Polemik (dalam) Gedung Kejagung
ApakabarOnline.com – Terbakarnya Gedung Kejaksaan Agung pada Sabtu, 22 Agustus 2020 kemarin menyisakan banyak permasalahan. Selain terdapat spekulasi bahwa gedung itu sengaja dibakar untuk menghilangkan jejak kasus korupsi yang sedang ditangani oleh Kejaksaan, kasus terbakarnya gedung ini juga (lagi-lagi) membuat pihak Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta ribut-ribut dengan instansi Kejaksaan Agung.
Perseteruan ini dimulai ketika pihak Kejaksaan Agung menyatakan bahwa gedung Kejaksaan Agung merupakan cagar budaya di hadapan wartawan, dan mereka menunggu koordinasi dari pihak Pemprov DKI Jakarta untuk melakukan perbaikan gedung yang sudah hangus terbakar itu. Karuan saja, pihak Pemprov DKI Jakarta langsung membantah.
“Eh, yang bener aja lu, Kejaksaan Agung itu belum jadi cagar budaya, kok main klaim sebagai cagar budaya?” sanggah pihak Pemprov DKI Jakarta.
Pihak Kejaksaan Agung pun tidak mau kalah dan membalas pihak Pemprov DKI Jakarta dengan tak kalah sengitnya.
“Eh, kita ini negara hukum, kami ada buktinya kalau Kejaksaan Agung itu udah jadi cagar budaya! Masalahnya dokumennya udah pada terbakar semua. Cuma kan ini bangunan udah berusia 58 tahun, gedung ini didirikan tahun 61!”
Tentu saja, kalimat perdebatan kedua pihak itu hanya fiktif, hanya teatrikal untuk kepentingan tulisan ini.
Nah, di tengah ribut-ribut dua instansi itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) selaku instansi yang mengurusi cagar budaya berusaha menengahi dengan menyatakan bahwa Gedung Kejaksaan Agung belum termasuk cagar budaya. Hal ini diperkuat dengan tidak adanya Gedung Kejaksaan Agung dalam Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya.
Hanya saja, sepertinya suara Kemdikbud tidak didengar, karena media lebih asyik meliput adu argumennya Kejaksaan Agung dan Pemprov DKI. Mesakke~
Begitulah, pihak Kejaksaan Agung dan Pemprov DKI Jakarta sudah terlanjur asyik berbantah ria satu sama lain. Ya gimana? Urusan renovasikan perkara uang. Tentu saja biayanya tidak akan murah, makanya dua pihak ini saling bantah soal status cagar budaya gedung yang terbakar itu.
Baiklah, lupakan perdebatan kedua pihak tersebut. Mari kita anggap bahwa Gedung Kejaksaan Agung memang merupakan cagar budaya. Maka, siapakah yang wajib bertanggung jawab untuk memperbaiki gedung tersebut?
Apakah Kejaksaan Agung? Atau Pemprov DKI Jakarta? Jawabannya tidak ada ketentuannya. Regulasi hanya mengatur ketentuan tentang perbaikan saja, tanpa menunjuk siapa yang harus bertanggung jawab. Selain itu, izin perbaikannya sendiri pun cukup ribet.
Dalam UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya (UU Cagar Budaya), perbaikan tersebut disebut dengan istilah pemugaran. Pasal 77 Ayat (5) menyatakan bahwa pemugaran wajib memperoleh izin dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya. Hal ini disebabkan karena cagar budaya sendiri terbagi menjadi cagar budaya peringkat nasional, cagar budaya peringkat provinsi dan cagar budaya peringkat kabupaten/kota.
Nah, masalahnya adalah sejak UU Cagar Budaya diundangkan dari tahun 2010 tersebut, belum ada peraturan pelaksana yang diundangkan untuk melaksanakan amanat UU Cagar Budaya tersebut. Hal ini disebabkan karena Pasal 118 menyatakan peraturan pelaksana UU Cagar Budaya yang lama (UU Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya) tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU Cagar Budaya yang baru.
Padahal, Pasal 117 UU Cagar Budaya mengamanatkan untuk membentuk peraturan pelaksana UU Cagar Budaya paling lambat 1 (satu) tahun sejak UU Cagar Budaya diundangkan. Gara-gara itu, mau tidak mau peraturan pelaksana UU Cagar Budaya masih menggunakan peraturan pelaksana yang lama, yakni PP Nomor 10 Tahun 1993. Sialnya, Pasal 27 Ayat (1) PP tersebut menyatakan pemugaran hanya dapat dilakukan atas izin menteri terkait.
Gara-gara ketidakjelasan peraturan inilah, Kejaksaan Agung selaku pihak yang menempati gedung tersebut mengklaim bahwa perbaikan gedung yang terbakar harus menunggu koordinasi dari Pemprov DKI Jakarta, karena menurut mereka gedung yang terbakar tersebut merupakan cagar budaya dengan peringkat provinsi. Tentu saja selain koordinasi, mereka juga menunggu biaya perbaikan gedung dari Pemprov DKI Jakarta.
Sebaliknya, Pemprov DKI Jakarta tidak mau memperbaiki gedung tersebut karena menurut mereka gedung tersebut bukanlah cagar budaya, dan hal ini sudah diperkuat pula oleh keterangan dari Kemdikbud. Maka dari itu, menurut Pemprov DKI Jakarta, Kejaksaan Agung yang seharusnya memperbaiki gedung tersebut, tentu dengan anggaran dari Kejaksaan Agung sendiri.
Sebenarnya apabila mengacu pada kepemilikan bangunan, Gedung Kejaksaan Agung yang terbakar itu pada dasarnya merupakan milik pemerintah, karena toh Kejaksaan Agung merupakan instansi pemerintah di tingkat pusat, dan sudah sepantasnya pemerintah pusat melalui Menteri Keuangan dan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Menteri PUPR) memperbaiki gedung yang terbakar tersebut.
Akan tetapi, gara-gara Kejaksaan Agung dan Pemprov DKI Jakarta sibuk memperkarakan masalah cagar budaya, makanya permasalahan ini jadi merembet ke mana-mana, dan rakyat (lagi-lagi) disuguhi ribut-ribut antar pejabat. Padahal mau Kejaksaan Agung atau Pemprov DKI Jakarta yang memperbaiki, biayanya juga pakai uang pajak yang dipungut dari rakyat, hahahaha. Yah, sudahlah. Mumpung mereka lagi ribut-ribut, dinikmati saja dramanya. Lumayan, ada hiburan. []
Penulis Mahendra Wirasakti