonesia, karena pada 2021 melonjak tajam menjadi 444.734 kasus dan bertambah lagi menjadi 448.126 kasus.

Sebelumnya, jumlah perceraian di Indonesia ini sempat menurun pada 2023, jumlahnya 408.3467 kasus. Namun, jumlahnya  kembali meningkat drastis menjadi 466.359 kasus pada tahun 2024.

Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka perceraian pada 2024 sebanyak 399.921 kasus. Tahun sebelumnya, ada 408.347 kasus.

Dari catatan BPS, ada sejumlah faktor yang menyebabkan tingginya angka perceraian. Faktor perselisihan dan pertengkaran terus-menerus menjadi penyebab tertinggi perceraian. Setidaknya, ada 251.125 kasus pada 2024, atau turun sedikit dibandingkan 2023 sebanyak 251.828 kasus, yang disebabkan karena perselisihan atau pertengkaran terus menerus.

Di peringkat kedua, ada faktor ekonomi menjadi penyebab terbesar perceraian. Meskipun, secara angka terjadi penurunan pada 2024 dengan 100.198 kasus dibandingkan 108.488 kasus pada 2023.

Mirisnya, kasus perceraian akibat kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) meningkat cukup signifikan, yakni dari 5.174 kasus pada 2023 menjadi 7.243 kasus pada tahun 2024.

Sementara itu, perceraian akibat poligami juga meningkat, dari 738 kasus menjadi 849 kasus. Kasus perceraian akibat zina juga meningkat dari 780 menjadi 1.005 kasus.

Ada pula yang disebabkan pasangan kerap mabuk, dari 1.752 menjadi 2.004 kasus. Sementara itu, perceraian karena salah satu pasangan meninggalkan pasangannya tercatat sebesar 31.265 kasus, turun dari 34.322 kasus pada tahun sebelumnya.

Dekatnya faktor kemiskinan dan pernikahan atau perceraian, juga digarap berkali oleh beragam pakar dan institusi di Amerika Serikat. Kasus terbaru dianalisis oleh peneliti Michael Tanner lewat karyanya bertajuk Does Marriage Reduce Poverty? yang dilansir pada pertengahan Juni 2025 lalu.

Dalam penelitian ini, tersimpul bahwa warga Amerika berpenghasilan rendah tidak hanya cenderung tidak menikah, tetapi juga lebih mungkin bercerai. Sekitar 20% pasangan menikah dengan pendapatan di bawah US$25.000 per tahun diketahui bercerai. Sementara itu, yang berpenghasilan $100.000 per tahun atau lebih, didapati  kurang dari 12,3% pasangan yang bercerai. Meskipun tingkat perceraian di AS secara keseluruhan telah menurun sejak akhir 1970-an, tren tersebut tidak terjadi pada warga Amerika berpenghasilan rendah.

Lebih lanjut, perceraian cenderung memperburuk kondisi perempuan berpenghasilan rendah, sedangkan pada saat yang sama memperbaiki kondisi ekonomi laki-laki berpenghasilan rendah. Sekitar 22% perempuan yang baru bercerai hidup di bawah garis kemiskinan, dibandingkan dengan hanya 11% laki-laki yang baru bercerai.

Yang juga miris, anak-anak dari orang tua yang bercerai lebih mungkin tumbuh dalam kemiskinan dibandingkan anak-anak yang orang tuanya tetap menikah. Beberapa studi menunjukkan bahwa terdapat konsekuensi negatif bagi anak-anak yang tumbuh dalam rumah tangga di mana orang tua tidak bahagia, tetapi tetap menikah, seperti masalah psikologis dan tekanan emosional, masalah perilaku, dan masalah hubungan di masa depan.

Kembali ke tanah air, lalu berapa lama waktu tersingkat pasangan di Indonesia sebelum akhirnya bubar karena cerai?

Menurut catatan Kementerian Agama (Kemenag), pada 2020-2024, usia perkawinan bubar sebelum lima tahun perkawinan ada 604.463 kasus. Jumlah perceraian pada pasangan perkawinan usia 5-10 tahun sejumlah 538.130. Kemudian, usia perkawinan yang hanya bertahan antara 11-15 tahun mencapai 398.548.

Sementara itu usia perkawinan 16-20 tahun mencapai angka 234.306; usia perkawinan 21-25 tahun tercatat 154.700; dan usia perkawinan 26-30 tahun mencapai 83.499.

Selanjutnya, usia perkawinan 31-35 tahun ada 36.232; usia perkawinan 36-40 tahun 12.679; dan usia perkawinan 41-45 tahun sebanyak 4.299.

Terakhir, usia perkawinan di atas 45 tahun dan akhirnya bercerai ada 1.843. Dengan demikian, makin lama menikah, makin kecil potensi bercerai. Ini yang tersimpul dari catatan di atas.

 

Kehadiran Negara dan Orang Miskin Baru

Soal penyebab, Direktur Direktorat Bina Kantor Urusan Agama dan Keluarga Sakinah Kemenag, Cecep Khairul Anwar menjelaskan, penyebab utama perceraian saat ini ada tiga. Ketiganya adalah  KDRT, konflik berkepanjangan yang tidak diselesaikan, serta kondisi ekonomi.

Dia menambahkan, ketika pasangan tidak memiliki cukup pengetahuan, kesabaran, dan dukungan untuk menyelesaikan konflik, perceraian kerap menjadi jalan keluar yang dipilih. Padahal, perceraian bisa menjadi bom waktu, tak hanya sebatas bagi pasangan yang bercerai, tetapi juga generasi berikutnya dan negara secara keseluruhan.

Oleh karena itu, Cecep menguraikan, Menteri Agama Nasaruddin Umar menaruh perhatian terhadap hal ini. Pada Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Badan Penasihatan, Pembinaan, dan Pelestarian Perkawinan (BP4) pada April 2025 di Jakarta, dia menyebutkan, tingginya angka perceraian di Indonesia menjadi sinyal ketahanan rumah tangga perlu mendapat perhatian serius.

“Menteri menyatakan, negara tidak cukup hanya mengatur legalitas pernikahan, tetapi juga perlu hadir dalam menjaga keutuhannya,” urai Cecep , Senin (1/9/2025).

Yang juga menjadi catatan adalah perceraian sering kali melahirkan orang miskin baru. Korban pertamanya adalah istri, lalu anak.

“Jika kita gagal menjaga keluarga, kita sedang membuka pintu untuk kegagalan bangsa,” tegas Cecep.

Oleh karena itu, Cecep menguraikan, Menag menawarkan upaya untuk menurunkan tingginya perceraian. Seperti, revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan menambahkan bab khusus mengenai pelestarian perkawinan. UU Perkawinan mesti menegaskan pentingnya pelestarian perkawinan, sebagai bentuk pelindungan keluarga dan investasi masa depan bangsa.

Cecep melanjutkan, pentingnya pendekatan mediasi sebagai langkah preventif menjaga keutuhan perkawinan. Menag mengusulkan BP4 menjadi pihak paling tepat dalam merespons dan mencegah meningkatnya angka perceraian. Di samping itu, pemerintah berupaya melakukan sosialisasi dan edukasi agar masyarakat tetap mempertahankan pernikahan.

Upaya ini bahkan dilakukan kepada masyarakat yang belum menikah. Misalnya, Bimbingan Remaja Usia Sekolah (BRUS) pada siswa madrasah untuk memberikan edukasi soal kesiapan pernikahan dan kehidupan berkeluarga. Kemudian, Bimbingan Remaja Usia Nikah (BRUN) untuk menjangkau generasi muda usia nikah melalui kolaborasi dengan mitra swasta.

Ada juga program Bimbingan Calon Pengantin (BINWIN). Program nasional lintas kementerian ini bertujuan membekali pasangan calon pengantin dengan keterampilan mengelola rumah tangga dari perspektif kesehatan, psikologis, hingga ekonomi. Pemerintah juga menyediakan bimbingan pasca-ijab qabul, seperti layanan konseling dan pendampingan secara langsung maupun digital.

Pendampingan pernikahan ini memang gencar dilakukan sejak dini. Alasannya, pemerintah menilai, rentang waktu 0-7 tahun pernikahan termasuk masa rawan perceraian.

Kendati demikian, Cecep mengakui bahwa upaya-upaya ini belum masif karena keterbatasan sumber daya manusia (SDM). Hingga saat ini, Kemenag hanya memiliki 45 ribu orang penyuluh agama dan sekitar 70 ribu petugas secara nasional.

 

Trauma Panjang Anak

Komisi Nasional (Komnas) Perempuan punya perhatian sama dari perspektif berbeda. Komnas menilai, masalah perceraian di Indonesia kian kompleks. Penyebabnya bukan masalah pribadi, melainkan berkaitan dengan erat struktur sosial yang timpang. Khususnya, dalam relasi kuasa antara suami dan istri.

Kebanyakan suami merasa lebih berkuasa ketimbang istrinya. Inilah yang meningkatkan potensi terjadi KDRT dan berujung pada perceraian. Meskipun, pada akhirnya memunculkan bentuk kerentanan baru.

Berdasarkan data Catatan Tahunan (CATAHU), Komnas menyimpulkan, banyak perempuan yang setelah bercerai tidak mendapatkan hak ekonomi, seperti tunjangan nafkah atau akses terhadap harta bersama. Bahkan, hak asuh anak yang secara hukum berada di kedua orang tua sering kali bermasalah dalam praktiknya.

“Perempuan sering kali tidak mendapat nafkah pasca cerai. Bahkan, dalam putusan pengadilan, hak-hak ekonomi dan kepemilikan harta sering tidak tercatat secara rinci,” kata Komisioner Komnas Perempuan, Maria Ulfah Anshor, Senin (1/9/2025).

Situasi ini membuat banyak perempuan harus menanggung beban ganda. Mereka harus mengasuh anak sekaligus mencari nafkah sendiri. Akibatnya, selain ibu, anaknya menjadi pihak yang rentan berikutnya dari hasil perceraian.

Pada akhirnya, tak sedikit anak tersebut mengalami gangguan psikologis. Padahal, Undang-Undang Perlindungan Anak menegaskan masalah pengasuhan merupakan tanggung jawab bersama, baik dalam perkawinan maupun setelah perceraian.

“Negara belum cukup hadir dalam menjamin hak-hak perempuan dan anak pasca perceraian. Ketika orang tua gagal menjalankan tanggung jawab, seharusnya keluarga besar, masyarakat, dan jika perlu, negara turun tangan,” tambah Maria.

Upaya pencegahan dilakukan Komnas Perempuan bekerja sama dengan Kemenag, yakni dengan menyusun modul pranikah. Salah satu isinya, pentingnya menjaga keharmonisan rumah tangga agar tidak terjadi perceraian.

Di sisi lain, Maria juga menilai perlu revisi Undang-Undang Perkawinan. Dalam konsep pernikahan saat ini, kepala keluarga tidak selalu identik dengan suami. Berdasarkan pengamatannya, peran wanita mulai dari mencari mengasuh anak hingga mencari nafkah untuk keluarga. Oleh karena itu, kata Maria, relasi yang setara adalah kunci keluarga yang sehat dan bebas dari kekerasan.

 

Pergeseran Norma

Fenomena ini juga dicermati oleh pengamat sosial dari Universitas Indonesia, Rissalwan Habdy Lubis. Dia  mengatakan, tren peningkatan perceraian tak hanya sekadar angka, karena lahir pula dampak sosial yang ditimbulkan.

Perceraian bukan sekadar masalah hubungan personal antar pasangan, tetapi mencerminkan melemahnya pranata sosial paling dasar, yaitu keluarga. Pada era 1990-an, pernikahan dianggap hal yang sakral sehingga perlu dipertahankan dengan segala cara.

Sayangnya, di era saat ini, pernikahan tak lagi dianggap demikian. Masyarakat bisa mengakhiri pernikahannya dengan mudah. Bahkan, makin permisif untuk berpisah dan menganggap pernikahan sebagai satu-satunya bentuk sah dari hubungan antar lawan jenis.

Artinya, kata Rissalwan, ada pergeseran nilai dan norma sosial yang signifikan pada pernikahan. Situasi dan kondisi itu membangun paradigma bahwa relasi tidak harus melalui pernikahan.

“Oleh karena itu, perceraian kini dianggap sebagai hal yang wajar dan bukan lagi aib seperti dulu,” tambah Rissalwan,  Senin (1/9/2025).

Bahkan, bagi generasi muda yang tumbuh menyaksikan perceraian orang tuanya membuat pernikahan tidak lagi menjadi pilihan utama. Namun, melihatnya sebagai beban atau potensi kegagalan yang tidak perlu diambil.

Artinya, perceraian menjadi bagian dari trauma atau justifikasi. Ini membuat pasangan muda menganggap perceraian menjadi hal yang wajar. Hal tersebut membahayakan karena memuluskan sikap perceraian lintas generasi.

Rissalwan sepakat dengan penilaian beberapa pejabat pemerintah, bahwa faktor ekonomi berperan sebagai penyebab perceraian di Indonesia. Bahkan, dia memperkirakan hampir 50% kasus perceraian berkaitan secara langsung atau tidak langsung dengan ketidakmampuan ekonomi, baik dari sisi nafkah suami maupun tekanan hidup bersama.

Rissalwan menegaskan, peningkatan perceraian ini bisa berdampak pada struktur masyarakat jangka panjang, termasuk meningkatnya jumlah kepala keluarga perempuan, risiko kemiskinan, dan pergeseran norma moral masyarakat.

Kompleksitas penyebab perceraian turut mendorong adanya edukasi nilai dan pendekatan sosial yang lebih kuat, bukan hanya solusi hukum atau administratif. Dia mengingatkan, dampak kenaikan perceraian bisa berimbas ke hal lainnya.

 

Angka Perkawinan Turun

Komnas Perempuan juga menilai, bukan hanya jumlah perceraian yang meningkat sebagai masalah, jumlah pernikahan yang terus menurun mesti diwaspadai.

Kemenag mencatat, jumlah pernikahan 2020 sebanyak 1.780.346. Lalu, menurun pada tahun berikutnya menjadi 1.743.450. Loncat ke 2023, jumlah pernikahan kembali turun menjadi 1.577.493. Pada tahun 2024, jumlahnya lagi-lagi turun menjadi 1.478.424.

Kemenag mencatat, ada berberapa faktor yang menyebabkan jumlah pernikahan terus menurun. Pemicu awal menurunya jumlah pernikahan ini adalah pandemi covid-19. Banyak masyarakat yang menunggu pandemi hilang dari Indonesia untuk melangsungkan pernikahan.

Namun, fenomena menunda perkawinan terus berlanjut seiring berubahnya pola pikir generasi muda terhadap institusi pernikahan. Salah satu perubahan paling mencolok dalam perilaku masyarakat adalah kecenderungan generasi muda untuk menunda pernikahan.

Anak-anak muda saat ini lebih memilih untuk berada dalam posisi mapan dahulu secara ekonomi, tingkat pendidikan tinggi hingga kesiapan secara spiritual sebelum memutuskan untuk menikah. Namun, ada pula yang melangsungkan perkawinan hanya untuk menghindari zina.

Ada yang melakukan pernikahan di luar sistem pencatatan negara (nikah siri). Atau, nekat menjalankan praktik kumpul kebo atau hidup bersama tanpa ikatan pernikahan sah. Padahal, perilaku seperti ini akan berdampak pada status hukum anak, warisan, hingga keabsahan dokumen, seperti kartu keluarga dan akta kelahiran. Ini menjadi persoalan hukum dan administrasi kependudukan yang serius.

Sementara itu, Ulfah menilai turunnya jumlah pernikahan setiap tahun ini, juga dipengaruhi oleh perubahan dalam preferensi perempuan. Utamanya, terkait pendidikan dan kesiapan ekonomi sebelum melangsungkan pernikahan.

“Dengan meningkatnya pendidikan, perempuan cenderung menunda pernikahan hingga mereka benar-benar siap secara psikologis dan finansial. Ini bisa jadi sinyal positif bahwa perempuan makin sadar akan hak dan pilihannya,” tutup Maria. []

Advertisement
Advertisement

Leave a Reply