Polisi Tak Mau Menerima Laporan Wartawan Korban Kekerasan Polisi
JAKARTA – Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri menolak laporan dua jurnalis korban kekerasan saat meliput demo mahasiswa dan elemen masyarakat lain yang menolak undang-undang kontroversial di sekitar Kompleks DPR RI.
Hal serupa juga dilakukan Polda Metro Jaya akhir pekan lalu pada laporan yang sama.
Dua jurnalis ini–Haris Prabowo (Tirto) dan Vany Fitria dari (Narasi TV)– didampingi LBH Pers dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) saat mendatangi Bareskrim, Rabu (9/10/2019).
Ketua Divisi Advokasi AJI Jakarta, Erick Tanjung mengatakan petugas Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Bareskrim Polri kebingungan dengan penerapan Undang-Undang Pers.
“Petugas masih bingung dan belum bisa menerima laporan kasus kekerasan teman-teman,” kata Erick seperti melansir tirto.id.
Saat meliput demo yang berujung rusuh di DPR, Haris dipiting polisi. Ia dituduh perusuh kendati sudah menunjukkan kartu pers.
Sementara Vany, telepon genggamnya dirampas polisi dan belum dikembalikan hingga sekarang. Ia juga mengalami kekerasan fisik saat meliput aksi di sekitar DPR.
Direktur LBH Pers Ade Wahyudin, yang turut mendampingi Haris dan Vany, mengatakan polisi selalu mengarahkan laporan kasus ini ke Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri. Padahal, kata dia, persoalan etik berbeda dengan pelanggaran hukum.
“Menurut kami dengan belum diterimanya laporan di Polda dan Mabes Polri itu sangat disayangkan karena ini sebagai batu ujian juga UU pers apakah masih befungsi, apakah dia cukup kuat melindungi pers, atau ya dia seperti saat ini, dia tidak bisa,” kata Ade.
Ade mengatakan dalih polisi yang menyatakan kedua jurnalis itu tak memiliki bukti kuat juga tidak masuk akal.
“Untuk kekuatan bukti, kami sudah siapkan foto, kami sudah siapkan saksi, kami sudah siapkan rekaman, itu sudah kita siapkan,” jelasnya.
Ade menjelaskan, petugas selalu mengarahkan laporan ke Propam lantaran terduga pelaku penganiayaan jurnalis adalah aparat.
“Padahal kami tidak langsung melihat si pelakunya siapa, mau itu pelakunya publik atau di luar polisi atau pun oknum anggota, sebenarnya ini bisa berjalan,” kata dia.
Ade mengatakan dua jurnalis korban kekerasan dan pendamping masih mempertimbangkan untuk melapor ke Divisi Propam Polri. Ia pesimis kasus kekerasan terhadap jurnalis ini akan diproses juga di Propam.
“Kondisi saat ini jelas kami sangat pesimis karena ya dengan laporan polisi yang ada jelas pasalnya saja ini, temen temen tau, kami tidak bisa mendapatkan laporan polisinya,” jelasnya.
Ade menambahkan Petugas SPKT Bareskrim juga menyarankan berkirim surat ke Kabareskrim Komjen Idham Aziz.
“Kami akan memperhitungkan itu, tapi jelas itu di luar mekanisme yang seharusnya dilakukan. Seharusnya ada tindak pidana, ya, lapor polisi, ada laporan polisinya serta jelas ada pemeriksaan dan lain-lain,” imbuhnya.
Aturan UU Pers
Sebagai informasi, ketentuan Pasal 4 UU Pers menjamin kemerdekaan pers, dan pers nasional memiliki hak mencari, memperoleh dan menyebar luaskan gagasan dan informasi.
Selanjutnya, ketentuan Pasal 8 UU Pers menyatakan, dalam menjalankan profesinya jurnalis mendapat perlindungan hukum. Karenanya, tindak kekerasan dan intimidasi aparat kepolisian terhadap wartawan melanggar UU Pers.
UU Pers juga mengatur sanksi bagi mereka yang menghalang-halangi tugas jurnalistik wartawan. Pasal 18 UU Pers menggariskan: ”Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berkaitan menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat 2 dan ayat 3 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta.” []