Problemnya Pelik, Pekerja Migran di Jember Butuh Perda Perlindungan
SURABAYA – Problem yang membelit pekerja migran cukup pelik. Mulai legalitas proses pemberangkatan hingga penempatan kerja, ancaman tidak dibayar oleh majikan, potensi menjadi korban pelecehan seksual, terjerat jaringan narkotika dan terorisme, hingga rentan menjadi korban perdagangan orang, serta rendahnya jaminan kesejahteraan, kesehatan dan pelindungan keselamatan kerja.
Semua potensi kerentanan yang juga mengancam calon dan pekerja migran dari Jember ini, terekam dalam sebuah diskusi yang digagas Migrant Care di Jember, Jumat (07/10/2022) pekan lalu. Sejumlah pemangku kepentingan terlibat. Ada dinas ketenagakerjaan, dinas sosial, badan perencanaan pembangunan daerah, pekerja purnamigran, kepala desa, desa peduli buruh migran, dan perwakilan media massa.
“Sebenarnya, Jember pernah punya perda yang mengatur tentang pekerja migran, tapi ditolak di tingkat provinsi. Karena saat itu, keburu keluar undang-undang baru. Padahal, sebelumnya sudah diingatkan agar pembahasan perda itu menunggu keluarnya regulasi baru. Biar tidak muspro,” kata Bambang Teguh Karyanto, Project Officer Migrant Care Jember.
Di tingkat nasional, pemerintah telah mengeluarkan UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Regulasi itu mendapat sambutan dari Pemprov Jatim dengan mengeluarkan Perda Nomor 2 Tahun 2022 tentang Pelaksanaan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Perda anyar di tingkat provinsi inilah yang menjadi salah satu topik pembahasan agar Jember juga mengikuti jejak dengan segera merumuskan dan mengesahkan Perda tentang Pelindungan Pekerja Migran.
Menurut Bambang, urgensi perda tersebut cukup mendesak. Karena jumlah warga Jember yang bekerja di luar negeri cukup tinggi. Data dari Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), pada semester pertama 2022 ini saja sudah ada 655 PMI asal Jember yang berangkat. Jumlah tersebut merupakan yang tercatat saja. Sementara, berdasarkan data Disnaker Jember, sudah ada 889 calon PMI yang melakukan rekom ID.
“Sebab saat ini, pola rekruitmen lebih bervariasi. Salah satunya menggunakan media sosial. Sehingga keberangkatan mereka tidak tercatat oleh pemerintah. Pada kasus semacam ini, tantangannya tentu saja menjadi lebih, sehingga butuh jaminan kepastian pelindungan dalam bentuk produk hukum daerah,” sebutnya.
Nantinya, regulasi yang diatur dalam perda bisa menjadi dasar pemerintah daerah untuk menekan Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) agar membuka kantor cabang di Jember. Karena selama ini, hanya tiga P3MI yang membuka kantor cabang di Jember, sisanya di luar kabupaten. Imbasnya, banyak calo-calo berkeliaran yang merekrut calon pekerja migran. Dan pola semacam inilah yang kerap menjadi biang PMI bermasalah.[]
Sumber Jawa Pos