October 11, 2025

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Perempuan Cenderung Berusia Lebih Panjang Dibanding Pria

4 min read

JAKARTA – Ada satu fakta yang terus berulang di seluruh dunia, dari Amerika sampai Asia, dari manusia sampai mamalia: pria mati lebih cepat daripada perempuan. Rata-rata, selisihnya mencapai 5,4 tahun.

Angka itu bukan sekadar statistik medis. Ia adalah cermin panjang dari cara hidup, cara berpikir, dan mungkin—cara berevolusi.

Di Amerika Serikat, misalnya, kesenjangan usia hidup antara pria dan perempuan mencapai 5,8 tahun. Sebuah riset pada 2024 menunjukkan, penyebab utama kematian dini pada pria datang dari hal-hal yang sangat manusiawi: cedera tak disengaja, diabetes, bunuh diri, pembunuhan, dan penyakit jantung.

Namun, penelitian terbaru mencoba melihatnya dari kacamata yang lebih jauh ke belakang: evolusi. Studi yang terbit di jurnal Science Advances pada 1 Oktober 2025 itu dipimpin oleh Johanna Staerk dan timnya.

Mereka mencoba menjawab satu pertanyaan sederhana tapi penting: apakah “kutukan umur pendek” ini hanya terjadi pada manusia, atau juga pada hewan lain?

Para ilmuwan menganalisis data dari 528 spesies mamalia dan 648 spesies burung, baik yang hidup di alam liar maupun di kebun binatang. Hasilnya mengejutkan, tapi sekaligus menegaskan pola yang selama ini diam-diam kita tahu: pria cenderung berumur pendek.

Dari 528 spesies mamalia, 72% menunjukkan bahwa jantan mati lebih muda daripada betina. Hanya 5% spesies yang memperlihatkan pola sebaliknya. Sisanya tidak punya perbedaan signifikan. Bahkan, hampir 40% spesies mamalia memiliki jarak usia yang lebar antara jantan dan betina—selisih hidupnya mencapai 12% dari total umur rata-rata.

Temuan ini sejalan dengan apa yang disebut hipotesis jenis kelamin heterogamet, yaitu teori yang menyebut bahwa kromosom seks yang “berbeda” (seperti XY pada jantan) bisa membawa efek biologis yang lebih merugikan dibandingkan kromosom seks yang sama (XX pada betina).

“Artinya, di tingkat genetik, jantan memang lebih rentan terhadap kerusakan atau penyakit yang mempersingkat usia,” kata Staerk dan rekan-rekannya dalam laporan riset.

Contoh paling dekat dengan manusia? Simpanse dan gorila. Kedua primata ini juga menunjukkan tren yang sama: betina hidup lebih lama daripada jantan.

Namun, pada dunia burung, arah jarum berputar terbalik. Dari 648 spesies burung yang dianalisis, 68% justru menunjukkan betina yang hidup lebih pendek daripada jantan.

Perbedaannya memang tak sebesar pada mamalia—selisihnya hanya sekitar 5% dari umur hidup rata-rata—tapi cukup untuk menunjukkan bahwa evolusi bisa mengambil arah berbeda tergantung pada bentuk kompetisi dan strategi bertahan hidup tiap spesies.

Apa yang membuat pola ini muncul berulang? Jawaban terbesarnya ada pada seksual selection, atau seleksi seksual. Dalam banyak spesies, jantan harus bersaing keras untuk mendapatkan pasangan. Mereka bertarung, menampilkan kekuatan, atau mengambil risiko besar untuk menarik perhatian betina.

Analisis lebih lanjut menunjukkan perbedaan paling besar antara jantan dan betina muncul pada spesies non-monogami—yaitu hewan yang tidak berpasangan seumur hidup. Pada kelompok ini, betina bisa hidup 15% lebih lama daripada jantan.

Sebaliknya, pada spesies monogami—yang cenderung hidup berpasangan dan saling setia—perbedaan itu nyaris hilang. Pola ini menguatkan teori bahwa kompetisi antarjantan, bukan sekadar genetika atau biologi internal, menjadi faktor utama di balik umur yang lebih pendek.

“Menariknya, pola ini tetap terlihat bahkan di kebun binatang, tempat tekanan lingkungan seperti predator, kekurangan makanan, atau penyakit sudah jauh berkurang. Ini memberi sinyal bahwa perbedaan umur hidup antara jantan dan betina bukan semata akibat lingkungan, melainkan akar evolusi yang tertanam dalam perilaku reproduktif,” jelas para peneliti.

Selain perilaku, ukuran tubuh juga memainkan peran. Dalam spesies di mana jantan jauh lebih besar dari betina—seperti gorila atau walrus—selisih umur makin lebar. Semakin besar perbedaan ukuran, semakin berat pula tekanan kompetisi di antara jantan.

Faktor lain yang menarik adalah peran pengasuhan. Hewan betina yang merawat anak-anaknya cenderung mengambil risiko lebih sedikit, hidup lebih hati-hati, dan pada akhirnya—lebih lama. Fenomena ini memberi pelajaran sederhana bagi manusia modern: merawat orang lain bisa menjadi bentuk perlindungan diri.

 

Apa artinya bagi manusia modern?

Jika semua ini berlaku di alam liar, apa artinya bagi kita—manusia modern dengan mobil listrik, smartwatch, dan asuransi kesehatan? Para peneliti menyebut, pola evolusioner ini menjelaskan sebagian besar kesenjangan usia antara pria dan perempuan.

“Meski hari ini kita tidak lagi berkelahi di padang savana, “naluri kompetisi” itu belum hilang. Ia muncul dalam bentuk lain: kebut-kebutan di jalan, minum berlebihan, kerja berlebihan, atau gaya hidup yang penuh risiko,” kata profesor psikologi dari MSH Medical School di Hamburg, Sebastian Ocklenburg, seperti dikutip dari Psychology Today, Jumat (10/10).

Ada sisi baiknya. Studi yang sama, menurut Okclenburg menunjukkan bahwa menjadi orang tua—terutama ayah—bisa memperpanjang usia. Mengapa? Karena tanggung jawab terhadap anak sering kali menekan perilaku berisiko. Seorang ayah cenderung lebih berhati-hati, lebih sadar akan kesehatannya, dan lebih fokus pada masa depan.

“Mungkin di situlah letak paradoks manusia modern: Kita bisa menaklukkan alam, tapi belum tentu bisa menaklukkan naluri lama yang ada di dalam diri kita sendiri,” kata Ocklenburg.

Jadi, kenapa pria mati lebih cepat dari perempuan? Jawaban singkatnya, mungkin karena sejak lama, mereka lebih sering mempertaruhkan hidupnya—demi cinta, kekuasaan, atau sekadar membuktikan diri. []

 

Advertisement
Advertisement

Leave a Reply