Perlindungan PMI adalah Isu Kemanusiaan

JAKARTA – Perlindungan terhadap pekerja migran Indonesia adalah ujian sesungguhnya bagi keberpihakan bangsa terhadap nilai kemanusiaan.
Setiap tahun, ribuan warga negara Indonesia meninggalkan tanah air untuk menjadi pekerja migran, mencari penghidupan di negeri orang, membawa harapan bagi keluarga dan daerah asalnya.
Di balik kisah perjuangan mereka, tidak sedikit dari pekerja migran itu yang harus pulang dalam keadaan tidak bernyawa. Data yang dihimpun BP2MI (sekarang Kementerian P2MI), hingga 2022 menunjukkan 1.900 pekerja migran Indonesia kembali ke tanah air dalam kondisi meninggal dunia, dengan jumlah tertinggi berasal dari Nusa Tenggara Timur.
Hanya dalam satu semester terakhir, tercatat 600 kasus baru meinggalnya pekerja migran. Angka ini menggambarkan kondisi darurat kemanusiaan yang menuntut perhatian mendalam dan langkah nyata dari semua pihak.
Seluruh elemen di negeri ini sudah saatnya menyadari bahwa berbagai bentuk kekerasan dan penganiayaan terhadap pekerja migran merupakan kejahatan kemanusiaan yang tidak bisa ditoleransi.
Penderitaan para pekerja migran itu adalah bentuk penghancuran martabat manusia. Mereka bukan sekadar angka statistik, melainkan manusia yang bekerja keras demi keluarga, tetapi kerap menjadi korban sistem yang tak berpihak.
Dalam banyak kasus, pekerja migran terjebak dalam lingkaran eksploitasi, minim perlindungan hukum, dan menghadapi kekerasan fisik maupun psikis yang sistematis.
Di sinilah negara, lembaga sosial, dan masyarakat dituntut untuk hadir bersama, bukan sekadar bersimpati, tetapi membangun mekanisme perlindungan yang benar-benar efektif terhadap para pekerja migran.
Selama ini, penanganan masalah pekerja migran sering kali dilakukan secara sporadis dan reaktif. Setiap kali muncul kasus besar, perhatian publik meningkat, namun setelah itu mereda tanpa solusi berkelanjutan.
Karena itu, ke depan, perlu ditekankan pentingnya membangun rantai kolaborasi yang holistik dan integratif antara pemerintah, organisasi masyarakat sipil, lembaga penegak hukum, dan bahkan sektor swasta.
Sistem terpadu
Upaya perlindungan pekerja migran tidak bisa lagi dilakukan secara sektoral. Harus ada sistem terpadu yang menjamin keamanan sejak tahap pra-keberangkatan, masa kerja di luar negeri, hingga kepulangan mereka ke tanah air.
Selama tahap pra-keberangkatan, misalnya, banyak calon pekerja migran tidak mendapatkan informasi yang memadai tentang hak, kewajiban, dan risiko yang akan mereka hadapi.
Sosialisasi dan pelatihan bagi calon pekerja migran, yang seharusnya menjadi benteng pertama perlindungan, sering kali hanya bersifat formalitas.
Padahal, di sinilah kesadaran dan ketahanan mental calon pekerja migran seharusnya dibentuk. Perlindungan sejati berawal dari pendidikan dan pemberdayaan, bukan hanya dari kebijakan di atas kertas.
Ketika para pekerja migran itu telah bekerja di luar negeri, tantangan lain muncul. Banyak pekerja migran yang tidak memiliki akses terhadap jalur pelaporan apabila mengalami kekerasan atau penipuan.
Pos-pos perlindungan bagi pekerja migran di luar negeri belum sepenuhnya optimal, dan kerja sama dengan otoritas negara penerima masih sering terkendala.
Dalam kondisi demikian, pekerja migran yang menghadapi masalah kerap memilih diam karena takut kehilangan pekerjaan atau karena tidak tahu harus mengadu ke mana. Ketakutan ini membuat banyak kasus pelanggaran HAM tidak pernah sampai ke meja hukum.
Oleh sebab itu, pendekatan perlindungan bagi pekerja migran harus menempatkan pekerja migran sebagai subjek, bukan objek kebijakan.
Negara perlu memastikan kehadiran nyata di titik-titik kritis kehidupan para pekerja migran, baik di bandara keberangkatan, di negara tujuan, maupun ketika mereka kembali ke kampung halaman.
Layanan terpadu bagi pekerja migran yang mudah diakses, pendampingan hukum yang profesional, serta penguatan kapasitas perwakilan Indonesia di luar negeri menjadi kebutuhan mendesak.
Di tingkat daerah, kolaborasi antara pemerintah provinsi, kabupaten, dan lembaga masyarakat sipil juga harus diperkuat untuk melindungi pekerja migran. Banyak pekerja migran berasal dari daerah-daerah yang tingkat kemiskinannya masih tinggi.
Oleh karena itu, program pemberdayaan ekonomi lokal, pelatihan kerja, serta penciptaan lapangan kerja di dalam negeri perlu menjadi bagian integral dari strategi perlindungan untuk mengatasi masalah pekerja migran ini.
Mengurangi ketergantungan pada migrasi kerja tidak berarti membatasi kesempatan, melainkan menyediakan alternatif yang lebih aman dan bermartabat bagi warga negara, dari pada menjadi pekerja migran.
Dimensi kemanusiaan
Selain perlindungan hukum, dimensi kemanusiaan bagi pekerja migran juga tidak boleh diabaikan. Banyak keluarga pekerja migran yang mengalami trauma berkepanjangan akibat kehilangan anggota keluarga, tanpa kejelasan.
Keluarga para pekerja migran tidak hanya membutuhkan bantuan hukum, tetapi juga pendampingan psikologis dan sosial.
Tragedi demi tragedi ini harus menjadi panggilan moral bagi seluruh bangsa bahwa pekerja migran bukan sekadar pahlawan devisa, tetapi manusia yang memiliki hak untuk hidup dan bekerja dengan aman serta bermartabat.
Penting pula untuk melihat perlindungan pekerja migran dalam konteks global. Dunia kini tengah bergerak menuju standar baru dalam tata kelola migrasi yang menekankan keamanan, martabat, dan kesetaraan.
Indonesia, sebagai negara pengirim pekerja migran terbesar di Asia Tenggara, memiliki tanggung jawab moral untuk menjadi pelopor dalam mewujudkan sistem migrasi yang manusiawi.
Upaya diplomasi harus diarahkan untuk memperkuat kerja sama bilateral dan multilateral, agar setiap pekerja Indonesia di luar negeri atau pekerja migran terlindungi oleh perjanjian internasional yang tegas dan berpihak pada hak asasi manusia.
Masalah pekerja migran, sejatinya adalah cermin dari bagaimana bangsa ini memperlakukan sesama manusia dalam sistem global yang tidak selalu adil.
Ketika seorang pekerja migran tertimpa persoalan atau meninggal di negeri orang, itu bukan hanya persoalan ketenagakerjaan, melainkan luka bersama bangsa. Karena itu, penyelesaiannya pun harus melibatkan nurani dan tanggung jawab bersama.
Perlindungan pekerja migran bukan semata tugas pemerintah, tetapi panggilan kemanusiaan yang harus dijawab oleh semua pihak dari lembaga sosial, hingga masyarakat luas.
Indonesia tidak boleh lagi membiarkan anak-anak bangsa berangkat tanpa perlindungan, bekerja tanpa kejelasan, dan pulang tanpa harapan.
Mereka berhak atas keadilan, keamanan, dan martabat yang sama, seperti siapa pun. Dan selama masih ada satu pekerja migran yang menderita di luar negeri, berarti perjuangan kemanusiaan di negeri ini belum usai. []
Sumber : ANTARA