Perputaran Uang Selama Lebaran 2025 Anjlok, Alarm Ketidak Pastian Ekonomi Berbunyi

JAKARTA – Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur, Adik Dwi Putranto, menegaskan bahwa penurunan perputaran uang selama Idul Fitri 2025 sebesar 12,28%—dari Rp 157,3 triliun menjadi Rp 137,97 triliun—menjadi sinyal negatif bagi pergerakan ekonomi nasional.
“Ini merupakan indikator penting yang mencerminkan pelemahan aktivitas konsumsi domestik, khususnya di sektor rumah tangga. Penurunan ini berkorelasi erat dengan menurunnya jumlah pemudik serta kondisi ekonomi nasional yang menunjukkan gejala deflasi,” ungkap Adik Dwi Putranto di Surabaya, Sabtu, (5/4/2025).
Adik menjelaskan bahwa penurunan perputaran uang hingga Rp 20 triliun ini justru bertolak belakang dengan tren musim Lebaran yang biasanya memicu inflasi. Padahal, Lebaran secara tradisional memacu lonjakan konsumsi masyarakat untuk kebutuhan pangan, transportasi, pariwisata domestik, hingga sektor ritel dan hiburan. Namun tahun ini, sektor-sektor tersebut justru mengalami kontraksi signifikan.
Menurutnya, kondisi ini mencerminkan dua hal utama: melemahnya daya beli masyarakat dan meningkatnya kehati-hatian dalam membelanjakan uang di tingkat rumah tangga.
Data deflasi sebesar 0,48% (month-to-month) dan 0,09% (year-on-year) secara nasional turut memperkuat indikasi melemahnya tekanan konsumsi.
Adik menegaskan bahwa deflasi dalam konteks ini bukan sinyal positif, melainkan gejala melemahnya permintaan agregat. Ia menyebut bahwa deflasi yang terjadi bersamaan dengan momen Lebaran—yang seharusnya memicu inflasi musiman akibat lonjakan permintaan—merupakan anomali ekonomi yang perlu dicermati secara serius.
“Salah satu pemicu utama yang kami identifikasi adalah meningkatnya gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di berbagai sektor industri. Lonjakan PHK berdampak langsung terhadap pengurangan pendapatan rumah tangga, yang pada akhirnya menekan kemampuan konsumsi masyarakat,” katanya.
Ia menambahkan bahwa Lebaran biasanya menjadi momen pengeluaran besar, mulai dari pembelian pakaian, bingkisan, makanan khas, hingga ongkos mudik. Namun dengan ketidakpastian pekerjaan, masyarakat cenderung menahan belanja dan lebih memprioritaskan kebutuhan pokok.
“Penurunan jumlah pemudik juga menjadi indikator penting. Selain mencerminkan keterbatasan finansial masyarakat, penurunan ini turut memberi dampak domino pada sektor transportasi, perhotelan, dan UMKM di daerah tujuan mudik. Efek ekonomi Lebaran yang selama ini menyebarkan pertumbuhan ke wilayah non-metro, kini tereduksi secara signifikan,” terang Adik.
Ia menilai penurunan perputaran uang sebesar 12,28% selama Lebaran 2025 mencerminkan kombinasi faktor struktural dan psikologis: lemahnya daya beli, meningkatnya PHK, ketidakpastian ekonomi global dan domestik, serta perubahan pola konsumsi masyarakat yang kini lebih berhati-hati pasca pandemi dan di tengah tekanan ekonomi.
“Jika tren ini tidak segera direspons dengan kebijakan fiskal dan moneter yang proaktif—seperti penguatan jaring pengaman sosial, insentif bagi sektor UMKM, dan penciptaan lapangan kerja produktif—maka efek pelemahan konsumsi bisa menjalar ke kuartal-kuartal selanjutnya dan mengancam target pertumbuhan ekonomi nasional tahun 2025 yang dipatok cukup ambisius,” tegasnya.
Adik pun mengingatkan bahwa penurunan perputaran uang saat Lebaran 2025 bukan sekadar isu musiman, melainkan alarm awal bagi pemerintah dan pelaku usaha atas memburuknya daya beli masyarakat dan berkurangnya efek ganda ekonomi dari momentum besar seperti Idul Fitri.
“Strategi pemulihan perlu segera difokuskan untuk mendorong konsumsi, menjaga stabilitas pasar tenaga kerja, serta menghidupkan kembali sektor-sektor yang terdampak langsung oleh lemahnya perputaran uang tersebut,” ujarnya mengakhiri. []