PMI Yang Pernah Terlunta-Lunta Di Hong Kong Dulu, Kini Kedua Anaknya Mengenyam Pendidikan Hingga Eropa Dan USA Karena Beasiswa
”Sampai hari ini, sudah 18 tahun Ibu menjadi TKW di Hong Kong,” ucap Anshori, saat menerima kedatangan Apakabar Plus di kediamannya Dusun Sidodadi RT 03/RW 02, Desa Kranji, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, Minggu (1/7/2018). Anshori adalah anak sulung, putra pasangan Thoriyah (54) dengan almarhum Zaini. Sebelumnya, keluarga ini sempat merantau dan menetap di Sulawesi Tenggara. Seperti kebanyakan warga Lamongan, mereka menjalani profesi sebagai pedagang soto Lamongan di tanah rantau.
Namun, perantauan mereka harus berakhir ketika – secara tak terduga – Zaini menjadi korban kecelakaan pada 1998. Setahun setelah Zaini meninggal dunia, Thoriyah memutuskan untuk pulang kembali ke Paciran. ”Waktu itu saya sudah kelas 5 SD mau naik kelas 6. Sedangkan Dik Karim baru lulus TK mau masuk SD,” jelas Anshori.
Keluarga yang sudah kehilangan kepala rumah tangga itu hanya sebentar tinggal di Paciran. Thoriyah, yang mengambil alih tanggung jawab suami, memutuskan pindah ke Sidoarjo, sekaligus mengurus proses untuk menjadi pekerja migran Indonesia (PMI) di Hong Kong. ”Akhirnya, sejak awal 2000, Ibu terbang ke Hong Kong sampai sekarang,” lanjutnya. Anshori dan adiknya dititipkan kepada neneknya.
Sejak itu pula, kakak beradik anak Thoriyah: Muhammad Anshori dan Karimatul Husna, melanjutkan pendidikan dan kehidupannya di Paciran. Anshori menyelesaikan SD-nya yang tinggal setahun, kemudian masuk ke sebuah pesantren Muhammadiyah di Paciran hingga enam tahun. Begitu pula dengan Karim. Ia menjalani pendidikan dasarnya di SD Muhammadiyah Paciran, lalu mengikuti jejak kakaknya masuk ke pesantren yang sama.
Selepas dari pesantren, Anshori beroleh kesempatan untuk mengenyam pendidikan S1 di Kuala Lumpur, Malaysia. Setamat dari Malaysia, ia kembali mendapat beasiswa ke Eropa hingga mendapat gelar master. Kini, dosen di Universitas Muhammadiyah Surabaya ini kembali mempersiapkan diri untuk menempuh program doktoral, juga melalui jalur beasiswa.
Bagaimana dengan Karim? Seusai dari pesantren, ia melanjutkan pendidikan di Jurusan Ilmu Geografi Universitas Negeri Malang atas biaya Thoriyah, sang ibu, dan berhasil menyelesaikan studi dengan gelar sarjana strata satu pada 2015. Lulus sarjana, dengan dorongan dan motivasi dari kakak dan ibunya, Karim bersemangat untuk berburu beasiswa program pascasarjana. ”Saya pernah tiga bulan mengasah kemampuan bahasa Inggris di kampung Inggris di Pare – Kediri, sebelum berangkat ke Amerika,” tutur Karim, melalui sambungan telepon.
Karim, dengan fasilitas beasiswa yang ia perjuangkan, akhirnya berhasil diterima di program pascasarjana Jurusan Astronomi di Pittsburgh University, Pennsylvania AS, dan sudah diwisuda pada Mei lalu menjelang bulan Ramadhan. Sayang, saat Apakabar Plus bertandang ke kediaman mereka, Karim sudah keburu terbang ke Jakarta untuk mengurus karier akademiknya.
”Kalau dari sisi materi pendidikan, tentu tidak ada bedanya antara anak TKW dengan mereka yang bukan anak TKW. Yang membedakan adalah prosesnya. Kami berproses dengan segala keterbatasan, terutama terbatas sekali dari sisi kedekatan riil dengan orangtua. Ibu berada jauh di Hong Kong. Awalnya, komunikasi kami hanya bisa lewat surat. Bahkan sampai ketika saya kuliah di Malaysia, komunikasi dengan Ibu masih lewat surat. Baru sekarang lancar, karena fasilitas komunikasi sangat mendukung,” kenang Anshori.
Anshori menandaskan, kekuatan doa, kebersamaan dengan keluarga, ikhtiar dan tawakal ia akui menjadi kunci dari perjalanan hidupnya selama ini. Tak berbeda dengan Anshori, Karim mengamini penuturan kakaknya. ”Saya pun merasakan demikian. Namun, perasaan kangen dan sepi karena jauh dengan orangtua tidak kami sendiri yang merasakan. Dulu ketika saya masuk pesantren, semua sama, semua rata. Kami semua hidup jauh dari orangtua,” terang Karim.
Terkait itu, Anshori selalu teringat nasihat ibunya yang kemudian ia jadikan pegangan dan motivasi. Nasihat tersebut intinya lebih berupa harapan kepada anak-anaknya agar mereka menjadi anak yang berilmu dan berhasil. ”Ketika berangkat ke PT, Ibu bilang begini: ’Ibu mau ke Hong Kong, bekerja mencari uang untuk masa depan kalian. Ibu melanjutkan cita-cita almarhum bapak kalian. Ibu akan pulang kalau kalian sudah sukses. Jadi, kalau kalian bertanya kapan Ibu pulang, jawabannya ada pada kerja keras kalian’. Itu kalimat yang paling saya ingat sampai sekarang,” jelas Anshori.
Fokus Bekerja Hanya untuk Anak
Melalui sambungan telepon, Thoriyah menyatakan, sejak awal ia berangkat ke Hong Kong, fokus utama ia bekerja hanyalah untuk anak-anaknya. ”Anak-anak saya itu masa depan saya. Sebagai orang yang berpendidikan rendah, tentu saya tidak ingin anak-anak saya pendidikannya rendah juga seperti orangtuanya. Saya selalu berdoa, semoga Allah menjadikan mereka anak yang shaleh, shalihah, berilmu, bermanfaat, dan diberi kehidupan yang bermartabat di dunia maupun akhirat,” tutur Thoriyah.
Thoriyah mengaku, enam tahun pertama bekerja di Hong Kong merupakan masa yang paling berat bagi dirinya. ”Hati saya masih dibayang-bayangi, bagaimana anak saya makan, siapa yang nyuapi Karim, siapa yang mencucikan bajunya. Pokoknya serba kepikiran. Sudah begitu, baru setahun kerja, saya di-terminate majikan. Masuk lagi ke agen, nggak dapat-dapat job, lalu dikirim ke Cina, sampai kembali lagi ke Hong Kong dan dapat majikan,” kenang Thoriyah.
Thoriyah tak menepis, hampir setiap saat kedua anaknya sudah mengingatkan bahwa usianya sudah tidak muda lagi, lalu menyarankan untuk pulang ke kampung halaman untuk seterusnya. ”Tapi karena saya tidak ingin membebani anak-anak, saya sampaikan pengertian ke mereka, kalau saya akan pulang setelah naik haji dari sini (Hong Kong). Insyaallah tahun depan,” tuturnya.
Keberhasilan Thoriyah mengantarkan kedua anaknya menjadi manusia dengan capaian akademis yang tidak seperti kebanyakan anak muda di Indonesia, tentu tidak segampang membalikkan telapak tangan. Perjalanan panjang, berbagai cobaan, hingga bermacam bentuk pelemahan semangat, seringkali datang bukan hanya dari situasi dan kondisi, melainkan juga dari keluarga serta teman. Hal itu berkali-kali mereka rasakan.
Namun, pada akhirnya, berkat keteguhan dan konsistensi pada tujuan yang hendak mereka raih, perjuangan Thoriyah bersama kedua anaknya terbukti mampu membuahkan hasil gemilang. Menjadi anak PMI Hong Kong yang sukses dan patut dibanggakan. [AA Syifa’i SA]