August 8, 2025

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Populasi Jepang Menyusut Enam Juta Jiwa, Jumlah Pendatang Naik Tiga Kali Lipat

2 min read

JAKARTA – Pada awal dekade 2010-an, Jepang sempat mencatat populasi tertingginya, mencapai lebih dari 128 juta jiwa. Tapi sejak saat itu, angka tersebut tak lagi bertambah. Bahkan, dalam 15 tahun terakhir, populasi Jepang menyusut lebih dari 6,1 juta jiwa, dua kali populasi kota Surabaya. Kini, pada 2025, jumlah penduduk Jepang hanya sekitar 121,96 juta jiwa.

Namun bukan hanya jumlah yang menurun, usia penduduk pun ikut naik. Menurut PBB, Jepang merupakan negara dengan populasi lansia tertinggi di dunia, sebesar 30%. Kombinasi antara tingkat kelahiran rendah dan usia harapan hidup tinggi menciptakan fenomena sosial yang pelik yaitu tenaga kerja muda semakin langka, sementara kebutuhan perawatan terhadap lansia semakin membengkak. Untuk menutup celah ini, Jepang bergantung pada sesuatu yang dulu sangat asing bagi masyarakatnya, imigrasi.

Masuknya tenaga kerja asing ke Jepang memang meningkat. Sejak 1990, jumlah imigran melonjak lebih dari tiga kali lipat, dari sekitar 1 juta menjadi lebih dari 3,4 juta jiwa pada 2024. Tetapi yang menarik bukan hanya kenaikannya, melainkan asal-usul para imigran itu. Jika pada tahun 1990 imigran dari negara-negara berpendapatan menengah-bawah hanya sekitar 6,5% dari populasi imigran global, maka kini proporsinya melesat menjadi 40,9%. Artinya, dalam waktu tiga dekade lebih, jumlah mereka naik lebih dari lima kali lipat.

Sementara itu, imigran dari negara-negara berpendapatan tinggi yang dulu mendominasi, bahkan mencapai 72% di 1990, kini tinggal 18,7% saja. Penurunan yang mencolok ini mengisyaratkan adanya pergeseran daya tarik. Jepang yang dulu dianggap pusat ekonomi Asia, kini tak lagi menjadi magnet utama bagi talenta global kelas atas. Justru sebaliknya, Jepang kini lebih banyak menyerap tenaga kerja dari kawasan berkembang seperti Asia Tenggara dan Asia Selatan.

Sebagian besar imigran di Jepang masuk melalui jalur magang teknis dan bekerja di sektor-sektor seperti konstruksi, pabrik, pertanian, hingga perawatan lansia, menunjukkan bahwa Jepang lebih terbuka terhadap pekerja kasar daripada profesional global.

Di saat negara maju lain seperti Kanada, Australia, atau Jerman berlomba menarik talenta dengan program visa inklusif dan peluang integrasi, Jepang justru masih terpaku pada sistem kontrak jangka pendek yang memposisikan migran sebagai pekerja tamu, bukan bagian dari masa depan bangsanya.

Tentu ketergantungan yang ekstrem pada imigran dari negara berkembang memang bisa jadi solusi jangka pendek untuk kekurangan tenaga kerja. Namun tanpa ada transformasi kebijakan yang lebih terbuka dan inklusif, Jepang bisa menghadapi krisis lain seperti defisit profesional, stagnasi inovasi, dan kerentanan sosial. []

Sumber Good Stats

Advertisement
Advertisement

Leave a Reply