Revisi UU KPK, Melemahkan Apa Menguatkan ?

JAKARTA – Meski Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sudah ketuk palu pada Selasa (17/9) lalu, kontroversi soal Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2019 masih menjadi isu hangat. Sebagian besar publik menilai, beleid hasil revisi ini justru melemahkan KPK. Bahkan, demonstrasi mahasiswa yang terjadi belakangan ini pun menyuarakan isu soal ini dalam aksinya.
Jika diselisik ke belakangan, isu pelemahan KPK sebenarnya bukan hal yang baru. Sebelum isu soal revisi undang-undang ini, ada sejumlah peristiwa yang dianggap sebagai upaya untuk melemahkan lembaga anti rasuah tersebut. Salah satunya adalah pemilihan pimpinan baru KPK yang dinilai tidak mendengarkan masukan dari KPK sendiri.
Namun, terkait hal ini, Wakil Ketua Panitia Seleksi (Pansel) KPK, Indrianto Seno Adjie, tegas membantahnya dan menyebut anggapan itu adalah omong kosong belaka. Menurutnya, 10 nama calon pimpinan yang terpilih oleh pansel sudah melalui proses uji kelayakan atau fit and proper test secara terbuka.
“Ketidakpercayaan terhadap kerja kami (pansel, red.) itu hanya (dari, red.) pihak tertentu. Tapi, karena ada kepentingan tersendiri, maka diciptakanlah narasi kerja pansel tidak objektif lagi,” kata Indrianto, Senin (23/09/2019), saat dihubungi tim dari Visi Seleksi Seksama.
Seperti diketahui, suasana semakin memanas saat Saut Situmorang, Wakil Ketua KPK, menyatakan mengundurkan diri dari pimpinan KPK, sesaat setelah Firli Bahuri dan kawan-kawan terpilih menjadi pimpinan KPK yang baru. Unjuk rasa yang berujung kerusuhan sempat terjadi di depan gedung KPK.
Suasana bertambah panas ketika akhirnya revisi undang-undang KPK 2019 pun disahkan. Banyak pihak yang mengatakan bahwa ini adalah salah satu cara para legislator dan pemerintah untuk melemahkan KPK.
Belakangan, meski kata-kata pengunduran dirinya sempat viral di media sosial, ternyata Saut batal mengundurkan diri dari jabatannya sebagai wakil pimpinan KPK. Situasi pun tidak mereda, tuntutan terhadap pembatalan revisi undang-undang KPK terus berbunyi.
Indrianto mengatakan, banyak masyarakat yang salah persepsi terhadap pembahasan revisi UU KPK ini, padahal, dalam pasal 12 dalam undang-undang tersebut, KPK tetaplah sebagai lembaga yang kokoh.
Menurutnya, revisi yang dimaksud justru memperkuat lemahnya sistem penindakan KPK, khususnya dalam pelaksanaan Swang Middelen atau Coercive Force (upaya paksa), misalnya seperti penyitaan, penggeledahan, dan penyadapan. Menurut Indrianto, ini adalah bentuk revisi baik dalam penegakan hukum.
Namun, internal KPK justru memiliki pandangan sendiri terhadap undang-undang ini. Juru Bicara KPK Febri Diansyah menemukan 26 masalah yang akan berdampak pada pelemahan KPK di masa mendatang.
“Kami sudah mendalami revisi UU KPK dan mengidentifikasi ada 26 persoalan yang akan melemahkan KPK,” kata Febri, Rabu (25/09/2019) dikutip dari Antara.
Febri menyoroti pelemahan independensi karena KPK akan menjadi lembaga di bawah eksekutif. Kemudian, ia juga menyesalkan penghapusan pimpinan KPK sebagai penanggung jawab tertinggi.
Pelemahan juga akan terjadi karena dewan pengawas yang diusulkan dalam revisi beleid tersebut dinilai lebih berkuasa daripada pimpinan KPK. Terlebih, kewenangan dewan pengawas mampu mengintervensi teknis penanganan perkara, padahal standar larangan etik dan antikonflik kepentingan untuk dewan pengawas justru lebih rendah dibanding pimpinan dan pegawai KPK.
Masih soal Dewan Pengawas, hal yang dipersoalkan adalah untuk pertama kalinya, dewan dapat dipilih dari aparat penegak hukum yang sedang menjabat. Febri juga menyebut, dalam beleid baru tersebut, pimpinan KPK bukan lagi penyidik dan penuntut umum sehingga berisiko pada tindakan-tindakan “pro justicia” dalam pelaksanaan tugas penindakan. Terlebih lagi, salah satu pimpinan KPK terancam tidak bisa diangkat karena tidak cukup umur atau kurang dari 50 tahun.
Febri juga mengatakan bahwa adanya undang-undang ini akan memangkas kewenangan penyelidikan dan penyadapan. Operasi tangkap tangan (OTT) pun menjadi lebih sulit dilakukan karena rumitnya pengajuan penyadapan dan aturan lain yang ada di Undang-Undang KPK. Bahkan, terdapat pasal yang berisiko disalahartikan seolah-olah KPK tidak boleh melakukan OTT lagi.
Kemudian, Febri menjelaskan adanya risiko kriminalisasi terhadap pegawai KPK terkait penyadapan karena aturan yang tidak jelas dalam Undang-Undang KPK. Ada pula risiko penyidik PNS di KPK jika berada dalam koordinasi dan pengawasan penyidik Polri karena Pasal 38 ayat (2) Undang-Undang KPK dihapus.
Kewenangan KPK dalam penuntutan juga berkurang. Ini karena pelaksanaan penuntutan KPK harus berkoordinasi dengan pihak terkait. Sayangnya, Febri melihat ada ketakjelasan terkait identitas pihak terkait yang dimaksud.
Untuk masalah kepegawaian, Febri khawatir pegawai KPK rentan dikontrol dan tidak independen dalam menjalankan tugasnya karena status ASN yang disandangnya. Terdapat pula ketakpastian status pegawai KPK apakah menjadi Pegawai Negeri Sipil atau PPPK (pegawai kontrak). Kemudian, terdapat risiko dalam waktu dua tahun bagi penyelidik dan penyidik KPK yang selama ini menjadi pegawai tetap kemudian harus menjadi ASN, tanpa kepastian mekanisme peralihan ke ASN.
Masalah teknis kinerja, Febri mengatakan jangka waktu Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) selama dua tahun akan menyulitkan dalam penanganan perkara korupsi yang kompleks dan bersifat lintas negara. Kemudian, dengan diubahnya Pasal 46 Ayat (2) Undang-Undang KPK yang selama ini menjadi dasar pengaturan secara khusus tentang tidak berlakunya ketentuan tentang prosedur khusus, bakal menyulitkan penegak hukum dalam memproses pejabat negara.
Ia juga menyayangkan hilangnya posisi penasihat KPK tanpa kejelasan dan aturan peralihan. Selain itu, hilang pula kewenangan penanganan kasus yang meresahkan publik serta ketentuan yang mengharuskan KPK hanya berkedudukan di ibu kota negara. Revisi ini juga dinilai nihil dalam aspek penguatan pencegahan korupsi. Di sisi lain, justru kewenangan KPK melakukan supervisi dikurangi.
“Kami sudah sampaikan di awal, jika proses penyusunan sebuah UU lebih terbuka, melibatkan publik, mendengar masukan instansi terkait seperti KPK dan tidak terburu-buru, maka beberapa risiko persoalan hukum ini bisa diminimalisir,” ujar Febri.
Memotong Alur Prosedur
Tama Satryan Langkun, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), menambahkan, revisi Undang-Undang KPK 2019 ini tergolong aneh karena dilakukan secara diam-diam dan terkesan tergesa-gesa. Tama menjelaskan, revisi Undang-Undang KPK tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Seperti diketahui, Prolegnas menjadi langkah pertama jika anggota DPR ingin melakukan revisi atau membentuk undang-undang apa pun. Hal ini tercantum dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Tak hanya soal prolegnas, menurut Tama, jika keadaannya tergesa-gesa seperti ini, harusnya pembahasan revisi Undang-Undang KPK juga masuk dalam prolegnas prioritas, seperti tertuang dalam peraturan DPR sendiri.
Berdasarkan media monitoring yang dilakukan PT Visi Teliti Saksama, revisi Undang-Undang KPK, tepatnya Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK, masuk dalam prolegnas prioritas DPR pada 2016.
“Saya rasa sudah tidak lagi pas jika kajian 2016 dijadikan landasan untuk menetapkan UU di tahun 2019 ini,” kata Tama, saat ditemui tim Visi Teliti Seksama, Senin (24/09/2019) di kantor pusat ICW, Jakarta.
Selain peraturan ini sudah menerobos prosedur formal dalam pembentukan UU, Tama juga menyayangkan kehadiran anggota DPR dalam sidang revisi Undang-Undang KPK yang tidak penuh. Tama menyatakan sidang tersebut tidaklah memenuhi kuorum (jumlah minimal anggota dalam rapat).
Asal tahu saja, jumlah total anggota DPR periode 2014–2019 adalah 560 orang. Untuk mencapai status kuorum, setidaknya harus ada 281 orang yang hadir. Namun, pada saat pengesahan revisi UU KPK ini, jumlah anggota DPR yang hadir hanya 80 orang, tidak mencapai jumlah minimal untuk mencapai kuorum.
“Menurut saya, secara formal UU yang sudah disahkan itu tidak sah karena rapat pengambilan keputusan tidak memenuhi kuorum,” kata pengamat Hukum Tata Negara Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Johanes Tuba Helan, Kamis (19/09/2019), seperti dikutip dari Antara.
Tapi, menurut Ketua DPR, Bambang Soesatyo, dan Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah, rapat paripurna justru dihadiri 289 anggota dewan sehingga sudah kuorum untuk dibuka. Hanya, bagi Tama, “titip absen” harusnya tetap terhitung tidak hadir dan anggota DPR sudah menyalahi aturan formal pembentukan undang-undang. Konsekuensinya, Undang-Undang KPK 2019 ini cacat hukum dari segi formal.
Menjawab pendapat Tama, Anggota Komisi III DPR, Arteria Dahlan, justru menyarankan ICW untuk tidak berprasangka buruk dulu. Menurut Arteria, DPR dalam melaksanakan revisi Undang-Undang KPK ini sudah berdasarkan asas kelembagaan dan sesuai prosedur. Tidak ada satu proses pun yang dilewatkan
“Segala sesuatu yang dipersyaratkan sudah dipenuhi, jadi tidak tepat apa yang disampaikan ICW tersebut,” kata Arteria, Selasa (24/09/2019), saat dihubungi tim Visi Teliti Seksama, melalui telepon selulernya.
Arteria menjelaskan, revisi undang-undang ini sudah lama dibahas sejak 2015. Namun, selama ini pemerintah dan DPR belum sepakat dalam memutuskannya. Baru pada 2019 inilah kedua belah pihak sepakat untuk kemudian lahir revisi Undang-Undang KPK yang baru.
Selain mempermasalahkan syarat formal, Tama juga menyoroti terkait absennya asas akuntabilitas dan partisipatif dalam pembentukan UU KPK 2019 ini. Menurutnya, pembahasan undang-undang ini haruslah melibatkan KPK sebagai pengguna undang-undang dan kelompok masyarakat yang akan menerima manfaat ataupun konsekuensi dari undang-undang ini.
Dalam praktiknya, DPR memang hanya pernah mengajak KPK untuk membahas revisi ini pada 2017. Menurut Tama, konteks pada tahun tersebut tidak lagi bisa dipakai untuk penentuan pada 2019 ini.
Menanggapi hal ini, Arteria membantahnya. Ia memastikan, DPR selalu mengundang KPK dalam rapat yang membahas Undang-Undang KPK 2019. Arteria justru menyalahkan anggota KPK yang selama ini KPK tidak pernah mengirimkan perwakilannya.
Masih dalam konteks akuntabilitas dan partisipatif, Tama juga bertanya-tanya kenapa naskah hasil revisi undang-undang tersebut baru dapat diterimanya setelah Undang-Undang KPK 2019 tersebut disahkan. Seharusnya, anggota DPR memberikan penjelasan secara terbuka, terlebih dahulu soal aspek akademik dari revisi undang-undang ini.
Tujuan Awal KPK
Romli Atmasasmita, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, yang juga menjadi salah satu perumus Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ikut angkat bicara.
Menurutnya, ada empat aspek penting kenapa Undang-Undang KPK harus segera direvisi. Pertama adalah aspek asal muasal filosofis. Ia menjelaskan, pada dasarnya negara mendirikan KPK bertugas sebagai trigger mechanism yang dapat mendorong kejaksaan untuk lebih giat lagi dalam menangani korupsi.
Karena itulah legislator menghadirkan Pasal 6 dalam undang-undang ini agar KPK dapat berkoordinasi dengan kejaksaan dan saling melakukan supervisi. Hal ini diharapkan agar tidak ada lagi tumpang tindih wewenang antara lembaga penegak hukum di Indonesia dalam menangani pidana korupsi.
“Sudah 17 tahun KPK itu ada, tidak pernah jalan koordinasinya,” kata Romli, Senin (24/09/2019), saat ditemui dikantornya, MR & Partners Lawfirm, Jakarta.
Kemudian juga, Romli menilai KPK terkesan pasif dalam menanggulangi korupsi negeri ini, mengingat hanya banyak melakukan penindakan, tapi minim pencegahan. Ia menyebutkan bahwa KPK seharusnya dapat melakukan pencegahan dari semua Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang dimilikinya.
Dengan pemeriksaan mendalam dan menelusuri asal uang jika ada data LHKPN yang mencurigakan, KPK sudah bisa melakukan pencegahan dari awal. Sayangnya, bagi Romli, KPK baru akan membuka kembali data LHKPN itu jika ada laporan tentang dugaan korupsi.
“Ibarat aliran sungai, KPK hanya sibuk membersihkan bagian hilir sungai dan menghiraukan apa yang tengah terjadi pada bagian hulu,” tukas Romli.
Romli melanjutkan, salah satu fungsi utama hadirnya KPK adalah untuk mengembalikan uang negara. Berdasarkan penelitian yang ia lakukan, sejak 2009 hingga 2013, KPK jusrtu hanya mampu mengembalikan uang pada negara sebesar Rp728 miliar.
Sebagai lembaga yang fokus pada pidana korupsi saja, Romli menilai angka tersebut masih kalah dengan kejaksaan yang mampu mengembalikan uang negara sebesar Rp6 triliun dan kepolisian sebesar Rp3 triliun.
Selain aspek filosofis, Romli juga menilai KPK sudah tidak memiliki kekuatan dalam aspek yuridis. Ia mengatakan, KPK selama ini cenderung memberikan status tersangka pada seseorang tanpa memiliki bukti yang kuat. Hal ini ia buktikan dengan mengalahkan KPK dalam beberapa kali sidang praperadilan.
Romli menganggap, sebagai lembaga yang kuat serta kewenangan yang luas, KPK masih sering gagal dalam penetapan tersangka. Karena alasan inilah, ia menilai KPK justru kerap melakukan tindakan yang ceroboh. Terlebih, anggaran yang dikeluarkan dalam menangani operasional satu perkara cukup besar, yaitu Rp500 juta. Angka ini dua kali lipat dari anggaran kejaksaan dan kepolisian yang mengeluarkan biaya Rp250 juta.
Terkait masalah akuntabilitas yang diungkit Tama, Romli pun mengajak masyarakat untuk mencermati Pasal 5 dalam Undang-Undang KPK 2002 (sebelum revisi). Dalam pasal tersebut, KPK diminta menjalankan tugas dan wewenangnya berasaskan kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas. Dengan contoh cerobohnya KPK, Romli pun mempertanyakan kepastian hukum dan akuntabilitas KPK.
Terkait masalah keterbukaan dalam tubuh KPK ini, Romli menyitir laporan keuangan KPK tahun 2018, ketika BPK memberi catatan Wajar Dengan Pengecualian (WDP). Bagi Romli, hasil penilaian ini cukup aneh karena KPK sebagai lembaga antirasuah harusnya tak memiliki catatan penilaian “dengan pengecualian”.
Khusus soal ini, Indrianto menjelaskan, BPK memberikan WDP pada KPK karena permasalahan pertanggungjawaban perampasan aset-aset dari terpidana yang tidak bisa dilakukan KPK. Revisi Undang-Undang KPK ini justru hadir untuk memperbaiki dan sebagai masukan-masukan konstruktif dan objektif di tubuh KPK sendiri.
Terkait dengan asas keterbukaan, menurut Romli, dalam rekrutmen SDM KPK selalu melakukannya sendiri tanpa adanya pengawasan dari pemerintah atau pun DPR. Nah, minimnya pengawasan ini, menurutnya, justru berpotensi menimbulkan bahaya.
Selain itu, aspek sosiologis masyarakat juga tak luput dari perhatian Romli. Ia menjelaskan, dulu KPK memang menjadi sebuah simbol harapan besar masyarakat untuk menciptakan utopia negara bebas korupsi. Namun, seiring waktu, dan berdasarkan survei yang ia cantumkan dalam penelitiannya, masyarakat mulai terpecah. Ada yang masih percaya KPK sepenuhnya, ada pula yang beranggapan KPK tebang pilih dalam beberapa perkaranya.
Setidaknya, hal ini tergambar dari adanya dua demonstrasi di depan Gedung Merah Putih KPK yang bertolak belakang. Satu pihak menyetujui pimpinan baru KPK nanti dan ada pula yang tidak setuju. Untuk itulah, revisi Undang-Undang KPK ini menurutnya diperlukan untuk melegitimasi sosiologis yang kuat kepada KPK untuk tetap terus dipercaya oleh masyarakat.
Aspek terakhir adalah komparatif dengan negara lain. Romli mencontohkan lembaga antikorupsi lain di Korea Selatan, Malaysia, dan Hong Kong yang justru hanya diberikan kewenangan sebatas melakukan penyidikan. Selanjutnya, penuntutan dilakukan oleh kejaksaan.
Bahkan, Korea Selatan akhirnya menghapus KPK-nya karena dianggap sebagai hambatan dalam pembangunan negara. Para pelaku bisnis menjadi takut untuk berinvestasi karena adanya KPK.
Kemudian, Korea Selatan menggantinya dengan Ombudsman karena lebih dipercaya masyarakat dan pelaku bisnis lantaran bersifat mencegah terjadinya korupsi. Pada akhirnya, sektor investasi Korea Selatan mengarah ke sisi positif.
“Jadi filosofis, yuridis, sosiologis, dan komparatif, KPK gagal. Maka dari itu, perlu adanya revisi,” tandas Romli.
Romli tidak menyalahkan pihak mana pun jika ingin menolak revisi ini. Bahkan, ia mengajak pihak tersebut untuk berdebat dengannya atas pengembangan keempat aspek yang ia sebutkan.
Perdebatan Substansi
Di sisi lain, Tama juga menyoroti hadirnya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dan dewan pengawas. Menurut Tama, soal SP3 sudah pernah dibahas di Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2003, 2004, dan 2006 yang pada akhirnya menetapkan KPK tidak perlu menggunakan SP3. Akan tetapi, pada di Undang-Undang KPK yang baru, SP3 tetap disahkan.
Hal ini menjadi tanda tanya bagi Tama karena, jika pun terjadi kesalahan prosedural dalam penindakan KPK, baik penyidikan atau pun penyelidikan, KPK harus menuntut bebas tersangkanya pada sidang praperadilan. Secara konstitusional, Tama mengatakan bahwa praperadilan memiliki kedudukan yang lebih tinggi dan tepat karena ini adalah produk pengadilan yang sudah diuji kebenarannya ketimbang SP3 yang merupakan produk dari penyidik.
“SP3 tetap dipaksakan meski MK sudah berkali-kali menggagalkan. Ini, kan, jadi tumpang tindih sistem peradilan,” kata Tama.
Mengomentari ini, Arteria mengatakan, semua lembaga penegak hukum memerlukan SP3. Ia meminta ICW untuk tidak takut dengan SP3 karena itu adalah instrumen korektif di lembaga mana pun.
SP3 akan memuat asas keadilan dan mensyaratkan kecermatan KPK dalam bertindak. Arteria menjelaskan, jika terjadi kesalahan dalam penetapan tersangka, hadirnya SP3 ini memungkinkan KPK untuk segera menghapus status tersangka tersebut. Namun, juga bisa segera disangkakan lagi jika KPK memiliki temuan baru.
“Tapi, dengan praperadilan, prosesnya akan memakan waktu lebih lama lagi. Jadi, apa yang ditakutkan dengan adanya SP3 ini?” tanya Arteria.
Terkait Dewan Pengawas (dewas), Tama melihat ini menjadi hambatan kinerja KPK karena, apa pun yang hendak dilakukan KPK, harus melalui dewas, termasuk penggeledahan, penyitaan, dan penyadapan. Dewas bisa saja menolak penindakan yang akan dilakukan KPK tersebut, apalagi dewas kemudian setahun sekali akan melapor kepada presiden terkait seluruh kegiatan KPK.
Tama mencontohkan, dulu KPK sudah memiliki komite etik dalam melakukan evaluasi kinerja mereka. Komite ini berisikan anggota KPK dan juga para pakar dari luar KPK. Komite ini berisikan nama-nama besar, seperti Buya Syafii Maarif dan Romo Magni Susesno. Tama menilai komite etik berisikan orang-orang yang bisa fokus melihat secara objektif kinerja KPK, terutama pimpinannya.
Berbeda dengan dewas yang anggotanya akan ditunjuk oleh presiden langsung. Tama mempertanyakan jaminan yang bisa diberikan pemerintah jika dewas ini tidak akan mengikutsertakan kepentingan pribadi ataupun kepentingan pemerintah sendiri.
“Harusnya tidak boleh ada cabang kekuasaan yang mengganggu ruangan evaluasi seperti ini, sedangkan Dewan Pengawas menjadi rentan paparan kepentingan pemerintah,” kata Tama.
Tama menyimpulkan, hadirnya dewas tidak lebih dari keinginan legislator untuk memangkas wewenang KPK dalam bertindak secara mandiri.
Di sisi lain, Arteria mengatakan, hadirnya dewas ini justru akan melegitimasi kinerja KPK yang ia nilai selama ini menyimpang. Selama ini, Arteria melanjutkan KPK bekerja sendiri tanpa pengawasan.
KPK bahkan terkesan tidak ingin diawasi, baik oleh pemerintah, dan bahkan BPK sekalipun. Nah, keberadaan dewas ini akan memberikan jaminan pada legislatif, eksekutif, dan bahkan rakyat sekalipun, bahwa kinerja KPK sudah bekerja pada koridor yang benar.
“Kalau yakin tindakan KPK benar selama ini, buka ruang pengawasan itu, mari kita lihat bersama masyarakat,” kata Arteria.
DPR Ketakutan
Apa pun itu, bagi Tama, argumentasi substansi penguatan KPK hanyalah omong kosong dalam agenda memberantas korupsi di negeri ini. Revisi Undang-Undang KPK telah memangkas sekian banyak wewenang KPK yang selama ini dianggap baik. Tama justru balik menilai legislator yang terlihat ketakutan karena KPK yang semakin kuat dan semakin dipercaya masyarakat untuk mengatasi korupsi yang senantiasa menggerogoti Indonesia.
Dari sudut pandang legislator, sebaliknya, Arteria menilai, hal yang DPR lakukan sudah pada koridor yang benar karena ingin menata kinerja KPK menjadi lebih baik, sesuai koridor yang tidak menyalahi aturan-aturan yang berlaku.
Kontroversi apa pun yang terjadi saat ini, pada akhirnya undang-undang ini telah disahkan dan KPK sebagai lembaga negara wajib menjalankannya. Jika ada pihak yang berkeberatan, masih ada jalur judicial review melalui MK.
Bagi Arteria, DPR memiliki tanggung jawab morel, politis, dan konstitusional untuk menghadirkan KPK dan lembaga penegak hukum lain secara efektif dan objektif. Sementara itu, Indrianto berharap pimpinan KPK nanti harus tetap memegang komitmen pemberantasan korupsi tanpa kecuali dan memberikan suatu perimbangan antara pencegahan dan penindakan.
Selain itu, ia juga berharap enam bulan ke depan KPK dapat melakukan konsolidasi internal dengan memperbaiki manajerial kepegawaian internal agar tugas utama dalam pemberantasan korupsi tidak terganggu hal-hal yang substansial.
“KPK tetap memberikan peran sentral dalam pemberantasan korupsi dan menjadikan institusi KPK sebagai sesuatu yang baru dan kuat dalam penegakan hukum,” tutup Indrianto. []