Praktisi Hukum : Penegakan Hukum di Indonesia Masih Jauh dari Keadilan dan Sarat Balas Dendam
JAKARTA – Upaya penegakan hukum di Indonesia sepanjang 2021 diwarnai keganjilan yang menjauhkan hukum dari keadilan. Salah satu keanehan tecermin dari tuntutan 2 tahun penjara kepada Kasmito (74), yang membela diri dengan melawan pencuri karena berupaya menyerangnya menggunakan alat setrum ikan.
Menurut praktisi hukum Ari Yusuf Amir, langkah kejaksaan itu bertentangan dengan Pasal 49 ayat (1) KUHP. Isinya, seseorang yang terpaksa melakukan pembelaan karena serangan ataupun ancaman terhadapnya, orang lain, harta bendanya, atau kehormatan tak dapat dipidana.
“Tak kalah pilu, seorang ibu dua anak di Karawang yang memarahi suaminya karena sering mabuk-mabukan juga dituntut 1 tahun penjara. Banyak pihak mengecam tuntutan JPU [jaksa penuntut umum] dalam kasus tersebut,” tuturnya dalam keterangan tertulis, Jumat (03/12/2021).
Menurutnya, JPU dengan dalih positivisme mengesampingkan aspek keadilan dan kemanfaatan dalam hukum. Ari pun mempertanyakan nurani JPU sebagai penegak hukum.
“Mereka seperti amnesia terhadap konsep keadilan restoratif [restorative justice] yang berorientasi pada perdamaian kedua belah pihak tanpa harus melalui proses peradilan,” cibirnya.
Sekalipun akhirnya ditangani Kejaksaan Agung (Kejagung) setelah menjadi perhatian publik, bagi Ari, tetapi kasus ini terlanjur “menggores luka dan trauma”. “Khususnya bagi terdakwa yang jauh dari layak untuk duduk di kursi pesakitan.”
Selain tidak adil, langkah penegakan hukum di Indonesia pada tahun ini juga sarat politik balas dendam. Ari lantas menyinggung dengan kasus yang menjerat Habib Rizieq Shihab (HRS) dan diputuskan bersalah sehingga dipenjara.
“Sulit diingkari bahwa kasus HRS adalah cermin besar digdayanya politik balas dendam. Hukum yang harusnya menjadi panglima di negeri ini dibuat tunduk pada daulat kekuasaan. Pengadilan sebagai benteng terakhir para pencari keadilan pun seolah hanya alat legitimasi kepentingan kuasa,” ujarnya.
Dirinya berpendapat, vonis hakim yang mendasarkan pada Pasal 14 ayat (1) UU 1/1946 tidak tepat karena tak sesuai dengan perbuatan yang dilakukan HRS, terutama tentang “menerbitkan keonaran”.
“Tidak ada keonaran di kalangan masyarakat pasca-perbuatan HRS. Keonaran bila diartikan secara gramatikal adalah kondisi chaos sehingga terjadi kegaduhan di tengah masyarakat,” katanya.
Ari berpandangan, hukuman yang ditajuhkan kepada HRS terlalu tinggi jika dibandingkan dengan kasus sejenis yang bahkan beberapa di antaranya tidak diproses. Perkara suap, pencucian uang, dan permufakatan jahat oleh bekas jaksa Pinangki Sirna Malasari dalam perkara terpidana korupsi hak tagih Bank Bali, Djoko S. Tjandra, misalnya.
Dalam perkara itu, Pinangki sempat dihukum 10 tahun oleh Pengadilan Tipikor. Namun, disunat menjadi 4 tahun di tingkat banding dan jaksa tidak mengajukan kasasi.
Ari pun mempersoalkan penembakan dan kekerasan terhadap enam anggota Front Pembela Islam (FPI), yang juga anak buah HRS, di Tol Cikampek KM 50 oleh polisi di luar proses hukum dan pengadilan (extrajudicial killing). Seluruhnya meninggal dunia akibat kekejian itu.
“[Itu] sangat berpotensi melanggar HAM berat, apalagi tindakan kekerasan dengan menggunakan senjata api oleh petugas kepolisian bukanlah tanpa regulasi. Penggunaannya diikat oleh prinsip kepatutan dan proporsionalitas. Setidaknya didasarkan Perkap Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri dan Perkap Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan,” urainya.
Seperti pesan Begawan Hukum Progresif, Satjipto Raharjo, Ari mengingatkan, pengadilan harusnya menjadi rumah keadilan (hall of justice) bukan rumah penjagalan (slaughter house). “Kita surplus aparat hukum, tapi minus penegak hukum.”
“Saatnya kita memutus mata rantai politik dan kekuatan extrajudicial lainnya dalam penegakan hukum agar hukum kembali berdaulat sesuai fitrahnya dan menutup ruang politik balas dendam,” tandasnya. []